LANTUNAN ZIKIR BERBULU

Ida Fitri, Pernah dimuat di Kedaulatan Rakyat, 06 Maret 2016

AKU kembali melirik arah jam 10.00 benar saja-sepasang mata sedang menatapku tak berkedip. Penasaran, kakiku melangkah ke arah wanita tua yang melilitkan kain hitam di kepalanya itu. Jujur, aku tidak mengenal satu pun penduduk desa ini. 
“Maaf, Nek. Kita pernah bertemu sebelumnya?” Ia menggeleng-gelengkan kepala. “Lantas kenapa kau menatapku terus?” lanjutku lagi. 
“Ada makhluk berbulu, hitam dan besar di atas pundakmu, Nak.” 
***
Sekali waktu Tuhan pernah mengutuk manusia menjadi kera. Dan bulu-bulu pun tumbuh di seluruh badan mereka. Ayat tentang manusia menjadi kera membuatku ragu pada teori seorang pria lainnya yang pernah kubaca di SMP dulu. Darwin berkata jika manusia berevolusi dari kera. Ia menunjukkan bukti-bukti ilmiah. Hanya saja Darwin itu manusia, bukan Tuhan, Sang Maha. Bisa saja teorinya salah belaka. 
Kenapa aku jadi membahas teori-teori tentang kera? Bukan salahku jika aku memang sering bersinggungan dengan makhluk berbulu. 
Waktu itu, aku masih kuliah, seorang teman mengajak ke rumahnya yang berada di pantai sebelah selatan. Sementara rumahku sendiri berada di pantai utara. Ia menjanjikan, cukup membayar ongkos pulang saja, ongkos pergi ditanggung oleh ayah temanku itu yang memiliki usaha mobil L-300. Sebagai anak kos, ajakan temanku itu sangat menggiurkan. Pantai selatan terkenal dengan pasir putih dan pulau-pulau kecil nan indah. 
Jadilah kami berangkat dan menginap di kampung halaman temanku itu. Deburan ombak bisa terdengar jelas sampai ke rumahnya. Dan rumahnya itu berada di belakang sebuah pesantren besar. Abuya Muda Wali, sang pemilik terkenal karomah dan sangat disegani. Beliau baru saja tutup usia. Kuburannya masih didatangi peziarah dan dibacakan ayat ilahi. Aku juga diajak temanku berziarah. 
Sempat terpaku melihat panjangnya kubur sang Abuya. Mungkin derajatnya sekaliber aulia Tuhan. Menurut guru ngajiku, hanya orang-orang tertentu yang dilapangkan kuburnya oleh Tuhan. Bisa dilihat dengan ukuran kuburan yang memanjang dan melebar dengan sendirinya. Tentu itu bukan sesuatu yang bisa diimpikan oleh orang biasa sepertiku. 
Aku sudah hampir melupakan Abuya dan kuburannya, jika tidak pada malam terakhir, aku bermimpi aneh. Aku didatangi oleh binatang sejenis kera tapi ukurannya lebih besar dan berwarna hitam. Makhluk itu mengajakku duduk melingkar, kemudian mulai memuji dan menyebut namaNya dalam zikir yang begitu akrab denganku. Zikir yang sama, yang kudengar dibacakan di kuburan Abuya. Aku begitu saja terlarut dalam aura syahdu itu. 
Saat terbangun aku masih merasakan mulutku komatkamit membaca zikir. Jantungku berdetak lebih keras. Perlahan aku menuju dapur untuk mengambil air minum. Setelah aku tenang, aku berusaha tidur kembali. Naas-nya mimpi itu terulang lagi. Aku kembali berzikir bersama kerakera raksasa itu sampai pagi menjelang. 
“Itu pertanda penunggu pesantren menginginkanmu menjadi santri di sana,” ujar ibu temanku ketika kuceritakan perihal mimpiku. Aku tersenyum simpul menanggapi ucapan Ibu yang telah menampungku selama empat hari di rumahnya itu. Tersirat sedikit rasa bangga juga karena kehadiranku dikehendaki oleh makhluk gaib penghuni pesantren. Tapi untuk menjadi santri di sana, bukanlah cita-citaku. 
Sekembali dari rumah temanku itu, kesibukan kuliah melupakanku pada makhluk-makhluk berbulu dalam mimpiku. Bahkan sampai aku selesai kuliah dan mulai bekerja. Hingga pada suatu malam, aku melihat sepasang tangan berbulu melambai-lambai di jendela kamarku. 
***
Semenjak sepasang tangan berbulu muncul di jendela kamar, aku menderita insomnia akut. Aku mulai ketakutan dan tidak bisa tidur. Syukur jika aku bisa terlelap pukul tiga malam. Kadang mataku sanggup bertahan tanpa tidur semalam suntuk. Lingkar hitam mulai muncul di lingkar mataku. Semakin lama semakin jelas. Teman-teman kantorku berpikir mungkin aku kerja terlalu berat. Atau suntuk dengan suasana kantor. Atau psikologis-ku jenuh dengan dekorasi kamarku sendiri. 
