MALAM KEDUA PULUH TIGA

Cerpen Ida Fitri


                                                       Ilustrasi Tauri Mustafa



           Buah nangka menyamar menjadi gadis yang bernyanyi di bawah jendela kamarku pada malam kedua puluh tiga. Tolong jangan katakan pada orang lain perihal itu, mereka akan memasukkan aku ke rumah sakit jiwa. Memahami sesuatu yang tidak bisa dipahami orang lain tentu tidak bisa dikatakan gila.
           
          Jeumpa Keumala, ia memperkenalkan namanya padaku saat kemunculannya pada bulan lalu. Dalam kelam malam kedua puluh tiga ia menyanyikan tembang yang kupikir berisikan syair dari beberapa abad yang lalu. Liriknya bukan dari bahasa yang kukenal sekarang. Bila ia datang, kadang aku mengintip dari sela jendela yang terbuat dari bilah kayu yang tersusun rapi. Lain kali, aku hanya mendengarkan nanyiannya sambil berbaring di atas tempat tidur.
         
         Ia bukanlah makhluk halus seperti cerita ratu laut selatan dari pulau seberang. Ia seorang perempuan, tapi pada sisi lain, ia juga buah nangka yang bertengger di halaman samping. Mungkin ini sedikit susah untuk diterima akal. Saat menjelma perempuan cantik, dari sinar lampu kamar yang menembusi celah jendela, aku bisa melihat rambutnya panjang sepinggang. Hanya wajahnya tidak terlihat jelas. Pada siang hari ia kembali bergelantungan di pohon, kulit bersisik dan buntal seperti buah nangka pada umumnya. 

         Mungkin kamu akan menanyakan, kenapa aku menghubungkan buah nangka dengan perempuan yang menyanyi di depan jendela? Jangan terkejut jika aku mengatakan, kalau buah nangka yang terletak di cabang kedua dari bawah tidak pernah menjadi tua sejak aku tinggal di rumah ini. 

            Pohon itu memang banyak buahnya. Hampir setiap musim ia berbuah. Tapi buah itu menjadi besar dan kemudian menua. Hanya buah yang berada pada cabang kedua itu yang tidak pernah berubah. Tidak terlalu besar, tidak juga terlalu kecil. Dan sekali waktu, perempuan yang mengaku bernama Jeumpa Keumala itu pernah mengatakan ia datang dari pohon nangka yang tumbuh di halaman samping.

             Pada malam kedua puluh tiga bulan ini, seperti biasa aku menanti Jeumpa Kemala menyanyi. Jam sudah menunjuk angka sepuluh, tapi perempuan itu tak kunjung datang jua. Penasaran aku keluar kamar menuju pintu samping. Begitu pintu terbuka, aku takjub melihat daun-daun nangka seperti melambai-lambai memanggilku. Aku melangkah keluar dengan senter di tangan. Ku arahkan lampu senter ke cabang kedua pohon besar itu. Kosong, tak ada buah nangka yang tidak terlalu besar atau terlalu kecil itu. Daun-daun pohon itu terus saja melambai-lambai.

            Setelah mengarahkan senter ke setiap cabang, aku tidak berhasil menemukan keberadaan buah nangka yang sering menyamar menjadi seorang gadis itu. Aku merasa ada yang hilang dari diriku. Tanpa sadar, ternyata aku sudah mulai menunggu gadis penyanyi di bawah jendela itu.

            Pelan kulangkahkan kaki melintasi halaman, kumatikan senter di tangan. Jangkrik bersenandung mengiringi langkah. Bulan sabit seperti kehilangan tenaga menempel di langit. Aku terus melangkah melewati gang, hingga lampu-lampu jalan memantul bayang sendiri. Kemana gerangan Jeumpa Keumala? Kemana harus kubertanya?
***
            Aku terus menapak bersama kenderaan yang berlalu lalang, mencari sesuatu yang hilang pada malam kedua puluh tiga. Tanpa alasan yang jelas, aku menghempaskan pantat di bangku halte. Kunaikkan kaki kemudian, karena takut digigit nyamuk. Seorang lelaki yang umurnya mungkin sepuluh tahun di atasku, memilih duduk di ujung sebelah sana. Sama sepertiku, ia juga menaikkan kaki.

            Lelaki itu memakai topi warna gelap beserta jaket tebal. Kegelapan membuatku tak mampu melihat jelas raut wajah orang itu. Sinar lampu jalan hanya mampu membuatku menebak usianya. Lampu mobil yang berlalu lalang terkadang menyilaukan mata.

            Nyamuk semakin brutal mencari bagian tubuh yang bisa digigit. Aku mengeluarkan sebatang rokok dari saku bajuku. Kemudian tanganku mencari-cari korek ke kantung celana. Tidak kutemukan benda itu. Sementara udara malam sedikit dingin.

            “Ada korek, Bang?” tanyaku pada lelaki yang berada di ujung bangku halte.

            Bukannya menjawab, ia malah mnghembuskan asap rokoknya dengan nikmat. Kuulangi permintaanku sekali lagi dengan suara lebih keras. Mungkin orang itu menderita gangguan pendengaran. Tetap tidak ada jawaban.

            Kutepuk bahunya, ia tetap tidak bereaksi. Sepertinya aku sedang berhadapan dengan orang yang salah. Aku bangkit menuju kios di seberang jalan. Ternyata membutuhkan waktu yang sedikit lama untuk menyeberang. Kenderan cukup ramai malam ini.

