SERAUT WAJAH BERBINGKAI POHON

Pikiran Rakyat, 19 Juni 2016

             “Kau menghantui mimpiku hanya untuk ini? Menatap wajahmu yang berbingkai akar pohon? Betapa naifnya dirimu. Ingat! aku Solada Budiharjo, bukan Yashodara.” Gadis berambut ikal sepinggul itu memamerkan kemarahannya di bawah sebuah pohon di bekas reruntuhan kuil Wat Mahatthat, Ayutthaya.

            “Untuk ini aku melupakan mimpiku kuliah di Harvard. Ya Tuhan, kegilaan macam apa yang terjadi padaku.” Solada kembali menumpahkan kekesalan hatinya. Tanpa terasa sebutir bening menetes di sudut matanya. Dan patung kepala yang berada di antara akar pohon besar tesebut tetap tersenyum bisu.
***
            Setahun terakhir Solada kerap didatangi mimpi aneh. Seorang lelaki berwajah rupawan senantiasa memanggil namanya dari sebuah pohon besar. Gadis tersebut sempat berpikir, jika lelaki itu adalah takdirnya di masa yang akan datang. Ketika mimpinya diceritakan kepada mama yang bedarah Thai, wanita berumur lima puluh itu tercenung sejenak.

“Coba ceritakan bentuk pohon itu, Nak,” tanya mama dalam ketermanguannya.

“Sebuah pohon besar dengan akar-akar meranggas di bawahnya.” Gadis berkulit kuning langsat itu mencoba mengingat-ingat mimpinya, “Pohon beringin besar sepertinya, dan di dekat situ ada reruntuhan bangunan.”

“Ayutthaya …,” ujar mama lirih. “Lupakan saja mimpimu itu.” Lanjut wanita yang menggulung rambutnya itu dengan wajah keruh.

Melihat reaksi aneh mama, Solada semakin penasaran dengan mimpinya. Mama sempat menyebutkan Ayutthaya, mulailah gadis tersebut meng-googling tempat tersebut. Sebuah reruntuhan kerajaan yang diserang oleh bangsa Burma. Dan di reruntuhan kuil, terdapat sebatang pohon besar yang membingkai seraut wajah. Jantung Solada berdetak kencang melihat pemandangan itu. Pemandangan yang persis di dalam mimpinya. Ada apa dengan tempat itu? Kenapa mama begitu takut ketika ia menceritakan mimpinya. Yang lebih tidak bisa diterima akal lagi, Mama tak pernah mengajaknya pulang ke Thailand, negara tempat Mama dilahirkan.

Ketika mengutarakan keinginannya untuk kuliah di negara yang terkenal dengan hasil pertanian tersebut, Papa menyuruhnya bertanya pada Mama. Dan jawaban Mama bisa ditebak dengan mudah. Mama tidak setuju anak gadisnya kuliah di negara asalnya itu.

Solada tidak menyerah, ia berusaha untuk mendapatkan beasiswa di Mahidol, sebuah universitas yang menjadi sasaran mahasiswa Indonesia. Mama tak bisa berbuat apa-apa melihat anaknya membawa pulang selembar pemberitahuan penerimaan sebagai mahasiswi Mahidol dengan beasiswa sebuah lembaga nirlaba. Sementara Papa menanyakan keinginan putrinya yang sebelumnya begitu menggebu untuk kuliah di Harvard. Apa putrinya takut dengan persaingan Harvard? Sang putri hanya mengangkat bahu. Satu yang pasti, sebagai lulusan master bisnis di Harvard, Papa sedikit kecewa dengan pilihan Solada. Tapi sekali lagi, Papa bukanlah orang tua otoriter. Papa selalu mengutamakan kebahagiaan anak-anaknya. Begitu juga ketika Kak Rangga lebih memilih kuliah musik dibandingkan melanjutkan perusahaan Papa. Untuk sedikit mengobati kekecewaan Papa, Solada tetap memilih jurusan bisnis di Mahidol.
***
            Solada merasakan ada sesuatu yang dingin menimpa tengkuknya, spontan jemarinya menyentuh benda tersebut, “Sial, benar-benar sial.” Gadis itu melihat sekelompok burung gereja terbang dari atas pohon besar itu.

