BIDADARI BERBULU HITAM
CERPEN IDA FITRI Pernah Tayang di Serambi Indonesia 3 April 2016
Benar saja, suara jerit memilukan
yang membangunkanku semalam berasal dari rumah panggung itu. Sebuah rumah yang
di bagian depan sejajar dengan jalan desa, sementara bagian belakangnya
disangga tiang-tiang kokoh damar gunung.
Rasa penasaran membuat kakiku terus
melangkah mendekati bangunan itu. Jangan-jangan seorang perempuan hilang akal
dipasung di situ. Begitu berada di samping sebelah kanan rumah, mataku tak
berkedip menatap ke bawah sana.
***
Mata kekuningan makhluk berbulu itu
menusuk hatiku. Dan tiba-tiba mulutnya bergerak pelan, “Tolong…, kamu harus
menolongku.”
Kaki meangkah turun dari tatakan
tanah yang dibuat menyerupai tangga. Kini aku berada tepat di samping makhluk
itu, “Apa yang bisa kulalukan untukmu?”
“Tolong, lepaskan tali-tali yang
mengikat kakiku. Aku harus pulang.”
Duh, tatapannya benar-benar
menyedihkan. Aku menjadi iba, tapi …, “Tidak bisakah kau terima takdirmu saja?”
Makluk itu sedikit menunduk, lalu bulir bening menetes dari mata kuningnya. “Kenapa
Kau diikat di sini? Kenapa kau tidak bersama temanmu saja,” sambungku lagi
sambil melihat ke sekeliling. Dan tidak kujumpai siapa pun di dekat rumah
panggung itu.
“Aku …, aku tidak berasal dari sini.
Aku datang dari tempat yang jauh,” jawabnya pedih.
“Jangan coba-coba menipuku.”
Makhluk itu menatapku penuh amarah,
“Menipumu? Buat apa? Kau hanya orang kota yang menganggap dirinya serba bisa.
Sombong! Padahal kau tak tahu apa-apa.”
Aku mundur beberapa langkah. Kucubit
lenganku. Sakit. Aku tidaksedang bermimpi jika sedang dimaki dan dihina seekor
kambing betina berbulu hitam. Lima jam bermobil ditambah dua jam naik boat aku
baru bisa sampai di pedalaman ini. Untuk memberi pelayanan kesehatan pada
warga, bukan untuk dimaki seekor kambing betina. Dari tempatku datang juga
banyak kambing, hanya tidak ada yang bisa berbicara seperti ini. Kecuali yang
dikambinghitamkan. Mereka bisa berbicara tapi tidak sepintar makhluk berbulu di
depanku. Kebanyakan mereka tak pandai membantah ketika sebuah kesalahan
ditimpakan.
“Kau …!” Aku tak dapat menahan
amarahku.Badanku sampai bergetar hebat. Atau mungkinkah aku sudah gila? Hanya
berhalusinasi jika makhluk itu bisa berbicara bahkan menghujat? Atau aku
tersambat jin sungai atau jin hutan?
“Tahan amarahmu dulu.”
Tidak
aku sangat normal. Binatang di depanku benar-benar berbicara. Kuambil sebongkah
batu segenggaman orang dewasa yang tergeletak di bawah rumah panggung. “Kurang
Aj….” Aku mematung ketika kulihat ia menangis pilu. Hatiku menjadi sendu.
Isakannya mengingatkanku pada ibu nun jauh di sana.
“Lihatlah
aku baik-baik. Apa akau seperti kambing yang sering kamu lihat?”
Sekali
lagi kuperhatikan makhluk di depanku. Bulu hitam lebat menutupi seluruh
tubuhnya. Dan bulu itu tumbuh lebih panjang dari bulu kambing pada umumnya.
Tatapan mata yang begitu liar tapi ketakutan. Dan … tanduk, tanduknya ramping,
pendek melengkung ke belakang. Sementara cuping telinganya sedikit aneh. Sejenak
aku teringat jenis satwa langka di buku IPS dulu.
“Kambing
hutan Sumatera, Sumatran Serow…,”
desisku perlahan. Satwa yang dilindungi karena terancam punah. Mereka pasti
telah menangkap dan mengikatnya di sini.
“Iya,
aku datang dari hutan. Dan di sana…,” ia terdiam sejenak, “Di sana anakku
sedang menanti diriku untuk menyapih.”
Lututku
menjadi lemas. Tak ada laporan jika kambing hutan bisa berbicara, pasti ada
yang salah dengan makhluk di depanku. Atau ada yang salah dengan diriku
sendiri. Tapi tatapan menghiba makhluk itu membuatku melihat ke sekeliling lagi.
Tak kutemukan satu pun manusia lain yang berada di tempat itu. Teman-temanku
yang bergotong royong bersama warga tadi pagi seakan telah lenyap ditelan bumi.
