AKU INGIN SEKOLAH

Oleh: Ida Fitri

“Bangun! Bangun pemalas!”

Mata bulat terbuka pelan. Kenapa tubuhku berat? Kepala seperti ditindih batu.

Bruuum! Seketika wajah setengah ngantuk ini basah oleh guyuran air. Mendadak segar yang dipaksakan.

“Kerja sana!”

“Iya, Ibu.”

Aku bangun. Mengusap roman hitam. Kupandang paras itu. Di saat teman-temanku memanggil ibu pada wanita anggun. Aku memanggil ibu pada lelaki ini. Ayah pada lelaki satunya. Adakah ibu lain di dunia ini yang berwujud seperti ibuku?

“Kamu lihat apa?”

“Tidak ada.”

Aku berlari ke arah sumur umum yang berjarak seratus meter dari rumahku. Kubasuh wajah. Rasa sakit masih saja mendera kepala. Mungkin akibat tidur larut semalam. Membantu ibu menjahit mata boneka.

Berat kakiku melangkah ke tempat pembuatan batu bata.

***

Segerombolan bocah seusiaku berpakaian seragam merah putih. Bercanda dan tertawa. Tak perlu mengangkat bata-bata berat itu. Tak perlu mendapat siraman tiap pagi. Tak perlu berpikir berapa lembar ribuan harus disetor pada ayah ibu hari ini. Aku ingin seperti mereka.

“Andi!”

Tak ada yang mendengar pangilanku.

“Andi!”

Sekali lagi kupanggil anak juragan batu bata tempatku bekerja.

“Ada apa? Berisik tahu.” Menatap sinis padaku.

“Ini punya siapa?”

“Pinsilku. Kok bisa sama kamu?!”

Andi mengambil kasar dari tanganku.

“Tadi ja―tuh.”

Ia sudah berlari mengejar teman-temannya. Anak-anak seusiaku menjauhiku. Mereka bilang ayah ibuku dilaknat Tuhan. Mungkin karena ibuku tidak seperti ibu mereka.

Aku tidak punya teman. Kecuali senja keemasan. Aku suka senja. Saat ia tiba aku bebas sejenak duduk di pinggir waduk, di bibir pantai, diantara deret took-toko, di kolong jembatan. Senja dimanapun adaku. Bercerita kisah seharian. Senja tak pernah marah. Andai Ibu seindah senja. Ah! Ini masih terlalu pagi untuk memikirkan senja.

Kupercepat langkah kaki menuju tempat pembuatan batu bata.
***
“Ahmad, kita harus mendapatkan lempung yang banyak. Ada pemesan untuk proyek pembangunan Kantor Bupati. Kita perlu bahan mentah. Kamu urus ya.”

“Baik juragan. Saya akan menggali tanah liat sawah.”

“Kamu sewa beko Touke Syam saja, biar cepat.”

“Kita harus buat berapa memangngnya?”

“Mereka pesan dari kita 500 ribu batu bata.”

“Dua belas kali naik cetak, Gan. Oke aku berangkat dulu.”

Bang Ahmad segera meninggalkan tempat pembuatan untuk mencari lempung.

Juragan menatapku yang mencuri dengar pembicaraan mereka.

“Dani, bawa batu bata kering ke dapur pembakaran!”

“Siap, Bos!”

“Kerja yang benar, jangan sampai jatuh.”

“Iya.”

Krukk! Cacing perutku minta jatah.

Tiga batu bata kupindahkan sekali jalan. Kenapa batu bata ini jadi lebih berat hari ini? Apa juragan menambah bahan dasar lain? Demi kualitas yang sering diomongkan pelanggannya.

Proses pembuatan batu bata tidak susah sebenarnya. Tanah liat diambil di sawah kemudian dibersihkan lalu dicetak. Setelah itu diangin-angin biar cepat kering. Yang terakhir bakar di dapur khusus. Dapur yang diberi dinding agar suhu terjaga.

Lima bulan aku bekerja di sini. Selama ini kami sering berpindah tempat tinggal. Biar aman kata ayah dan ibu. Aku tidak mengerti apa yang mereka takutkan.

Kurasa Juragan Haji kasian melihatku dijalanan mencari botol bekas untuk dijual. Ia mengajakku membantu di sini. Yang bisa ku kerjakan hanya memindahkan batu-batu bata.

Krukk! Lagi-lagi perutku berbunyi. Kulihat kanan kiri. Mataku mencari seseorang.

