KANIBAL LINGE
Serambi Indonesia, 5 Juni 2016
Dulu ketika kakek belum lahir,
bahkan kakeknya kakek juga belum lahir. Ada sekelompok orang di Linge yang
hobinya memakan orang. Kupikir itu hanyalah omong kosong para indatu untuk
menakuti anak-anak mereka yang nakal. Tapi keyakinan itu pudar ketika usiaku
menginjak tujuh belas, aku melihat seorang lelaki berperut buncit sedang
mengunyah tangan seorang perempuan tua. Semenjak itu aku sering merasakan nyeri
di ulu hati ….
Rasa nyeri semakin menohok ulu
hatiku. Kudatangi semua dokter internis yang ada di kota, tapi rasa ini tak
kunjung hilang juga. Bahkan pengobatan alternatif pun kucoba. Mulai dari yang
membacakan ayat suci hingga yang meminta disembelih seekor kambing hitam tanpa
satu helai bulu putih pun, sudah kujalankan. Hanya saja nyeri di ulu hati tak
kunjung sembuh, melainkan semakin menghentak tak menentu.
Umurku sudah menginjak dua puluh
tujuh, sebentar lagi aku akan menikah. Mirah, gadis berlesung pipit itu adalah
calon istriku. Gadis baik-baik bergelar sarjana ekonomi dengan senyum yang
menawan. Sungguh calon istri yang sempurna. Rasanya tak tega membebani gadis
itu dengan nyeri yang senantiasa menghentak ulu hati. Nyeri yang muncul sejak
aku berusia tujuh belas. Aku harus segera sembuh. Sejenak aku teringat
perkataan almarhum kakek, tentang kanibal Linge. Yah mungkin jawabannya ada di
Linge. Aku harus ke sana ….
***
Dengan membawa bekal seadanya,
berangkatlah aku menuju dataran tinggi Linge untuk mencari jejak-jejak kanibal
di sana. Pohon pinang saling kejar-mengejar di kiri kanan jalan. Mobil yang
kutumpangi berjalan berkelok-kelok menuju pegunungan. Pemandangan di pinggir
jalan pun berubah menjadi deretan hutan pinus, pohon sekar liar, pohon ijuk
hingga pohon yang tidak kukenal. Kadang sungai sungai kecil berbatu memotong
jalan yang kami lewati. Semakin ke atas, kulihat di sisi kiri jalan ada air
pancuran yang mengalir dari sela-sela tanah pegunungan. Udara semakin dingin.
Kututup kaca minibus yang kutumpangi.
Linge, terletak di sebuah lembah
yang subur. Yang dikelilingi pegunungan deretan bukit barisan. Tuhan memang
sangat menyukai keindahan. Dan hasil karya Tuhan sungguh tiada duanya.
Pemandangan di Linge seakan dilukis oleh maestro yang kepekaannya melebihi Da
Vinci saat memoles Mona Lisa. Markisah liar merambat di pohon jeruk tua.
Buahnya terasa manis dan dimakan bersama bijinya itu bergelantungan seperti
jamrud menghiasi leher jenjang perempuan cantik. Di sela-sela belukar mengalir
sungai berbatu. Airnya jernih mengalahi air mineral yang dipaket dalam botol.
Rumah-rumah penduduk yang terbuat dari bilah-bilah papan kayu hutan berjejer di
sepanjang jalan, antara bukit dan jurang. Hawa dingin merasuk tulang. Burug
berkicau layakyna opera klasik yang dipimpin Mozart. Tidak, inilah bingkai
kehidupan yang disutradarai Tuhan.
Rasanya tidak mungkin ada kanibal di
sini. Sepertinya kakek telah salah mengartikan kanibal yang ada dalam kisah
para tetua. Itu hanya kiasan saja. Tapi akan rugi saja jika sudah jauh-jauh ke
sini tanpa menikmati pemandangan surgawi yang disuguhkan alam ini. Kakiku
melangkah masuk ke lembah Linge dari tempat minibus meninggalkanku di jalanan
tadi. Jalan setapak yang kulalui membawaku sedikit menurun ke lembah.
“Cepat! Jangan sampai kita
tertangkap.” Aku mendengar suara seorang lelaki yang mungkin seumuran denganku
sebelum sebuah tubuh menabrakku. Kami jatuh berjumpalitan di antara tumbuhan
rambat.
“Kau siapa?” aku dan lelaki itu
bertanya secara bersamaan saat tubuh kami berhenti di dekat batang pohon alvokad.
