Leta

Oleh: Ida Fitri
Adora berlari kecil menuju rumah pohon sahabatnya, Leta. Ada gemuruh di dada. Ia harus berbuat sesuatu. Sudah saatnya sang sahabat melihat dunia luar. Bukankah di luar sana begitu indah?
Dari rumah pohon mengalun indah gesekan biola.
“Genggam tanganku Leta. Kita keluar dari sini. Jangan takut pada dunia.”
Leta berhenti menggesek biola.
“Tidak! Kau bohong, Adora. Di lua sana kau akan melepas tanganku.”
“Kau tidak mempercayaiku.”
“Aku malu..., kakiku cacat.”
“Kenapa malu? Bukankah itu pemberian Tuhan?”
"Biarkan aku hidup damai di sini, Adora! Menikmati warna jingga senjakala, basahnya rerumputan di waktu pagi dan terik mentari di sekitar rumahku. Mereka tak pernah memalingkan muka melihat kaki pincangku. Bahkan, mereka selalu menyimak dan bisa menari mengikuti gesekan biolaku."
“Tatap mataku, Leta. Walau kakimu cacat kau punya hati yang utuh. Bijak dan indah. Tidakkah itu cukup?”
Leta tak mampu berkata-kata. Diletakannya biola kesayangan di sudut ruangan. Tangannya menyambut tangan Adora. Kucing betina berbulu kuning keemasan yang setia membawakan makanan. Ia harus mempercayai sahabatnya itu.
***
Leta kecil mengagumi berbagai bentuk biola. Kayu mapel dan eboni ditambah cemara merupakan bahan utama pembentuk biola. Antoni menggunakan kayu kualitas terbaik untuk biola buatannya.
Antoni, Ayah Leta merupakan luthier* yang  dicari violis*. Biola buatannya menjadi primadona di setiap pertujukan orchestra kota. Tapi ayah menginginkan putranya menjadi seorang pemain biola handal, bukan pembuat biola seperti dirinya.
“Musik itu harmoni yang mampu menciptakan perdamaian,” ujar Antoni.
Demi mewujudkan cita-citanya Antoni mencarikan guru terbaik untuk Leta. Sebagai luthier handal,  ia mengenal beberapa maestro violis. Dan pilihannya jatuh pada Pablo de Sarasate.
Setiap hari Leta diantar kerumah Pablo oleh Antoni untuk belajar biola. Tangan kecil anak itu menjadi kuat dan piawai dalam menggesek dawai.
“Berikan ruh untuk setiap dawai yang kau gesek. Musikmu akan menghidupkan hati,”  nasehat guru mematri dalam jiwa. Talenta Leta membuat Pablo jatuh hati dan menjadikan Leta kecil menjadi murid kesayangannya.
Hari-hari Leta begitu bewarna. Selain memiliki guru yang hebat ia juga berkenalan dengan Adora, putri sang maestro. Kucing  kecil cantik berbulu keemasan. Bukan hanya bulunya yang bewarna emas. Gadis kecil itu juga berhati emas. Sejak itu mereka bersahabat baik.
Tuhan berkata lain. Hidup Leta berubah cepat tatkala wabah aneh menyerang kota mereka. Wabah yang merengut orang-orang yang dia cintai. Ibu menghadap yang kuasa, kemudian disusul ayah tercinta. Bukan hanya itu saja, wabah juga membuat kaki belakang Leta cacat. Sejak itu ia menjadi anak pemurung yang bersembunyi di rumah pohon peninggalan orang tuanya. Setiap hari ia bermain biola. Hanya biola yang mengobati kerinduan pada ayah-ibu.
Adora sahabatnya masih setia mengunjungi Leta. Gadis itu tak peduli kalau Leta hanya pejantan cacat yang bersembunyi di lobang pohon. Menurut sahabatnya itu, Leta memiliki jiwa indah tertuang dalam setiap gesekan biola.
***
Para bangsawan kucing sedang mengadakan pesta akhir tahun. Muda-mudi menari dan berdansa. Bernyanyi lagu gembira. Bunga-bunga tertata indah membentuk taman eden. Di belakang panggung mengalir sungai yang jernih.
Adora dan Leta bergabung bersama kucing lain. Mesti kakinya pincang, Leta berusaha menggoyang-goyangkan kepala sesuai irama lagu.
“Siapa yang kau bawa, Adora?”
“Kenalkan, Bara. Ini Leta sahabatku.”
Leta menyalami pejantan yang dipanggil Bara. Tapi kucing tersebut memalingkan wajahnya.
“Adora, apa kau kesepian? Katakan padaku?
“Maksudmu, Bara?”
