MALAM KEDUA PULUH TIGA
Cerpen Ida Fitri
Ilustrasi Tauri Mustafa
Pertama kali terbit di Serambi Indonesia edisi 28 Mei 2017
Ilustrasi Tauri Mustafa
Buah nangka menyamar menjadi gadis
yang bernyanyi di bawah jendela kamarku pada malam kedua puluh tiga. Tolong
jangan katakan pada orang lain perihal itu, mereka akan memasukkan aku ke rumah
sakit jiwa. Memahami sesuatu yang tidak bisa dipahami orang lain tentu tidak
bisa dikatakan gila.
Jeumpa Keumala, ia memperkenalkan
namanya padaku saat kemunculannya pada bulan lalu. Dalam kelam malam kedua
puluh tiga ia menyanyikan tembang yang kupikir berisikan syair dari beberapa
abad yang lalu. Liriknya bukan dari bahasa yang kukenal sekarang. Bila ia
datang, kadang aku mengintip dari sela jendela yang terbuat dari bilah kayu
yang tersusun rapi. Lain kali, aku hanya mendengarkan nanyiannya sambil
berbaring di atas tempat tidur.
Ia bukanlah makhluk halus seperti
cerita ratu laut selatan dari pulau seberang. Ia seorang perempuan, tapi pada
sisi lain, ia juga buah nangka yang bertengger di halaman samping. Mungkin ini
sedikit susah untuk diterima akal. Saat menjelma perempuan cantik, dari sinar
lampu kamar yang menembusi celah jendela, aku bisa melihat rambutnya panjang
sepinggang. Hanya wajahnya tidak terlihat jelas. Pada siang hari ia kembali
bergelantungan di pohon, kulit bersisik dan buntal seperti buah nangka pada
umumnya.
Mungkin kamu akan menanyakan, kenapa
aku menghubungkan buah nangka dengan perempuan yang menyanyi di depan jendela?
Jangan terkejut jika aku mengatakan, kalau buah nangka yang terletak di cabang
kedua dari bawah tidak pernah menjadi tua sejak aku tinggal di rumah ini.
Pohon itu memang banyak buahnya.
Hampir setiap musim ia berbuah. Tapi buah itu menjadi besar dan kemudian menua.
Hanya buah yang berada pada cabang kedua itu yang tidak pernah berubah. Tidak
terlalu besar, tidak juga terlalu kecil. Dan sekali waktu, perempuan yang
mengaku bernama Jeumpa Keumala itu pernah mengatakan ia datang dari pohon
nangka yang tumbuh di halaman samping.
Pada malam kedua puluh tiga bulan ini, seperti
biasa aku menanti Jeumpa Kemala menyanyi. Jam sudah menunjuk angka sepuluh,
tapi perempuan itu tak kunjung datang jua. Penasaran aku keluar kamar menuju
pintu samping. Begitu pintu terbuka, aku takjub melihat daun-daun nangka
seperti melambai-lambai memanggilku. Aku melangkah keluar dengan senter di
tangan. Ku arahkan lampu senter ke cabang kedua pohon besar itu. Kosong, tak
ada buah nangka yang tidak terlalu besar atau terlalu kecil itu. Daun-daun
pohon itu terus saja melambai-lambai.
Setelah mengarahkan senter ke setiap
cabang, aku tidak berhasil menemukan keberadaan buah nangka yang sering
menyamar menjadi seorang gadis itu. Aku merasa ada yang hilang dari diriku.
Tanpa sadar, ternyata aku sudah mulai menunggu gadis penyanyi di bawah jendela
itu.
Pelan kulangkahkan kaki melintasi
halaman, kumatikan senter di tangan. Jangkrik bersenandung mengiringi langkah.
Bulan sabit seperti kehilangan tenaga menempel di langit. Aku terus melangkah
melewati gang, hingga lampu-lampu jalan memantul bayang sendiri. Kemana
gerangan Jeumpa Keumala? Kemana harus kubertanya?
***
Aku terus menapak bersama kenderaan
yang berlalu lalang, mencari sesuatu yang hilang pada malam kedua puluh tiga.
Tanpa alasan yang jelas, aku menghempaskan pantat di bangku halte. Kunaikkan
kaki kemudian, karena takut digigit nyamuk. Seorang lelaki yang umurnya mungkin
sepuluh tahun di atasku, memilih duduk di ujung sebelah sana. Sama sepertiku,
ia juga menaikkan kaki.
Lelaki itu memakai topi warna gelap
beserta jaket tebal. Kegelapan membuatku tak mampu melihat jelas raut wajah
orang itu. Sinar lampu jalan hanya mampu membuatku menebak usianya. Lampu mobil
yang berlalu lalang terkadang menyilaukan mata.
Nyamuk semakin brutal mencari bagian
tubuh yang bisa digigit. Aku mengeluarkan sebatang rokok dari saku bajuku.
Kemudian tanganku mencari-cari korek ke kantung celana. Tidak kutemukan benda
itu. Sementara udara malam sedikit dingin.
“Ada korek, Bang?” tanyaku pada
lelaki yang berada di ujung bangku halte.
Bukannya menjawab, ia malah
mnghembuskan asap rokoknya dengan nikmat. Kuulangi permintaanku sekali lagi
dengan suara lebih keras. Mungkin orang itu menderita gangguan pendengaran. Tetap
tidak ada jawaban.
Kutepuk bahunya, ia tetap tidak
bereaksi. Sepertinya aku sedang berhadapan dengan orang yang salah. Aku bangkit
menuju kios di seberang jalan. Ternyata membutuhkan waktu yang sedikit lama
untuk menyeberang. Kenderan cukup ramai malam ini.
