INGIN SEPERTI GABO
Cerpen Ida Fitri
Ilustrasi Ayudixtag
Jika Gabriel Garcia Marquez yang selanjutnya saya sebut Gabo,
bersahabat dekat dengan orang terpenting dari sebuah kerajaan yang bernama
Fidel Castro, seorang raja dari Cuba, saya mulai tertawa terbahak-bahak, mengejutkan
seekor kucica ekor kuning. Burung itu terbang di antara tumpukan rumpun
kalanjana: tidak ada seorang kepala daerah pun yang saya kenal, apalagi seorang
kepala negara. Saya pejamkan mata, di depan sana air sungai Peusangan mengalir
tenang di bulan April, daun waru melambai-lambai dari pohon yang ditanam untuk
mencegah air mengikis daratan, mengingatkan pada masa saya kecil dulu ketika
kami mengambil tangkai-tangkai daun tersebut untuk mengeriting rambut. Mungkin
sia-sia mencari sosok pendongeng berbahasa Spanyol itu dalam diri saya. Rumput
kalanjana ditanam memanjang di bibir sungai, tingginya sudah mencapai
sepinggang, menunggu waktu yang tepat untuk dipotong dalam rangka menggemukkan
sapi-sapi yang hendak dijual. Saya duduk di tanggul yang lebih tinggi,
menemukan sebuah nama yang pernah ditulis oleh Gabo, Simon Bolivar; Sang Pembebas
Amerika Latin.
Pagi itu, tanpa
alasan yang jelas saya duduk di tanggul sungai yang terletak di belakang rumah
saya, merenungi hai-hal yang terjadi dalam hidup saya sesuai dengan anjuran
seorang penyair dari pulau seberang. Membanding-bandingkan pendongeng besar
dari Amerika Latin itu dengan saya adalah kenaifan lain yang sedang saya
lakukan, “Cut Nyak Dhien.”
Tidak sengaja saya mengguman sebuah nama, pahlawan perempuan dari
tempat saya dilahirkan yang wajahnya sudah saya kenal sejak saya belajar
sejarah di madrasah dulu, tapi saat ini saya mulai meragukan ketangguhannya,
“Mungkinkah seoarang perempuan bisa sedemikian berpengaruhnya di daerah yang
masyarakatnya sangat patrilineal? Yang saya sendiri pernah merasakan betapa
sulitnya keluar dari budaya itu, bahkan dalam kebiasaan makan saja, betapa ibu
saya dulu selalu menyiapkan kepala ikan untuk disantap ayah, kemudian untuk
anak-anaknya, sisa-sisa ikan itu yang dimakan untuk dirinya sendiri.”
“Kamu pikir Belanda akan membuang Cut Nyak Dhien jauh-jauh ke
Sumedang kalau mereka tidak menganggapnya sosok yang berbahaya?” Pertanyaan
yang pernah diajukan oleh seorang penyair yang mengaku dari pedalaman Bali
kembali menyentak saya. Di sini sedikit aneh, ketika teman saya kebanyakan
adalah para penyair, mungkin saya ini pendongeng yang tersesat di antara para
penyair. Saya senang berteman dengan mereka, karena mereka pintar-pintar, punya
wawasan yang sangat luas dan telah membaca banyak buku, rata-rata logika mereka
sagat baik, argument-argumen mereka bisa diterima oleh akal saya, hanya satu
yang tidak boleh dilakukan, jangan pernah jatuh cinta pada para penyair.
Mata saya menangkap keanehan dalam aliran sungai di depan saya,
saya bangkit untuk memastikan apa yang saya lihat, antara percaya dan tidak,
saya menerobos rumput kalanjana, menyeruak ke pinggir air—sepasang tangan yang
tadi saya lihat mencoba melawan arus, kini muncul pula kepala, seorang
perempuan muda, ia menatap ke arah saya—berpegangan pada pohon waru, saya
mencoba menarik perempuan itu keluar dari air sungai. Perempuan yang sedang
mandi atau mencuci di daerah yang lebih ke selatan mungkin terbawa arus ke
sini. Ia memakai baju dan celana serba hitam, telah basah kuyup, rambutnya yang
panjang menempel ke punggungnya; beruntung ia ditemukan oleh saya, bukan oleh
lelaki tetangga saya yang gemar mengintip, atau lelaki-lelaki lainnya yang
tidak bisa menahan nafsu mereka, karena perempuan di depan saya benar-benar
cantik. Ia bukan perempuan dari daerah sekitar sini, wajahnya asing, mungkin
tamu di sebuah rumah penduduk yang saya tidak tahu keberadaannya.