“Dani! Ayo makan dulu!”

Benar saja istri juragan datang membawakan sepiring nasi untukku. Aku tersenyum bahagia. Perempuan itu begitu baik. Selalu menyediakan sarapan dan makan siangku. Bahkan kadang Andi menatap iri. Selain senja aku juga ingin punya ibu seperti wanita ini.

“Terima kasih, Juragan Putri.”

“Makan yang banyak ya.”

Aku mengangguk. Aneh, masakan juragan putri sangat tawar hari ini. Selesai makan aku kembali berjibaku dengan batu bata.

***
Hari sudah sore. Juragan mengangsur selembar sepuluh ribu padaku.

“Sepuluh lembar uang seribu saja, Gan.”

“Untuk apa uang seribuan?”

“Ada deh”

Aku mengedipkan mata pada lelaki itu.

“Ini kecil-kecil sudah genit.”

Aku tersenyum senang. Aduh kepalaku kembali berdenyut. Aku menuju rumah juragan.

Juragan putri tersenyum menungguku seperti biasa.

“Ini.”

Aku menyerahkan selembar uangku padanya.

“Kamu gak pernah absen ya?”

“Aku ingin sekolah, Juragan Putri. Seperti Andi. Aku ingin menjadi insinyur yang membuat gedung.”

Juragan Putri mengacungkan jempolnya.

“Kamu sakit? Wajahmu pucat.”

“Tidak, Gan Putri. Aku pamit ya.”

Gontai kakiku melangkah menuju Waduk Kilung. Aku ingin bertemu sahabatku senja di sana.

***

Senja tersenyum padaku. Tak tahukah Sahabat?

Aku rindu dekapan ibu. Ibu tak pernah memelukku. Menurutnya aku anak tak diharap keluarga sendiri. Lahir di antara tumpukan sampah. Ibu mengambilku, merawatku, membuatku tetap bernapas. Seumur hidup aku harus berbakti padanya.

Tidak membawa pulang uang, tubuhku akan dibuat lebam. Ayah ibu sangat menyukai uang. Makanya aku ingin sekolah tinggi. Menjadi pembuat bangunan yang menghasilkan banyak uang. Biar ibuku senang. Biar aku tidak dipukul lagi.

Angin membelai wajahku sepoi. Kepalaku semakin berat. Kurebahkan tubuh di pinggir waduk. Aku bisa menatap senja dengan leluasa.
Hai Senja! Tidak bisakah kau turun ke sini sejenak? Memberi kehangatan, badanku menjadi dingin.

***

“Dasar tidak berguna! Jam Sembilan malam baru saampai ke rumah!”

Tali pinggang ayah memecut tubuh setengah telanjangku. Keduanya berdiri mengadili.

“Ampun ayah, aku tertidur di waduk.”

Crut! Lagi-lagi tali pinggang itu memecut tubuhku.

Uangnya mana?”

“Ini.”

Tanganku bergetar menyerahkan Sembilan lembar pecahan seribu.

“Kok Cuma segini?

Ibu maju menjambakku.

“Kamu mau belajar curang ya? Aku tahu gajimu sepuluh ribu sehari.”

"Ampun, Bu!”

“Kamu jajan di luar?”

Ayah mengamuk lagi ia mendekat.

Plak! Plak! Berkali-kali ia menamparku.

Tok!Tok!Tok. Kudengar ketukan di pintu. Ada keributan besar di pintu depan. Dor!

Dor! Ada suara tembakan. Apa yang terjadi? Kepalaku berat. Tubuhku ambruk. Semuanya menjadi gelap.

***
Machine Headline di Koran-koran. Telah terjadi pembunuhan brutal terhadap pasangan gay tadi malam. Mereka dihabisi di kontrakan. Ditemukan banyak luka tembak pada tubuh keduanya. Pembunuh diduga mantan pacar yang cemburu buta. Kecemburuan kaum gay memang sering melampau kewajaran. Bahkan sampai berujung pembunuhan. Pelaku masih menjadi buronan polisi.

Selain itu juga ditemukan seorang anak lelaki berumur tujuh tahun dalam keadaan sakit dan dianiaya. Anak tersebut kini dirawat intensif di rumah sakit. Menurut penyelidikan polisi, bocah tersebut adalah putra seorang kiai dari pulau seberang yang diculik pasangan tersebut. Alibi mereka karena dendam pada kiai yang melaknat prilaku abnormal pasangan tersebut.

Tamat.

Komentar

Postingan Populer