Seorang lelaki berambut ikal yang berlari bersama lelaki itu tak kalah
terkejutnya menatapku. Tapi lelaki itu kembali berlari dengan wajah pucat pasi.
Aroma bahaya tercium kental di sekitar kami. Aku menarik lelaki yang jatuh
bersamaku ke balik tumbuhan rambat yang berbunga ungu.
Selang beberapa menit kulihat
seorang lelaki kurus jangkung berjalan tergesa melalui jalan setapak yang tadi
kulalui. Burung dan binatang hutan terdengar gelisah.
“Sia….” Lelaki yang jatuh bersamaku
membekap mulutku dengan tangannya. Rasa takut terpancar jelas dari wajahnya.
Dan aku tidak bertanya lagi hingga lelaki kurus berambut lurus itu kuayakini sudah
berada jauh dari tempat ini. Aku menjauhkan tangan lelaki di dekatku dari
mulutku.
“Yang kau lihat tadi Geugasi.”
“Geugasi?”
“Iya, makhluk pemakan daging
manusia.”
Kali ini aku yang terkejut. Aku
menatapnya tak percaya. Jadi yang dikatakan kakek memang benar adanya? Ada
kanibal di Linge. Bahkan sampai di jaman teknologi ini. Dan yang lebih tidak
bisa dipercaya adalah perawakan lelaki tadi. Kurus dan tinggi berambut lurus
dengan wajah tak berdosa. Bisakah orang seperti itu memakan daging manusia?
“Kau jangan bohong?”
Lelaki yang tadi jatuh bersamaku
menatapku acuh, “Terserah kau, yang jelas dia mengincar kami tadi.”
Penasaran, aku mengikuti lelaki itu
menuju ke arah desa. Merasa tidak nyaman, lelaki itu berbalik ke arahku,”Kau
mau kemana?”
“Ma, maaf. Aku mencari penginapan di
desa. Aku baru tiba dari Kota Juang.”
“Tidak ada penginapan di lembah
kecil ini. Kusarankan kau menginap di rumah Pak Geuchik. ”
“Baiklah ….”
“Panggil aku Wen Hadis,” jawab
lelaki itu seraya melangkah kembali. Dan aku beruntung punya tempat menginap
sambil menyelidiki sang kanibal.
***
Pak Geuchik ternyata berperakan
tinggi dan berkulit legam, lengkap dengan kumis melintang di atas bibirnya. Tatapannya
tajam menusuk sampai ke tulang belakang. Kupikir sosok di depanku ini lebih
tepat disebut kanibal dibandingkan sosok kurus tinggi berkulit sawo matang yang
kulihat tadi. Segenap kecurigaan menyeruak di hati. Bagaimana jika kanibal yang
sesungguhnya adalah Pak Geuchik? Lelaki kurus tadi hanya kambing hitam saja.
Sepertinya aku harus mulai berhati-hati.
Di rumah pemimpin Linge ini aku
diberikan sebuah kamar sebagai tempat untuk beristirahat. Ada meja dengan
buku-buku pelajaran sekolah dasar tersusun di atasnya. Kupikir ini kamar putra
bungsunya. Putri sulungnya sedang kuliah di Kutaraja, yang kedua juga perempuan
masih duduk di bangku SMP. Itu menurut cerita Wen Hadis di jalan tadi. Pemilik
kamar mungkin saja diungsikan ke kamar ibu-bapaknya atau ke kamar kakaknya. Ah
bukan urusanku.
Lantai kamar ditinggikan sekitar
sejengkal dari lantai ruang tamu yang disemen kasar. Bilah-bilah kayu dijadikan
lantai kamar tidur. Kayu dipilih untuk mengurangi dingin yang memang sangat
menyiksa ini. Kutarik selimut tebal yang disediakan untukku. Tatapan tajam mata
Pak Geuchik kembali bermain di mataku. Kegelisahan datang, bagaimana jika
dugaanku benar? Pak Geuchiklah yang kanibal, bukan Geugasi seperti dugaan warga.
Karena itu mataku menjadi tak mau terpejam. Jangkrik masih bermain musik. Malam
semakin larut. Aku mendengar suara langkah di ruang tamu menuju ke samping
rumah.
Bagaimana jika itu Pak Geuchik yang
hendak mencari korban? Tanpa pikir panjang, aku bangun dan pelan-pelan membuka
pitu kamar. Mungkin dengan memecahkan misteri sang kanibal, rasa nyeri di ulu
hati ini bisa sembuh. Berjinjit aku mengikuti suara langkah yang sudah berada
di samping rumah. Suara ranting patah dan rumput yang terpijak memberiku arah
jika langkah itu menuruni tebing yang berada di belakang rumah. Beruntung
cahaya rembulan memberiku sedikit penerang.