Atas nasihat seorang teman, sepulang kerja aku mengubah letak tempat tidur dan lemariku. Malam itu aku benarbenar bisa tidur dengan lelap. Hatiku senang bukan kepalang. Ternyata kejenuhanlah penyebab insomnia-ku. Tapi semuanya membal, ketika pada malam selanjutnya aku terbangun ketakutan tengah malam. Aku merasakan ada makhluk besar dan berbulu menghimpitku. Selanjutnya aku kembali tidak bisa tidur. 
Kasihan melihat aku tidak bisa konsentrasi saat bekerja menyusun sebuah laporan keuangan, sang atasan memerintahkanku untuk ikut Tim DTPK ke daerah terpencil. Mungkin dengan melihat sungai dan hijaunya pegunungan, masalah insomnia-ku teratasi. 
***
Aku tak henti memuji sang pencipta melihat indahnya pemandangan di depan sana. Matahari yang tersenyum malu di balik punggung pegunungan. Angin berhembus menerpa wajah-wajah kami yang sudah berada di atas perahu bermotor. Pante Kera, nama kampung tempat kami memberikan pelayanan kesehatan gratis bisa dicapai dengan lima jam bermobil di jalan becek dan dua jam menggunakan perahu bermotor. 
Tangan perlahan kujatuhkan di hamparan air sungai yang bewarna kecoklatan itu. Rasa dinginnya air pegunungan membuatku cepat-cepat menarik tangan kembali. Tapi rasa lelahku hilang seketika. Betul kata nabi, jika sangat lelah lihatlah tiga hal, anak-anakmu, pegunungan hijau dan air yang mengalir. Ah, nabi memang tak pernah salah. Rasa kantuk langsung menyerang. Tapi indahnya alam yang masih perawan ini memaksaku untuk terus membuka mata. Rugi besar jika ada yang terlewat. Yang pasti nanti malam aku akan terlelap dengan mudah. 
Benar saja, begitu sampai di rumah kepala desa yang disangga tiang-tiang damar hutan, aku langsung tertidur pulas. Jika tidak dibangunkan oleh teman, aku pasti sudah melewatkan makan malam dengan daging rusa. Keesokan harinya, begitu posko pengobatan gratis dibuka. Orang-orang mulai berdatangan. Dan seorang perempuan tua yang melilitkan kain hitam di kepalanya selalu mencuri pandang ke arahku. 
***
Terkejut mendengar penuturan ibu tua itu, spontan aku memegang pundak. Tak ada apa-apa. 
“Nek, jangan menakutiku.” 
“Tidak, aku tidak menakutimu. Memang ada makhluk hitam berbulu sedang bertengger di pundakmu.” Aku teringat pada insomnia yang kualami dan sepasang tangan berbulu di jendela kamarku. Mungkin nenek itu ada benarnya. Bulu kudukku berdiri. 
“Bagaimana aku mengusirnya, Nek?” Rasa takut menyelimuti hati. Aku kembali mengingat-ingat ketika bermimpi diajak berzikir oleh segerombolan kera. Mereka terlihat baik dan bersahabat, berbeda dengan kera-kera yang belakangan sering menghantui tidurku. 
Lama nenek itu terdiam, kemudian ia berucap pelan, “Tidak ada, tidak ada yang bisa kamu lakukan.” 
“Maksudmu, Nek? Ini seperti diguna-guna orang?” Aku teringat Maryamah Karpov-nya Andrea Hirata. Jika digunaguna orang, maka jin itu akan menekan punggung korban.
“Hmmm, entahlah. Yang pasti makhluk itu sangat menyukaimu,” ujar nenek itu lagi. “Nenek harus pulang,” lanjut nenek itu sambil meninggalkanku dalam ketermanguan. 
Banyaknya warga yang mengantre untuk memperoleh pelayanan dokter kabupaten membuatku melupakan perkataan nenek tadi. Dokter yang berada di puskesmas tidak dapat ikut serta karena dipanggil badan kepegawaian untuk mendaftar ulang kelulusan PNS-nya. Jadilah aku satu-satunya dokter yang melayani masyarakat satu desa yang datang berbondong-bondong. 
Ketika malam menjelang, aku langsung tertidur. Rasa capai mengalahkan hikayat kera perempuan tua yang berkain hitam tadi. Rasa sesak ingin buang air membangunkanku pada tengah malam. Aku menemukan sekelilingku telah gelap. Mungkin listrik desa yang menyala tadi telah pula dimatikan. Aku meraba senter yang kuletakkan di dalam tas ranselku. Begitu kutemukan, langsung kutekan tombolnya dengan jempolku. Betapa terkejutnya aku mendapati teman-teman yang tadi tertidur di sampingku telah dipenuhi bulu hitam. Seketika aku ingat, jika nama kampung ini Pante Kera ... 
Ida Fitri, lahir di Bireuen 25 Agustus. Sekarang menjadi Penyuluh Kesehatan Masyarakat di Aceh Timur.

Komentar

Postingan Populer