            “Dek, Korek,” pintaku pada penjaga kios yang kutaksir masih bersekolah di SMP itu. Remaja itu tidak mengalihkan pandangan dari layar handphone-nya. Tidak jelas ia sedang chatting atau bermain game.

            “Dek, Korek!” seruku dengan volume suara ditinggikan. Remaja itu masih segan untuk beralih dari layar monitor miliknya. Karena merasa tidak dipedulikan, aku menjadi sedikit marah. Kujatuhkan botol air mineral yang tersusun di atas fiber yang berada di dekat kios. Itu pasti disediakan untuk pejalan kaki yang menginginkan minuman dingin.

            Spontan anak remaja itu melihat ke arah botol aqua yang berhamburaan. Ah, kupikir tindakanku terlalu berlebihan. Tanpa sepatah kata pun aku meninggalkan remaja itu dengan botol air mineral yang berhamburan. Ada sedikit rasa sesal menyelinap dalam dada. Kalau orang tuanya tahu, mungkin anak itu akan dimarahi. Bagaimana kalau ada botol-botol yang rusak?

            Malam kedua puluh tiga ini memang sangat buruk untukku. Aku kehilangan Jeumpa Keumala, juga hasratku untuk merokok masih belum terpenuhi. Aku berjalan pulang ke rumah kontrakan lagi. Korekku pasti tertinggal dalam laci.

            Saat memasuki gang, lampu motor yang lewat di belakangku menyorot sesosok perempuan berambut sepinggang yang berjalan di depanku. Postur tubuhnya mengingatkanku pada Jeumpa Keumala. Aku mempercepat langkahku untuk menyejajari langkah perempuan itu.

            “Dari mana saja kamu?” tanyaku setelah berada di dekatnya. Ia berpaling ke arahku seperti sudah menduga kedatanganku sebelumnya. Sayang terlalu gelap untuk mencermati parasnya. Ingin menghidupkan senter, takut perempuan itu tersinggung.

            “Mencari angin di luar sana,” ujarnya kalem tanpa rasa bersalah.

            “Kamu tidak takut berjalan sendirian di malam begini?” Aku menyilangkan lengan di dada untuk melawan rasa dingin.

            “Kenapa harus takut?” jawabnya diiringi tawa kecil. Aih, andai bulan berada pada malam kelima belas. Gadis itu sepertinya sedang sangat senang. Aku ingin memastikan tentang buah nangka itu.

            “Aku tidak melihat buah nangka pada cabang kedua bergantung di pohonnya.”

            Jeumpa Keumala diam tak menjawab. Mungkin ia tidak ingin aku membicarakan jati dirinya yang sebenarnya.

            “Mungkin buah itu sudah saatnya jatuh,” jawabannya sedikit mengejutkanku.

“Kamu bosan bernyanyi di depan jendela kamarku?” tanyaku kemudian.

            Gadis itu kembali tertawa kecil. “Tidak juga. Tapi ada hal penting yang harus segera kulakukan. Aku pamit duluan,” ujar gadis itu dan mempercepat langkahnya.

            “Baiklah. Jangan lupa menyanyi lagi di depan kamarku pada malam dua puluh tiga bulan depan, ya,” pintaku penuh harap.

            Jeumpa Keumala berbalik ke arahku sebentar, kemudian ia kembali memunggungiku dan mulai berlari kecil.

Kenapa kami tidak pulang bersama saja? Toh pohon nangka itu berada di halaman samping kontrakanku. Ah, bodohnya aku ini.

            Ternyata gadis itu berlari sangat cepat. Aku terengah rengah saat tiba di halaman rumah. Tapi badanku menjadi lebih hangat. Sebelum masuk rumah, aku ingin memastikan buah nangka di cabang kedua terlebih dahulu. Aku menghidupkan senterku kembali, kuarahkan sinarnya ke pohon nangka itu. Syukurlah, buah nangka yang tidak besar dan tidak kecil itu sudah bertengger kembali di tempatnya.

            Dengan perasaan lega aku melangkah menuju pintu samping. Tanganku mencengkram gagang pintu, namun tak bisa dibuka. Aku coba berulang kali, tetap tak bisa dibuka. Seingatku, aku tidak menguncinya tadi.

            Cemas, aku berlari ke pintu depan. Sama saja, tetap tak bisa di buka. Kugedor berkali-kali, pintu itu seperti beku tak bergerak dan tidak seorang pun yang membukakannya untukku. Aku bingung dan frustasi, tidak tahu harus pergi kemana malam ini.
***
            Di ruang keluarga rumah itu, lelaki berbaju putih dan berjambang sedang berbicara dengan sepasang suami istri. Mungkin pasangan itu belum lama menikah. Perempuan muda itu sesekali melirik sang suami yang berusaha menenangkannya.

            “Jangan cemas, Nyak. Semua sudah beres, Insyaallah.” Lelaki berbaju putih yang di rambut dan jambangnya dipenuhi uban menenangkan pasangan tersebut. Parasnya terlihat tenang dan bibirnya mengukir senyuma kecil.

            “Iya, Teungku. Saya dengar lelaki pengontrak rumah sebelum kami, meninggal ditikam orang tak dikenal. Mungkin qodam yang menyertainya berpikir, kamar depan masih milik tuannya.”

            Lelaki bersurban manggut-manggut tanda setuju. Kemudian ia pamit untuk pulang yang diantar sampai ke pintu oleh pasangan muda itu.
SEKIAN
 

Pertama kali terbit di Serambi Indonesia edisi 28 Mei 2017


Komentar

Postingan Populer