MAOP
Ida Fitri, Serambi Indonesia, 21 Februari 2016
Maop menatap seorang wanita dari
balik bayang rumah tua. Wanita itu terlihat
waspada seperti sadar sedang diperhatikan. Bunyi high heels yang dipakai wanita tersebut menjadi nada yang saling
mengejar dengan tarikan napasnya. Wanita itu berhenti sejenak, kemudian melihat
kiri kanan. Bahkan menatap ke tempat Maop bersembunyi. Yang terlihat hanya
kegelapan.
Terdengar desahan napas lega. Wanita
itu kembali melangkah tanpa rasa curiga. Maop tersenyum dari balik bayang, “
Ini saatnya bergerak ….”
***
“Mirah, tak baik perempuan berjalan
sendirian di malam hari,” ujar Nek Tu sambil menyuntil bakong asoe. Wanita berpipi cabi di depannya tersenyum tipis. Nek
Tu sudah terlalu uzur untuk mengerti dunia yang maju lebih cepat belakangan
ini. Bukankah lelaki dan perempuan memiliki hak yang sama? Apa salahnya seorang
perempuan berada di luar pada malam hari? Toh ia hanya menjual kosmetik, bukan
menjual diri. Pekerjaannya sebagai seorang SPG di sebuah Mall yang berada di
Kota Juang ini, mengharuskan wanita tersebut naik shif malam. Mall tutup pada jam 22. 00 WIB.
“Jangan seperti ibumu,” ujar Nek Tu
lain kali. Mirah tak pernah tahu apa yang terjadi pada ibu kandungnya. Yang ia
tahu wanita yang dipanggilnya ibu bukanlah ibu biologisnya. Tapi wanita itu
akan marah besar kalau Mirah mengungkit hal tersebut. Menurut Nek Tu, wanita
yang dipanggilnya Ibu yang menjadi menantunya adalah saudara jauh wanita yang
sudah melahirkannya. Wanita itu menitipkan Mirah pada menantunya, kemudian
menghilang entah kemana. Mirah segera disusui ibu dan dijadikan anak perempuan
sulung di keluarga mereka. Nek Tu sering mengulang-ngulang cerita itu di
belakang ibunya. Perempuan itu sudah sangat tua dan mulai linglung, pikir Mirah
berusaha menghibur diri. Kakinya saja sudah tidak bisa dibawa berjalan.
Ah! Kaki-kaki Nek Tu-nya pasti sudah
terlalu tua untuk mengejar cepatnya perputaran dunia dewasa ini. Bahkan
perempuan sudah naik ke bulan. Nek Tu masih tetap di singasana kebesarannya dan
menyuntel bakong asoe. Singasana yang
dimaksud di sini adalah sebuah kamar belakang yang sengaja dibuat lebih tinggi
oleh Bapak. Hanya kamar Nektu yang di sangga tiang-tiang di rumah ini. Lengkap
dengan guha-guha yang memudahkan Nek
Tu buang air kecil atau meludah. Tungkai tuanya sudah kekurangan kalsium, tidak
bisa dibawa berjalan lagi. Pantas saja pemikirannya hanya berkisar di seputar
singasana saja.
Paling sesekali NekTu mendongeng
kisah kepahlawanan Cut Nyak Din atau Keumala Hayati. Nek Tu tak pernah tahu
jika seorang aktris telah mendapatkan penghargaan internasional karena berperan
sebagai istri Tengku Umar itu. Dan Keumala Hayati dan bahteranya sudah naik ke
teater teater. Saat Nek Tu muda dulu di kampungnya tak ada TV. Ketika ia
menjadi tua, matanya tak sanggup lagi untuk beradaptasi dengan kilauan cahaya
yang dipancarkan benda persegi empat tersebut. Dan Mirah tak perlu menyalahkan
Nek Tu atas segala prinsip hidup yang dinyakini perempuan tua tersebut. Bukan
pilihan yang bijak untuk menantang Nek Tu. Ia sanggup mengoceh dua hari dua
malam. Membicarakan perangai Mirah pada setiap anak cucu yang mengunjinginya.
