PENYEMBAH SANGGUL-SANGGUL
Koran Amanah. Edisi pertama weekend, 11 Juni 2016
Pada satu hari di Bulan April, mereka akan menuhankan
sanggul-sanggul.
***
Ada empat puluh Sembilan orang pasien menghuni bangsal
ruang saraf. Pada jam 01.32 dini hari terdengar suara brangkar disorong di
lorong depan. Aku bergegas menyambut penghuni baru tersebut. Seorang pemuda
yang terus-terusan memuntahkan isi perutnya. Menurut petugas UGD, lelaki itu
mengalami kecelakan lalu lintas. Motornya selip saat menghindari seekor kucing.
Dia lebih memilih terpelanting dari pada menabrak kucing. Mungkin dia menyakini
jika menabrak kucing akan membawa
kesialan. Konon lagi jika binatang itu mati. Si penabrak harus menebar garam di
sekeliling rumah untuk menolak sial.
Terdapat
luka lecet pada lengan hingga sikunya. Mungkin terbentur aspal. Ada perban
besar di bagian kiri tengkoraknya. Terjawablah sudah kenapa dia tidak berhenti
memuntahkan isi perut. Trauma kepala mengganggu keseimbangan dan menyebabkan
muntah.
Kami memindahkan pasien ke tempat tidur bangsal. Petugas
UGD pergi denggan brangkar kosong. Lelaki itu benar-benar tinggal sendirian
sekarang. Menurut petugas tadi, dia diantar ke UGD oleh pengguna jalan yang
kebetulan berada di tempat kejadian. Mereka sudah pulang. Keluarga si lelaki
tersebut belum bisa dihubungi. Sekarang sepenuhnya dia menjadi milikku.
Aku terus berada
di sisinya. Memberinya baskom untuk tempat muntah kemudian membuang muntahanya.
Memegang tangannya agar tidak bergerak liar yang bisa menyebabkan selang-selang
infus tercabut. Iya, inilah profesi yang telah kupilih, harus sabar
menjalaninya. Toh ini menuku sehari-hari. Dua teman piketku sedang mengurus
pasien lain.
Dua jam sudah berlalu. Pasien di depanku sudah tenang dan
tidak muntah lagi. Aku bisa bernapas lega. Aku keluar dari kamar yang terdiri
dari empat ranjang tersebut. Anehnya malam ini terisi semua. Dari luar kembali
terdengar suara brangkar didorong semakin dekat ke bangsal saraf. Kerjaan lagi,
pikirku.
Kali ini seorang ibu tua merintih pelan. Aku mengambil
reka medik yang diletakkan di dekat kaki pasien. “Stroke ringan” tertera di
dalam map putih tersebut. Aku menyilahkan pasien didorong ke bangsal yang terdiri
dari sepuluh tempat tidur. Kamar semuanya telah penuh.
“Ibu kami pensiunan golongan IV. Kami tidak mau Ibu
dirawat dibangsal,” protes anak lelaki yang ikut mengantar.
“Maaf, Pak. Kamar sudah penuh.” Kupikir ini akan jadi
rumit.
“Kosongkan dong,” ujar anak perempuannya.
Dugaanku benar. Ini menjadi segelas kopi pahit malam
ini.”Tidak bisa dong, Pak, Bu. Kami tak mungkin menyuruh pasien pulang.”
Kulihat kilat amarah pada mata anak lelakinya.
“Ya sudah, kami ke ruangan lain saja,” ujar anak lelakinya.
“Tapi ….” Petugas pendorong brangkar hendak protes. Aku
memeberi isyarat dengan mata padanya untuk menuruti saja. Lelaki yang kami
hadapi bukan tipe yang suka menurut. Dan aku sudah bisa menebak skenario
selanjutnya.
Dugaanku benar, tiga puluh menit kemudian pasien tadi
kembali di dorong ke ruanganku. Aku berpura-pura tidak tahu apa yang sudah
terjadi. Aku mengurus calon pasien ruang saraf itu dengan baik. Setelah
semuanya beres, alarm android-ku berbunyi. Ternyata sudah pukul 05.00 Wib. Dan
di situ tertulis “Tiga puluh menit lagi antar Risti ke salon.”
Sekali lagi kutatap catatan itu. Istriku sanggup merepet
dua hari dua malam kalau sampai telat. Padahal jam tugasku belum selesai dan aku
belum tidur semenit pun malam ini. Tapi Risti lebih menakutkan dari itu semua.
Dua
puluh satu April sialan, makiku dalam hati. Aku minta izin pulang cepat pada
dua temanku yang bertugas malam. Kemudian kupacu mobilku meningalkan tempat
parkir rumah sakit.
***
“Mas, kok telat?! Make up-ku nggak maksimal nanti!
Bagaimana kalau aku terlambat sampai kantor? Mas harusnya tahu, Pak Walikota
ikut datang. Aku sudah beberapa kali mengingatkan, Mas,” repetan Risti
menyambut kepulanganku.
“Iya, Mas cuci muka dan ganti baju dulu.” Aku memilih untuk
berdamai dengan istriku.
“Tak perlu. Nanti keburu telat. Mas langsung antar saja.”