“Dek, Korek,” pintaku pada penjaga
kios yang kutaksir masih bersekolah di SMP itu. Remaja itu tidak mengalihkan
pandangan dari layar handphone-nya. Tidak jelas ia sedang chatting atau bermain
game.
“Dek, Korek!” seruku dengan volume
suara ditinggikan. Remaja itu masih segan untuk beralih dari layar monitor
miliknya. Karena merasa tidak dipedulikan, aku menjadi sedikit marah.
Kujatuhkan botol air mineral yang tersusun di atas fiber yang berada di dekat
kios. Itu pasti disediakan untuk pejalan kaki yang menginginkan minuman dingin.
Spontan anak remaja itu melihat ke
arah botol aqua yang berhamburaan. Ah, kupikir tindakanku terlalu berlebihan.
Tanpa sepatah kata pun aku meninggalkan remaja itu dengan botol air mineral
yang berhamburan. Ada sedikit rasa sesal menyelinap dalam dada. Kalau orang
tuanya tahu, mungkin anak itu akan dimarahi. Bagaimana kalau ada botol-botol
yang rusak?
Malam kedua puluh tiga ini memang
sangat buruk untukku. Aku kehilangan Jeumpa Keumala, juga hasratku untuk
merokok masih belum terpenuhi. Aku berjalan pulang ke rumah kontrakan lagi.
Korekku pasti tertinggal dalam laci.
Saat memasuki gang, lampu motor yang
lewat di belakangku menyorot sesosok perempuan berambut sepinggang yang
berjalan di depanku. Postur tubuhnya mengingatkanku pada Jeumpa Keumala. Aku
mempercepat langkahku untuk menyejajari langkah perempuan itu.
“Dari mana saja kamu?” tanyaku
setelah berada di dekatnya. Ia berpaling ke arahku seperti sudah menduga
kedatanganku sebelumnya. Sayang terlalu gelap untuk mencermati parasnya. Ingin
menghidupkan senter, takut perempuan itu tersinggung.
“Mencari angin di luar sana,”
ujarnya kalem tanpa rasa bersalah.
“Kamu tidak takut berjalan sendirian
di malam begini?” Aku menyilangkan lengan di dada untuk melawan rasa dingin.
“Kenapa harus takut?” jawabnya
diiringi tawa kecil. Aih, andai bulan berada pada malam kelima belas. Gadis itu
sepertinya sedang sangat senang. Aku ingin memastikan tentang buah nangka itu.
“Aku tidak melihat buah nangka pada
cabang kedua bergantung di pohonnya.”
Jeumpa Keumala diam tak menjawab.
Mungkin ia tidak ingin aku membicarakan jati dirinya yang sebenarnya.
“Mungkin buah itu sudah saatnya
jatuh,” jawabannya sedikit mengejutkanku.
“Kamu
bosan bernyanyi di depan jendela kamarku?” tanyaku kemudian.
Gadis itu kembali tertawa kecil.
“Tidak juga. Tapi ada hal penting yang harus segera kulakukan. Aku pamit
duluan,” ujar gadis itu dan mempercepat langkahnya.
“Baiklah. Jangan lupa menyanyi lagi
di depan kamarku pada malam dua puluh tiga bulan depan, ya,” pintaku penuh harap.
Jeumpa Keumala berbalik ke arahku
sebentar, kemudian ia kembali memunggungiku dan mulai berlari kecil.
Kenapa
kami tidak pulang bersama saja? Toh pohon nangka itu berada di halaman samping
kontrakanku. Ah, bodohnya aku ini.
Ternyata gadis itu berlari sangat
cepat. Aku terengah rengah saat tiba di halaman rumah. Tapi badanku menjadi
lebih hangat. Sebelum masuk rumah, aku ingin memastikan buah nangka di cabang
kedua terlebih dahulu. Aku menghidupkan senterku kembali, kuarahkan sinarnya ke
pohon nangka itu. Syukurlah, buah nangka yang tidak besar dan tidak kecil itu
sudah bertengger kembali di tempatnya.
Dengan perasaan lega aku melangkah
menuju pintu samping. Tanganku mencengkram gagang pintu, namun tak bisa dibuka.
Aku coba berulang kali, tetap tak bisa dibuka. Seingatku, aku tidak menguncinya
tadi.
Cemas, aku berlari ke pintu depan.
Sama saja, tetap tak bisa di buka. Kugedor berkali-kali, pintu itu seperti beku
tak bergerak dan tidak seorang pun yang membukakannya untukku. Aku bingung dan
frustasi, tidak tahu harus pergi kemana malam ini.
***
Di ruang keluarga rumah itu, lelaki
berbaju putih dan berjambang sedang berbicara dengan sepasang suami istri.
Mungkin pasangan itu belum lama menikah. Perempuan muda itu sesekali melirik
sang suami yang berusaha menenangkannya.
“Jangan cemas, Nyak. Semua sudah
beres, Insyaallah.” Lelaki berbaju putih yang di rambut dan jambangnya dipenuhi
uban menenangkan pasangan tersebut. Parasnya terlihat tenang dan bibirnya
mengukir senyuma kecil.
“Iya, Teungku. Saya dengar lelaki
pengontrak rumah sebelum kami, meninggal ditikam orang tak dikenal. Mungkin
qodam yang menyertainya berpikir, kamar depan masih milik tuannya.”
Lelaki bersurban manggut-manggut
tanda setuju. Kemudian ia pamit untuk pulang yang diantar sampai ke pintu oleh
pasangan muda itu.
SEKIAN
Pertama kali terbit di Serambi Indonesia edisi 28 Mei 2017
Komentar
Posting Komentar