“Kau!” Telunjuk gadis itu mengarah pada sebingkai wajah patung yang berada lebih kurang 30 cm dari tanah itu. Mata patung itu seperti menusuk dalam ke relung hati Solada, seperti ada sebuah kekuatan lain yang mulai membayangi gadis itu. Mendadak bulu kuduk gadis itu berdiri. Ia ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu.

Gadis bercelana pastel itu berbalik, mulai berlari meninggalkan pohon besar tersebut. Dan tubuh gadis itu menabrak sebuah tubuh lain yang datang dari arah berlawanan. Ia jatuh menimpa batu reruntuhan kuil. Rasa nyeri menyerang dahinya yang benjol.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya lelaki yang menabraknya dalam bahasa Thai.

“Aku…, aku,” ujar gadis itu sambil memegang dahinya. Walau kelihatannya Mama tidak begitu menyukai negaranya, tidak menghentikan perempuan itu untuk mengajari putra putrinya bahasa Thai. Mungkin Mama punya alasan tertentu sehingga tak pernah mengajak anak-anaknya ke Bangkok.

“Sepertinya dahimu terluka,” Lelaki itu ikut berjongkok untuk memeriksa dahi Solada.

“Kau!” Jantung Solada hampir berhenti berdetak melihat seraut wajah yang kini begitu dekat dengan dirinya.

“Kamu mengenalku?” tanya lelaki itu lagi seraya memegang luka benjol di dahi Solada.

“Ah, sakit.” Gadis itu menjerit kecil, “Tidak, aku tidak mengenalmu. Hanya ….” Gadis berdarah Indonesia-Thailand itu menggantungkan kalimatnya. Wajah itu begitu familer karena terlalu sering menghantui tidurnya.

“Maksudmu?” lelaki itu menangkap keterkejutan Solada.

“Hmm, kenalkan. Aku Solada, dari Indonesia.” Gadis itu beruhasaha mengalihkan pembicaraan. Mungkin lelaki di depannya akan langgsung kabur begitu ia menceritakan mimpi-mimpinya.

“Aku Rajan,” jawab lelaki itu seraya menyalami Solada dengan hangat. “Sepertinya luka memar di kepalamu harus diobati,” lanjutnya lagi.
        
      Solada memang mesarakan dahinya semakin berdenyut. Rajan membantunya berdiri dan membopongnya meninggalkan sisa-sisa reruntuhan kuil. Gadis itu sempat melihat sebuah patung Budha tanpa kepala. Tapi lelaki di sampingnya membuat gadis tersebut segera melupakan hal itu.
***
         Gadis berdarah campuran itu terkejut menemukan dirinya berada di sebuah ruangan aneh. Ruang kecil dengan akar-akar pohon jatuh menjuntai. Sebuah benda semacam lentera dijadikan penerang tempat tersebut.
           
        “Kita dimana?” tanya Solada pada lelaki muda yang berjalan di depannya, “Apa ini sejenis tempat pengobatan alternatif?”

            Rajan berhenti dan membalikkan badannya. Lelaki tersebut memamerkan senyumannya pada gadis itu. Dan Soleda menyadari satu hal, Rajan sangat mirip dengan patung yang berada di pohon tadi. Tidak! Tidak mungkin ia sedang berhadapan dengan Sang Budha yang terkenal itu. Gautama sudah lama mati. Sejenak ia mengingat-ingat sejarah. Tapi ia tak pernah membaca dimana lelaki itu dikuburkan.