Dugaanku benar, sosok hitam yang
berada sedikit di bawah sana memang Pak Geuchik. Ada apa malam-malam begini dia
keluar rumah? Sungguh mencurigakan. Aku mendengar suara air pancuran mengalir
di bawah. Dan betapa kecewanya aku ketika kudapati sosok itu mulai menyingkapi
lengan baju dan membasuh tangan di pancuran. Aku berbalik untuk kembali ke
kamarku.
“Mau sembahyang malam juga, Anak
muda?” Suara Pak Geuchik menghentikan langkahku. Aku tak punya pilihan, selain
ikut berwudhu bersama dirinya.
“Apa yang sebenarnya kamu cari di
sini, Nak?” tanya lelaki berkumis itu ketika kami berjalan memanjat ke atas.
“Ceritakan padaku tentang Geugasi, Pak.”
Lelaki itu mendesah berat, “Sungguh
biadap. Dia sangat gemar memakan daging manusia, dulu hanya orang yang tersesat
di hutan yang dimakannya. Tapi belakangan dia mulai memakan daging penduduk
desa.” Pak Geuchik berhenti sejenak. Lereng di depannya seakan begitu susah
untuk didaki, “Korban terakhirnya adalah sepasang bayi kembar tanpa dosa.”
“Bukankah dulu juga pernah terdengar
kabar tentang kanibal di Linge?”
“Oh, dulunya memang ada kanibal di
sini. Tapi keturunannya sudah lama punah.”
Kejadian saat berumur tujuh belas
kembali terputar dalam ingatanku. Aku memegang ulu hatiku yang kembali terasa
nyeri, “Kenapa tidak dilaporakan polisi saja, Pak?”
“Itu dia masalahnya, polisi selalu
tak berkutik. Mesti kurus, sebenaranya Geugasi sangat kuat dan kulitnya kebal
senjata. Satu-satunya senjata yang bisa melukainya adalah rencong gading.”
Aku benar-benar prihatin, ulu hatiku
kembali berdenyut. Sesuatu harus segera dilakukan. Pasti ada jalan keluarnya.
“Bapak tidak melapor ke Pamong Praja
di Kota?”
“Iya, Bapak sudah memikirkannya.
Rencananya besok Bapak akan menghadap Pamong Praja. Sebaiknya kamu juga ikut.
Bapak lihat kamu sangat tertarik pada masalah ini.” Pak Geuchik membuka pintu
samping rumahnya. Kami berdua kembali masuk ke dalam rumah. Aku menjadi sedikit
lega.
***
Paginya,
aku dan beberapa orang penting desa berangkat ke kota untuk menemui Pamong
Praja. Sebisa mungkin kami menghindari berpapasan dengan Geugasi. Rencana kami
kali ini harus berhasil. Mungkin Pamong Praja bisa meminjamkan rencong gading
miliknya. Konon hanya rencong gading yang mampu melukai kulit Geugasi.
Menurut kabar yang kami dengar,
Pamong Praja itu sangat baik dan lembut perangainya. Orang-orang banyak yang
bersimpati kepada beliau. Ketika matahari beranjak di atas kepala, kami sudah
berdiri di depan kantor Pamong Praja.
Seorang perempuan muda menyuruh kami
menunggu di sebuah ruangan terlebih dahulu. Menurutnya Pamong Praja sedang
keluar sebentar. Tanpa kehilangan semangat kami duduk beristirahat di sebuah
tempat duduk yang empuk. Pengatur udara membuat ruangan terasa hangat. Tidak
sedingin di lembah.
Setelah setengah jam berlalu, kami
dipersilahkan menuju ruangan Pamong Praja. Lelaki itu pasti telah kembali. Pak
Geuchik berjalan paling depan. Perempuan muda tadi mengetuk pintu sebelum
membukanya. Dan seoarang lelaki kurus, tinggi, berkulit sawo matang yang
berwajah polos itu sudah menunggu kami. Rasa nyeri tak tertahankan menghujam
tepat di ulu hatiku.
Selesai
Tentang Penulis.
Ida Fitri, lahir di
Bireuen 25 Agustus. Sekarang menjadi Penyuluh Kesehatan Masyarakat di Aceh
Timur.
Endingnya selalu gitu, kak ida. Bikin penasaran. Ah apakah rupanya si lelaki kurus itu adalah..
BalasHapus