“Kamu siapa, kenapa sampai terseret arus ke sini?”
“Kita harus bergegas, mereka mengejar saya.” Ia berjalan menaiki
tanggul sungai.
“Siapa yang mengejar kamu? Orang jahat atau bagaimana?”
“Serdadu-serdadu itu mengejar saya.” Ia berpaling menatap saya
sejenak lalu berjalan lebih cepat, menaiki tanggul, melintasi kebun jagung. Saya
mengejar perempuan itu.
“Kamu dikejar tentara?” Ingatan saya kembali ke masa konflik
mendera daerah ini, dimana banyak tentara yang tertarik pada gadis-gadis kami,
sebagian dari mereka menjadi gelap mata, ingin memangsanya tanpa belas asih.
“Aku dikejar serdadu Belanda yang mengepung markas kami.”
“Tunggu!” saya menarik lengan perempuan itu di antara pohon-pohon
jagung dengan rambut merah di ujung tongkolnya. “Kamu siapa?”
“Nyak Gambang, putri panglima.” Perempuan muda itu menatap saya,
dan mata kami pun bertemu. Saya tidak ingin percaya pada apa yang saya lihat,
mungkin saya terpengaruh dengan salah satu cerpen-cerpen realis magis Gabo.
Saya tidak ingin melepaskan tangan perempuan muda itu, saya seret ia melintasi
kebun jagung, melewati dua pohon rambutan sebelum sampai di halaman
belakang rumah saya. Saya menyuruhnya
mandi dan mengganti baju, tapi ia masih tidak percaya pada saya, lebih tepatnya
ia tidak bisa percaya pada rumah saya dan pada benda-benda yang ada di
dalamnya. Seperti saya yang juga belum sepenuhnya percaya dengan apa yang ia
katakana. Ah, mungkin hidup saya memang tidak bisa jauh-jauh dari penyair, saya
dipertemukan dengan seorang penyair, atau perempuan yang punya minat pada
puisi, pertemuan saya terakhir dengan penyair perempuan, saya diminta naik
gajah oleh perempuan penyair dari Siak. Tapi kali ini saya harus bertemu dengan
perempuan yang punya minat pada keindahan bahasa yang datang dari abad yang
lalu.
Saya tidak terlalu pintar untuk memahami teori-teori mekanika kuantum
seorang Albert Eistein. Saya juga bukan orang yang mempercayai percobaan-percobaan
ilmuan untuk menciptakan mesin waktu, tapi sosok di depan saya, perempuan muda
yang sekarang memakai baju saya adalah nyata adanya. Ia mengaku bernama Nyak
Gambang, putri dari perempuan besar yang beberapa waktu lalu terlintas dalam
pikiran saya, hanya saya tidak boleh mempercayai begitu saja apa yang dikatakan
perempuan itu, “Kamu lapar?” saya menawarkan setoples biscuit pada perempuan
itu.
Tetapi Nyak Gambang tidak menyentuh sedikit pun toples tersebut. Lagi
ia memandang saya, “Aku mencemaskan Ibu. Serdadu-serdadu Belanda sangat banyak
berdatangan, Ibu menyuruhku pergi bersama Sang Penyair.”
Semua penonton film Cut Nyak Dhien tahu scene itu,
jangan mau tertipu. “Siapa nama penyair yang kamu maksud?”
Perempuan itu menggeleng-geleng kepala. “Tidak ada yang tahu nama
lelaki itu, ia datang ke markas, mengikuti kami, menghibur dengan syair-syair
yang membangkitkan semangat.”
Siapa saja bisa memberi jawaban seperti itu. “Benarkah orang-orang begitu mematuhi ibumu? Benarkah Ibumu
memimpin pemberontak melawan Belanda, bukan hanya symbol saja, sementara Pang
Laot-lah otak pemberontak yang sesungguhnya?” Saya mengajaknya berbicara di
ruang duduk rumah saya.
