LAMBE

Serambi Indonesia, 8 Maret 2015.

BIBIR itu penuh dan senantiasa terlihat basah. Bibir itu benar-benar menghantui tidurku, meresahkan malam-malamku. Tanpa pikir panjang kudatangi pemiliknya dan berkata, “Boleh kupinjam bibirmu?”
Tanpa menungu jawaban Andana, kukeluarkan cutter yang sudah kusiapkan terlebih dahulu, kupotong bibir indah itu. Kemudian kumasukkan ke dalam ranselku.
Dan pemiliknya tak bisa berkata-kata lagi kecuali igauan yang tidak kumengerti artinya. Saat kupotong tadi ada daging antara hidung dan mulut yang ikut lenyap. Dan dia tak bisa berbicara lagi. Aku tidak peduli.
Bibir tebal berbentuk indah yang telah menggodaku kini sudah menjadi milikku. Tanganku menepuk-nepuk tas yang kujinjing. Aku beranjak pulang. Meninggalkan Andana dalam kicauan yang tidak kumengerti.
***
Sesampai di rumah aku bergegas ke kamar. Kuletakkan tas di atas tempat tidur, kubuka resletingnya perlahan-lahan. Aku tidak mau bibir indah itu rusak karena perbuatanku. Kukeluarkan dengan hati-hati. Kupandangi sejenak. Sisa daging di atas bibir yang tidak sengaja ikut terpotong merusak estetika benda itu sendiri. Kuambil kembali cutter tadi, kubuang daging tersebut.
Sempurna! Bibir itu benar-benar terlihat seksi. Bibir itu kuberi perekat kemudian kutempelkan di atap kamar. Aku mau, begitu aku membuka mata, bibir indah itu menyambutku. Aku tersenyum melihat hasil karya seniku hari ini. Kemudian aku menuju kamar mandi membersihkan darah yang masih berbekas di pisau.
Setelah membersihkan badan aku membaringkan tubuhku di tempat tidur. Bibir yang tertempel di atap kamar seakan memanggil-manggil sisi lain dari diriku untuk menyentuhnya. Membelai lembut dengan tanganku, kemudian melumat habis dengan bibirku. Khayalan itu membangunkan harimau yang tertidur dalam diriku. Aumannya menghentak-hentak, membuatku kesusahan menahannya. Peluh bercucuran dari badan kekarku. Aku capek dan ingin istirahat. Kupejamkan mata tapi ia terus menghentak-hentak. Aku benar-benar tak bisa menahannya lagi.
Kuambil pakaian yang tadi kucampakkan sembarangan. Aku berjalan ke luar rumah. Bibir saja tidak cukup. Aku harus membawa pulang bagian lain dari tubuh perempuan itu. Dadanya pasti kenyal dan renyah.
Aku menyetop sebuah taksi yang akan membawaku kepada Andana.
***
Setelah membayar sejumlah uang sebagaimana yang tertera di argo,aku menuju ke tempat biasa. Tempat sepi yang dilalui Andana sepulang les piano. Aku menyelinap kebalik sebuah pohon mahoni besar yang mungkin sudah berusia ratusan tahun. Dan benar saja, tak berapa lama menunggu gadis itu lewat sambil memegang mulutnya yang sudah tidak memiliki bibir. Bibirnya sudah berpindah ke loteng kamarku.
Aku mendekat. Gadis itu terlihat ketakutan. Mulutnya kembali mengeluarkan suara yang tidak jelas. Dalam satu gerakan, aku membekap mulutnya dan menyeret tubuhnya menuju sebuah gudang kosong yang berada tidak jauh dari tempat itu.
Sesampai di dalam gudang, kuikat tangan dan mulut gadis berkerudung itu dengan jilbabnya yang kukoyak. Kukunci pintu gudang dari dalam. Aman sudah. Aku tinggal mengincar dadanya. Dada ranum yang menggugah selera. Kulepas kancing bajunya. Ia mencoba melawan. Tapi sekuat apa tenaga seroang perempuan berseragam putih biru?
Tenagaku tentu lebih kuat. Kuambil cutter yang kusiapkan dalam ranselku. Aku mulai mengerat dada kirinya. Kumasukkan ke dalam ranselku. Kemudian aku mulai mengerat dada kanannya, kumasukkan dalam ransel juga.
Kulihat ia menangis terisak. Tapi harimau dalam diriku masih menghentak. Aku benar-benar tak bisa berhenti. Ingin membawa pulang satu bagian tubuhnya lagi. Bagian yang bisa membuat harimauku berhenti menghentak. Aku bergerak menuju bagian bawah tubuh gadis itu.
Di luar terdengar suara gaduh. Pintu gudang dibuka paksa.
“Berhenti! Angkat tangan!”
***
Koran-koran nasional mengeluarkan headline dengan judul yang hampir sama secara bersamaan.”Telah Ditangkap Tangan Seorang Pelaku Pencabulan Di Kota X.”
* Ida Fitri, kontributor buku antologi Metamorfosis dan Hantu Galau.









Komentar

Postingan Populer