Bahkan ia masih sanggup mendendangkan hal itu sampai lebaran tahun depan.
Nek Tu memang sudah tua bersama kulitnya
yang kian keriput. Membiarkan ia tak ditangtang di istananya merupakan
keputusan yang sangat bijak. Toh Nek Tu tak akan pernah tahu jadwal kerja Mirah.
Kecuali kalau penghuni rumah sudah terlelap semua dan tidak ada yang membukakan
pintu untuknya. Mirah tak punya pilihan lain selain mengetuk pintu kamar Nek
Tu. Satu hal yang ajaib, pendengaran perempuan tua itu masih sangat baik. Nek
Tu akan membukakan jendela kamarnya untuk Mirah. Dan Mirah memanjat masuk lewat
jendela dengan menyeret kursi teras ke bawah jendela Nek Tu. Kemarin Mirah
sudah menduplikasikan kunci pintu depan. Kecemasan akan kepergok Nek Tu selesai
sudah.
***
Sosok bertubuh tinggi besar itu
kembali mengutuk dirinya sendiri. Sungguh ia tidak memilih untuk menjadi
begini. Berwujud legam dan berada di bawah bayang Siapa sih yang ingin menjadi sosok yang
menakutkan? Bahkan oleh anak kecil sekali pun.
“Nyan
na Maop, jangan ke situ, Nak.”
Suatu waktu, ia mendengar seorang ibu muda menakuti anaknya yang hendak
berjalan ke dekat Maop. Ia merasakan nyeri di dadanya kemudian beranjak pergi
dari tempat tersebut.
“Maop …, maop …, hitam …, hitam …,
seram …, seram!”
Itulah kata-kata yang sering
didendangkan orang untuknya. Benar-benar menyedihkan. Padahal sudah banyak
legenda di dunia ini. Kenapa ia harus menjadi legenda kegelapan? Mungkin karena
fisiknya yang besar dan hitam? Orang-orang memang kerap melabelkan sesuatu
sesuai dengan tampilan fisik.
Barbie,
untuk sosok perempuan bermata indah dan berambut panjang. Segala kecantikan,
kebaikan dan kelembutan melekat pada sosok itu. Arjuna, lelaki gagah yang mampu
menakhlukkan hati banyak wanita. Hercules,
pahlawan gagah putra dewa. Keharuman nama mereka melekat pada fisik yang indah.
Sementara Maop? Sosok hitamnya menjadi simbol ketakutan. Mungkin karena
fisiknya juga anak dan istrinya pergi meninggalkan dirinya. Betapa menyedihkan
berfisik buruk rupa.
Pada suatu senja di dapatinya rumah
sudah kosong melompong. Maop yang kecapaian sepulang kerja beristirahat sejenak.
Mungkin istri dan putrinya sedang berkunjung ke rumah saudara istri yang berada
di ujung desa. Senja telah bewarna saga, istrinya tak kunjung kembali. Ia masuk
ke kamar tidur, betapa terkejutnya ia mendapati isi lemari telah kosong.
Tergesa Maop menuju ke ujung desa, berharap istrinya ngambek dan mengungsi ke
rumah saudaranya. Tapi hanya sepucuk surat yang ditinggalkan istri pada
saudaranya.
Lunglai, Maop kembali berjalan
pulang ke rumah mereka. “Aku sudah tidak
sanggup hidup bersamamu lagi. Jangan pernah mencariku lagi. Wanita yang pernah
menjadi istrimu ….” Kalimat itu mengiringi langkah Maop kala senja beranjak
ke peraduan malam.
Semenjak kejadian itu, Maop menjadi
enggan menampakkan diri di depan umum. Ia merasa gagal sebagai suami. Rasa malu
menamparnya ribuan kali. Ia hanya muncul di bawah bayang-bayang. Sembari mengenang
anak dan istri yang tak pernah kembali. Makanannya kesedihan dan air mata
menjadi pelepas dahaga satu-satunya.