Lagi-lagi aku menurut. Terlalu lelah untuk menantang kemauan wanita yang sudah
lima tahun menjadi istriku ini. Dia tipe wanita yang akan melakukan apa pun
untuk mencapai tujuannya. Bahkan dulu dia nekat meminum dua puluh pil diazepam
ketika orang tuanya menentang pernikahan kami. Orang tuanya sudah punya calon,
seorang pemuda yang digadang-gadang akan menjadi pejabat penting negeri ini.
Tetapi Risti tidak menyukai pemuda itu. Untung wanita yang kini menjadi istriku
itu bisa cepat tertolong. Nyawanya selamat.
Risti tidak mungkin akan bunuh diri karena terlambat
datang di hari Kartini. Kejadian itu sudah lima tahun berlalu. Kini dia stabil
dan dewasa. Kariernya cemerlang dan membanggakan. Bahkan pada tahun ini untuk
ketiga kalinya dia terpilih sebagai pegawai teladan di kantornya. Dia mempunyai
andil besar dalam menggaet investor yang akan bekerja sama untuk mengembangkan
bisnis property mereka. Mengucurkan uang untuk mebangun gedung-gedung
bertingkat. Dan Pak Walikota ikut hadir untuk memberikan penghargaan. Risti
benar-benar wanita yang bisa diandalkan.
Aku
kembali menyetir mobil dengan Risti di sampingku. Lima belas menit kemudian
kami sudah berada di depan salon terbesar di kotaku. Sebuah bangunan berlantai
dua. Dinding-dindingnya di cat merah maron. Ornamen indah memagari balkon di
lantai atas. Anggrek bulan yang sedang berbunga diletakkan dengan rapi di
sebuah kerangka besi yang berbentuk pepohonan. Sebuah gazebo kecil beratapkan
tirai kawat berlobang kecil melindungi kerangka besi tersebut. Pemiliknya
sangat pintar memikat klien. Mungkinkah dia seorang wanita berumur 40-an yang
masih terlihat jelas kecantikan di masa mudanya? Atau seorang lelaki feminim
yang hobi menata rambut dan menyukai anggrek?
“Mas,
Aku langsung ke dalam ya?” ujar Risti menghentikan rasa penasaranku pada
pemilik salon.
Terburu-buru
Risti membuka pintu mobil. Dia berlari masuk. Kepalaku terasa berdenyut.
Mungkin karena kurang tidur. Setelah sedikit lebih baik aku menyusul istriku.
Saat tanganku hampir menyentuh pintu salon, Risti keluar dengan wajah panik dan
marah.
“Brengsek! Mereka sudah memegang klien lain.”
“Loh, bukannya kamu sudah buat janji?”
“Katanya aku terlambat. Kita ke salon lain saja.”
Kuturuti lagi kemauan istriku. Aku melarikan mobil ke
sebuah alamat yang diberikannya. Beruntung jalan masih lenggang. Sesampai di
depan sebuah ruko kuhentikan mobilku. Dinding-dinding kaca memenuhi bagian
depan tempat tersebut. Gayatri Salon tertera di depannya. Beberapa perempuan
terlihat bergerombol di depan. Kami menyadari satu hal, kami tidak punya
harapan.
Sebuah
alamat kembali meluncur dari mulut istriku. Kupacu kembali mobil, tapi rasa
sakit menghentak kepalaku. Aku sedikit memicingkan mata. Tangan kiriku mengusap
pelipis. Mungkinkah darah rendahku kumat lagi? Kulirik Risti. Matanya menatap
ke depan. Aku tahu pikirannya tidak berada di sini. Dia terlalu fokus pada
sanggul yang akan dikenakannya nanti. Smapai tidak menyadari aku sedang
kesakitan. Aku tidak boleh mengecewakan wanita yang pernah menentang orang
tuanya untuk bersamaku.
“Cepat, Mas,” ujarnya semakin tidak sabar. Kutekan pedal
gas lebih dalam. Sepertinya bulu-bulu tumbuh dari lenganku, kemudian menjelma
menjadi sepasang sayap. Aku seperti terbang. Sempat kulihat cahaya yang
menyilaukan mata. Terdengar benturan keras. Kemudian aku benar-benar terbang.
***
Aku membuka mata perlahan. Terlihat samar, setitik hitam
dan bayang-bayang putih. Setelah mengerjab beberapa kali, semuanya menjadi jelas. Seorang wanita bersanggul dan
berkebaya putih membelakangiku. Dalam hati aku bersyukur, akhirnya istriku
berhasil menemukan salon yang meriasnya. Dia tak perlu cemas terlambat tiba di
kantor. Tersenyum penuh martabat saat menyalami Pak Walikota. Dan wanita cantik
itu adalah istriku.
“Risti …,” panggilku pelan.
Perempuan itu berbalik, aku tercekat. Itu bukan istriku.
Sebuah tahi lalat bertengger di dagunya. Aku terkesiap, wajah itu sangat
familiar.
“Dimana istriku?”
“Akulah istrimu.” Perempuan itu tersenyum menatapku. Tapi
itu bukan Risti ….
Selesai
Tentang Penulis.
Ida Fitri, lahir di
Bireuen 25 Agustus. Sekarang menjadi Penyuluh Kesehatan Masyarakat di Aceh
Timur.
Bagus :)
BalasHapusMakasih, Mas :)
HapusEndingnya gantung, euy. Ceritanya bagus.
BalasHapusJudulnya keren, kak Ida. Buatku penasaran.
Bagus mba
BalasHapus