Perlahan
aku mendekat, tanganku mencoba membuka tali yang mengikat kaki makhluk
tersebut. Spesies yang sangat langka.
“Ibu,
mau membeli kambing itu?” Suara bariton dari belakangku hampir membuat jantungku
berhenti berdetak. Cepat, kutarik tanganku dari hewan tersebut. “Tidak mahal,
satu juta saja,” lanjut lelaki itu lagi.
Belum
hilang kekagetanku karena kemunculan lelaki bersarung kotak-kotak itu, aku
kembali dikejutkan dengan nominal yang ditawarkan lelaki itu, “Satu juta?” Aku
ingin meyakinkan pendengaranku.
“Iya,
satu juta. Tapi kambingnya baru bisa dibawa setelah kami sembelih. Biar tidak
ditangkap.”
Kambing
biasa saja harganya di atas satu juta. Dan ini Sumatran Serow? Dan mereka juga tahu satwa ini dilindungi? Ya
Tuhan, mungkin tidak sampai dua dekade lagi makhluk ini akan benar-benar lenyap
dari permukaan bumi. Sejenak aku melirik makhluk berbulu di dekatku. Matanya
masih berkaca-kaca. Ia pasti memikirkan anaknya yang kelaparan. Sepertinya aku
memang harus melakukan sesuatu.
“Bisa
Sembilan ratus ribu saja, Pak,” tawarku penuh harap.
“Tidak
bisa, Bu. Lihatlah ia gemuk. Dagingnya banyak,” Lelaki itu memamerkanhasil
buruannya.
Aku
terdiam,mencoba menghitung-hitung uang cash yang ada di dompetku, “Bagaimana
kalau Sembilan ratus lima puluh ribu rupiah?” Aku mencoba menawar sekali lagi.
“Hmm…,
baikalh kalau untuk Ibu Dokter,” Syukurlah lelaki itu menyetujuinya, “Akan
segera kami sembelih untuk Ibu, sementara Ibu melakukan pengobatan untuk warga
kami.”
“Tunggu!”
Sebuah rencana terpampang jelas di otakku, “Boleh kubawa berjalan-jalan
sebentar?”
“Ini
kambing hutan, Bu. Sangat liar.”
Aku
menanggapinya dengan sebuah tersenyum, mataku mencoba menenangkan makhluk itu,
“ Bantu aku melepaskan ikatan di kakinya, Pak.”
“Tapi,
Bu.”
“Tidak
apa-apa, Pak. Aku bisa mengurusnya,” ujarku seraya mengeluarkan Sembilan
lembaran merah dan satu lembaran biru dari dompet.
Dengan
sedikit rasa tak percaya, lelaki itu mengambil uang dari tanganku dan mulai
melepaskan ikatan kaki makhluk itu. Kemudian ia serahkan ujung tali yang
melingkar di leher makhluk berbulu itu kepadaku. Setelah mengucapkan terima
kasih, aku menyeret satwa berbulu hitam itu ke pinggir desa.
***
“Kan sudah saya bilang, Bu. Makhluk
itu sangat liar, apa lagi pejantan sebesar itu. Pasti kuat dan ….”
“Jantan? Kambing hutan tadi jantan?”
“Iya, Jantan. Ia punya tanduk dan
kelamin,” jawab lelaki bersarung yang hasil buruannya kuganti dengan uang tadi.
Aku merasakan bumi sedikit berputar, kemudian terduduk lemas. Ingatanku kembali
ke pinggir hutan satu jam yang lalu ….
“Terima kasih sudah menyelamatkanku,
Bu. Anakku pasti sangat senang.”
“Salam untuk anakmu, jaga dengan
baik dan menjauhlah dari sini,” ujarku seraya melepaskan makhluk yang kuseret
tadi. Ia pun berlari cepat ke arah hutan.
Makhluk
itu telah sukses menipuku….
“Jeumpa, kudengar kamu membeli
kambing hutan, ya?” Bhak, salah satu teman penyuluh kesehatan yang berasal dari
kabupaten memegang bahuku.
“Iya, tapi kambing hutannya lepas.”
Lelaki bersarung kotak-kotak mewakiliku menjawab.
“Belum rejekimu kali, Jeum. Yuk ah,
warga sudah berkumpul di Poskesdes menunggu ibu dokter.”
Bhak benar, kambing itu memang telah
membohongiku. Ia tidak sedang meneteki anaknya. Tapi pejantan itu mungkin akan
menjadi bapak dari beberapa kambing hutan nantinya. Menjadi penerus keberadaan
spesiesnya di hutan Sumatera. Dan aku sudah membantu kelangsungan sebuah
spesies. Tak perlu ada penyesalan.
Aku
bangkit kemudian melangkah ke arah poskesdes. Banyak hal yang masih harus
kulakukan ….
Selesai
Aku suka, aku suka...
BalasHapusCerpennya menarik mba...
Makasih, Mba
Hapus