“Kenapa pula berteman denagan kucing cacat? Berjalan saja terpincang-pincang. Bagaimana hendak berburu untukmu?”
Leta menunduk. Rasa percaya dirinya luruh.
“Kakinya memang cacat, tapi jiwanya indah.”
Bara tertawa sinis.
“Ah! Aku tidak peduli. Kau seharusnya bersamaku saja. Aku bisa melindungimu.”
Bara sumringah meloncat ke sana-sini. Ia menunjukkan kebolehannya berdangsa. Bara terlihat gagah mempesona.
“Cukup Bara! Kamu sombong.”
“Ada banyak hal yang bisa kusombongkan.”
“Ingat Bara, Kesombongan bisa membuat celaka.”
“Kau selalu membela dia.” Mata Bara melirik sinis Leta.
“Tapi ….” Adora menatap Leta sedih.
Mendengar hinaan bertubi-tubi, ada sesuatu yang bergerak dalam diri Leta. Sungguh ia tak ingin bertubuh cacat, tapi wabah itu merengut segalanya bukan hanya kakinya tetapi juga orang tua. Salah Tuhan yang telah menirimi wabah? Tidak! Tuhan tahu yang terbaik. Ia punya Adora yang selalu tersenyum padanya. Tapi hinaan Bara sungguh meyayat hati. Mata Leta tertuju pada kucing pemain biola yang berada di atas panggung.
“Bara kamu tak boleh begitu”
“Kenapa tidak? Aku penjantan tangguh di sini. Tidakkah kau sedikit tertarik padaku?”
“Bukan begitu, Bara ….”
Ucapan Adora terpotong bersama lantunan gesekan biola solo dari panggung orchestra.  Nada Moonligh Sonata mengalun menusuk jiwa. Keduanya menatap ke arah panggung.
Disana Leta tenggelam dalam irama biola. Nada-nada gubahan Ludwing van Beethoven begitu menyanyat hati. Menarik alam sekitar dalam duka terdalam. Luka hati Sang Komponis  yang menjadi tuli, kesepian di bawah cahaya bulan. Tetapi ia berhasil menciptakan karya terbaik saat total tidak bisa mendengar. Luka hati  Leta dihinaa karena kakinya menjadi cacat.
Bunga-bunga mendadak layu. Air sangai di belakang panggung berhenti mengalir. Tapi Air mata pendengar menganak sungai. Sungguh ia tak ingin cacat. Tuhan punya rencana. Tolong jangan hina hasil ciptaan Tuhan. Permohonan hati Leta menyatu menjadi not-not sedih dalam senar biola. Ia ingin menumpahkan sedihnya dalam setiap gesekan. Sempurna, Leta menggesek nada terakhir Moonligh Sonata.
Air sungai kembali mengalir seperti semula. Hanya penonton masih terpaku. Adora bertepuk tangan, diiringin tepuk tangan dari pengunjung pesta lainnya. Tanpa sadar Bara ikut melakukan hal yang sama.
Simha Sang Bangsawan Tertinggi menuju panggung, wajahnya datar. Ia terkenal kejam dan tidak mengampuni siapa saja yang menentangnya. Kematian seluruh keluarganya oleh wabah beberapa tahun yang lalu menjadika dia seperti robot tanpa perasaan. Kesedihan mendalam membuat dia tak bisa menangis lagi.
Kecemasan menjalari hati Adora, takut sahabatnya mendapat hukuman. Karena bermain biola tanpa seizin Simha.
“Siapa namamu, Anak Muda?”
“Saya Leta, Tuan.”
“Sungguh Indah anak muda, mampu menangis lagi.”
Adora tersenyum lega di depan sana.
“Maukah kau bermain musik di istanaku? Menjadi pengganti putraku yang telah tiada ”
Leta menatap Adora, meminta pendapat. Gadis itu menganggung sambil menghapus air mata.
“Baik, Tuan.”
“Apa orang tua ini terlalu banyak meminta, jika ingin mendengar gesekan biolamu sekali lagi?’
Senyum mengembang di bibir Leta. Ia menggesek biolanya kembali. Nada-nada  Turkish Marchnya Mozart mengalir merdu, mengajak kaki untuk menari. Seindah syukur yang dipanjat Sang Violis. Betapa tidak,hari ini ia menemukan keluarganya yang hilang. Adora benar, dunia luar memang sangat indah. Hadirin bergembira sambil berdangsa. Bunga-bunga mekar kembali.
Tamat
Violis: pemain biola
Luthier: Orang yang membuat/membetulkan alat music berdawai.
Ludwing van Beethoven: Komponis music klasik yang menjadi tuli.berasal dari Jerman
Wolfgang Adeus Mozart: Maestro komponis musik klasik dunia

Komentar

Postingan Populer