Maop, sosok hitam yang berada di
bawah bayang-bayang. Itulah yang dikatakan orang terhadapnya. Siapa pun yang meliatnya akan
lari terbirit-birit ketakutan. Pernah sekali waktu seorang pemuda yang hendak
membuang hajat di sungai melihatnya berdiri di bawah pohon waru. Pemuda itu
kabur tanpa sempat menaikkan celananya. Sungguh tak beretika, membuang hajat di
badan sungai yang dipakai desa sebelah sebagai sumber air minum, pikir Maop
kala itu. Tapi ia terlanjur dikenal sebagai sosok yang menakutkan.
Bosan dengan tuduhan orang-orang
terhadap dirinya, Maop akhirnya memutuskan menjadi seperti yang dikatakan
mereka.
Jahat, hitam dan legam ….
***
Mirah berjalan cepat di lorong
sempit yang mengarah ke rumahnya. Rasa was-was menyelimuti hati. Persaannya seperti
ada yang sedang megikuti terus megusik hatinya. Mendadak ia berhenti dan
mengamati sekeliling. Tak ada apa-apa. Ternyata perasaannya saja yang membuat ia
ketakutan sendiri. Setelah menarik napas panjang, dibuangnya rasa takut
jauh-jauh. Ia telah dibuat takut oleh bunyi tapak sepatunya sendiri.
Bulan bergantung pucat di angkasa
malam. Segumpal awan hitam yang dibawa angin menutupinya perlahan-lahan.
Jengkrik bernyanyi dari tanah lapang yang berada di utara. Tiba-tiba langkah
Mirah berhenti. Ia tercekat, ingin menjerit, tenggerokannya terasa kering. Pita
suaranya lumpuh. Sesosok hitam, legam, tinggi besar sudah berdiri di hadapannya
….
***
Maop memamerkan giginya pada wanita
yang sedang ketakutan di depannya. Sungguh ia menikmati ini semua. Ia selalu
berandai-andai jika korbanya adalah istri yang sudah tega meninggalkan Maop
dalam kepedihan. Hingga kegelapan mendatanginya. Dan ia bisa mengambil hati
korban-korbanya dengan bahagia, kemudian mencampakkannya di jalanan. Ia
melakukannya tanpa rasa bersalah.
Maop berjalan mendekati wanita yang
berparas pucat tesebut. Dipegangnya bahu sang wanita yang tergetar ketakutan
itu. Seperti biasa kuku-kuku tajamnya akan menghunjam ke dada kiri korbannya.
Ketika kukunya mengenai kulit wanita tersebut, Maop tersentak kaget. Tangannya
seperti tersetrum ribuan volt
listrik. Ia mundur ke belakang, menatap korbannya yang pasrah memejamkan mata.
Wajah itu …, Maop merasakan nyeri di
ulu hatinya. Ia mendekap dada kiri. Kemudian terduduk di hadapan wanita yang
mulai membuka matanya perlahan-lahan. Tatapan mata wanita itu semakin menusuk
dada kiri, Maop. Wanita itu mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Maop merasakan
sakit yang tiada dua. Wanita itu yang tak lain adalah Mirah itu menyodorkan
botol air mineral pada sosok tinggi besar yang kini berlutut kesakitan di
depannya.
Dengan tangan tergetar maop menerima
benda tersebut. Tanpa berkata-kata Mirah berjalan meninggalkan makhluk itu.
Maop masih bersimpuh sambil menatap botol air mineral yang diberikan Mirah.
Bunyi langkah yang menggunakan High heels
terdengar semakin menjauh ….
SELESAI
Guha : Lantai kayu rumah panggung yang
sengaja dilubangi.
Bakong
Asoe : Tembakau yang dijadikan suntilan.
Nyan na Maop : Awas ada Maop
Alur cerita yg menarik ..susunan kata demi kata mampu menyeret pembacanya ikut masuk kedalam situasi...pembangunan karakter tokoh cukup realis ...keren....ending yg menggantung ....terasa menggelitik ...bikin penasaran ....keren ....ini keren..
BalasHapusMakasi... makasi
BalasHapus