Perempuan muda itu bangkit dari tempat duduknya, matanya menyala,
ia memegang kerah baju saya. Butuh beberapa lama untuk menenangkanya kembali
dan menyakinkan dirinya kalau ia sudah tidak berada di tahun dimana ia
melarikan diri dari para serdadu Belanda itu. Saya menunjukkan pesawat TV yang
berada di ruang duduk pada perempuan muda itu, menerangkan cara kerjanya
sebagai benda yang belum pernah dilihat sepanjang hidupnya. Ia mencoba
menyembunyikan keterkejutannya melihat gambar orang-orang yang bergerak serta
berbicara di layar TV.
“Kenapa kamu begitu meragukan ibuku?” Ia menyembunyikan
kegugupannya dengan menanyai saya.
“Entahlah, aku melihat perempuan-perempuan di sekitarku saat ini,
mereka selalu tunduk kepada para lelaki, mereka juga mengatakan seorang
perempuan tidak boleh menjadi pemimpin.”
“Kupikir kamu bukan meragukan ibuku, kamu sedang meragukan dirimu
sendiri.”
Saya terkejut mendengar penuturan perempuan yang mengaku bernama
Nyak Gambang itu. Senyum tipis terlukis di bibirnya, “Ibuku tak pernah ragu
pada dirinya sendiri, ia akan mengusir serdadu Belanda yang ingin menguasai
daerah kami dan ia benar-benar melakukan itu, bahkan setelah ayahku tertembak
di Meulaboh. Kami mengalami kesulitan di hutan, berpindah tempat dari satu
bukit ke bukit lainnya, membangun markas-markas kami, kemudian meninggalkannya
begitu kami terdesak, tapi aku tak pernah melihat ibuku ragu.”
“Benarkah ibumu menjadi pemimpin untuk para lelaki?”
“Iya, ibuku memimpin mereka untuk mengusir penjajah.”
Tangan perempuan itu membuka tutup toples biscuit yang saya hidangkan
padanya. Air sungai pasti telah membuatnya kelaparan. Saya melihat ke dalam
diri saya sendiri yang beberapa saat yang lalu mencoba mencari-cari kepingan
Gabo dalam diri saya. Mungkin saya memang tidak yakin pada diri sendiri. Saya
tak perlu menjadi seperti Gabo pun Kafka. Saya hanya perlu menjadi diri sendiri
yang memperjuangkan segala sesuatu yang saya yakini sebagai kebenaran dan
haruskah saya mengakui kehadiran perempuan putri Cut Nyak Dhien di depan saya
sebagai kebenaran?
“Kenapa kamu menatapku begitu?”
“Apa yang ingin kamu lakukan sekarang?”
Ia berhenti mengunyah biscuit kemudian menatap saya, “Aku harus
kembali, aku harus kembali, aku tidak bisa meninggalkan orang-orang di markas.”
“Bagaimana caranya kamu kembali?”
Perjalanan melintasi waktu hanya ada di dalam film-film.
“Kamu harus menolongku?”
Stephen Hawking baru saja mati. Orang satu-satunya yang mungkin
bisa menjelaskan kejadian ini. Saya bermimpin bulan turun ke bumi bersujud di
pematang-pematang sawah, bulan yang ternyata tidak berjumlah hanya satu itu. Saya
bermimpin singa betina menatap saya penuh misteri atau lebih tepatnya merasa
takut ke pada saya, berbeda jauh dengan mimpi Simon Bolivar di masa akhir
kejayaannya yang melihat seekor keledai masuk ke rumahnya dan memakan
benda-benda yang ada di dalamnya.
“Baiklah aku akan menolongmu,” ujar saya kemudian. Bukankah Eastein
telah mengakui kalau imajinasi lebih berharga dari ilmu pasti? Saya memang
bukan Sang Alchemis yang bisa mengubah barang menjadi sebongkah emas. Saya
hanyalah seorang pendongeng yang baik. Stephen Hawking memang telah mati, tapi
apa yang tidak bisa dilakukan oleh seorang pendongeng? Saya harus beterima
kasih pada Putri Cut Nyak Dhien sebelum mengembalikannya ke tempat dimana
seharusnya perempuan itu berada.
SEKIAN
Pernah dimuat di Tribun Jabar, 8 Juli 2018
Komentar
Posting Komentar