          “Jangan takut, aku hanya ingin memberikan pengakuan.” Lelaki yang bernama Rajan itu     duduk di sebuah batu yang berbentuk bale-bale itu. “Iya, aku memang lelaki yang wajahnya terperangkap di akar-akar kayu.” Ia terdiam sejenak. “Ibumu apa kabar?”

            Rajan mengenal mama? Pasti ada sesuatu yang salah. Jika lelaki yang duduk di depannya adalah lelaki yang wajah patungnya berada di akar pohon, tentu umurnya sudah ratusan tahun. Sementara mamanya paling tidak baru berumur lima puluh tahun.

            “Kau mengenal mama? Tidak mungkin. Siapa kau sebenarnya?”

            Kembali senyuman terlukis di sudut bibir lelaki itu,  “Sepertinya kamu yang tidak mengenal ibumu, Anak Manis.”

            “Untuk inikah kau selalu datang dalam mimpiku?” Gadis tersebut kembali memegang dahinya yang dirasakan berdenyut.

            “Maafkan, aku. Rasa bersalah ini telah membunuhku berulang kali. Tidak seharusnya aku meninggalkan Yashodara sendirian. Tidak seharusnya aku begitu egois.”

            Tidak! Yang duduk di depanmu bukan Gautama, Solada! Sadarlah, Kau calon ekonom dari Mahidol. Gunakan akal sehatmu. Jangan-jangan lelaki di depanmu sedang ingin mengambil keuntungan karena mengenal mama. Dan mama juga bukan Yashodara, wanita Gautama.

            “Tolong sampaikan permohonan maafku pada Yashodara, Anak Manis.”

           “Aku tidak mengenal Yashodaramu, tolong jangan mempermainkan aku. Biarkan aku pulang.” Mungkin mama benar, tak seharusnya ia kuliah di Thai. Dan mengikuti lelaki ini adalah kesalahan lainnya yang dilakukan Solada.

            “Sampaikan saja kata maafku pada ibumu, dia akan mengerti.”

            Lagi-lagi ia menyebut mama. Apa hubungannya dengan Mama? “Biarkan aku pulang.”

           “Silahkan, Anak Manis. Tapi tolong jangan pernah melihat ke belakang, begitu kamu melewati jalan yang ada di sana.” Jempol lelaki itu mengarah pada sebuah lorong yang berada di sebelah kanannya.

           Setengah berlari, Solada melewati lorong yang ditunjuk lelaki di dalam mimpinya. Ia ingin cepat-cepat keluar dari tempat tersebut. Begitu ia melihat langit biru, mata gadis itu menangkap bekas reruntuhan kuil. Ternyata tempat tadi masih di sekitar reruntuhan kerajaan Ayutthaya.

Peringatan Rajan atau siapa pun lelaki itu mencegah keinginan gadis itu untuk melihat lokasi tempat aneh tadi. Ia malah mengeluarkan android dari tas kecilnya. Dengan cepat tangannya menyentuh layar mencari nomor mama. Begitu tersambung tak terdengar jawaban dari mamanya. Ia coba sekali lagi, tetap tak ada jawaban. Lalu ditekannya nomor Papa. Suara kerinduan terdengar jelas di seberang.

            “Mama mana, Pa?

           “Lah bukannya Mama menyusulmu minggu lalu?” jawab lelaki itu santai. Tapi kecemasan lain melanda Solada. Spontan ia menatap ke belakang. Yang ada hanya rerentuhan kuil dan beberapa patung Budha.

Selesai

Tentang Penulis.
Ida Fitri, lahir di Bireuen 25 Agustus. Sekarang menjadi Penyuluh Kesehatan Masyarakat di  Aceh Timur.

Komentar

  1. ada lanjutannya ngga ka? agak bingung endingnya? ibunya ikut kejebak disana?? maaf banyak nanya hehehe

    BalasHapus
  2. Endingnya...
    Hmmmm tapi bagus ceritanya, cm emding gantung

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer