BUNTALAN MIKAIL

Koran Tempo, edisi 23-24 Juli 2016



            Mikail melipat mendung, kemudian memasukkan dalam buntalan bawaannya. Ia hendak beranjak, namun memergokiku yang sedang menatapnya tidak percaya. Seketika aku sadar telah berada pada tempat yang salah.

           “Hai! Kau yang mencuri dari buntalanku?”

            Satu yang harus kulakukan, cepat-cepat menghilang dari tempat ini. Aku berbalik dan mulai berlari, memutar otak, berpikir tempat yang harus dituju.

            “Jangan lari, Kau!” ujarnya penuh amarah.

            Kakiku pun menjadi berat, menapak bumi. Terdengar suara benda jatuh, mungkin itu sebuah papan iklan yang berada di pinggir jalan tepat di belakangku. Hati ini menjadi tidak keruan. Aku melirik sebuah gang sempit yang berada di sebelah kiri, tapi kakiku benar-benar sudah terpaku bumi. Aku belum pernah bertemu malaikat sebelumnya. Konon lagi dengan tuduhan kriminal. Sepertinya aku butuh pengacara.
***
            Terlihat jelas paras kesedihan di wajah Mikail, ia duduk berselonjor kaki di trotoar. Kenderaan dan pejalan kaki terus berlalu lalang, tanpa sedikit pun menoleh ke arah kami. Induvidualisme sudah menjadi akar dari kota ini. Kamu hanya perlu memedulikan diri sendiri.

Terdengar klakson keras dari sebuah mobil sedan yang sepertinya sedang sangat terburu-buru. Di depan mobil itu terlihat seorang lelaki beruban turun dari mobil bewarna gelap. Ia berjongkok, melihat ban depannya yang kempes, kemudian memaki tak karuan. Mobil di belakang mulai berbaris berderet sambil membunyikan klakson sahut menyahut. Lelaki beruban menunjuk-nunjuk ke arah ban yang kempes. Sementara di sebelah kanan mobil juga merayap lambat, membuat mobil di belakang mobil yang mogok tidak punya ruang untuk menyalip.

“Kau yakin, tidak mencuri dari buntalanku?” Mikail kembali menanyakan hal yag sama.

“Aku hanya seorang musafir di kota ini. Atas alasan apa aku mencuri dari buntalan seorang malaikat?” Aku balik bertanya.

Kulihat ekpresi Mikail berubah-ubah. Dan itu bukan milik manusia. Andaikan yang berlalu lalang sedikit saja memperhatikan gurat di wajah Mikail, mereka akan langsung menyadari, ada malaikat di sini. “Jadi siapa yang telah mengambil dari buntalanku?”

“Kamu telah kehilangan sesuatu yang sangat penting?”

“Aku kehilangan ratusan hujan setiap harinya.”

“Jadi itu alasanmu melipat mendung tadi?” Yang terdengar hanya deru mobil dan rentetan klakson. 

“Kupikir kamu seperti anak kecil saja, Mikail,” lanjutku lagi.

Mikail menatap ke arahku, aku ingin mencabut perkataanku sendiri.

Lelaki beruban mencoba memasang dongkrak ke as ban depan yang kempes. Pengemudi sedan di belakang turun dari mobil, kemudian mulai merapal berbagai jenis caci maki. Kedongkolan terlihat jelas di parasnya. Lalu ia mengambil handphone dari saku kemeja putih berkerah merah dengan les yang sama di lengan dan bahu.

“Kota ini sudah lama kemarau. Lihat tanaman di pinggir jalan itu! Dengarkan tangisannya. Tidakkah kamu sedikit iba? Tak seharusnya kamu melipat mendung tadi.” Akhirnya kuputuskan untuk jujur.

Mikail menunduk, kupikir ia memahami ucapanku tadi. “Masalahnya tidak semudah itu, Anak muda. Akibat pencurian hujan, terjadi ketidakseimbangan dalam buntalanku. Aku khawatir kalau ini terus berlanjut, maka atmosfir menjadi semakin timpang. Dan ….” Paras Mikail terlihat aneh.

“Dan?” tanyaku tidak sabaran.

“Bisa jadi hujan badai akan meluluh lantakkan kota, atau malah kemarau dalam waktu yang lama. Hingga kaktus sekali pun mati.”

“Tidak bisakah kamu mengatasi masalah itu?”

Mikail menggeleng, tapi itu bukan seperti gelengan manusia pada umumnya.

Aku tercekat, ini sangat mengerikan. ”Kupikir kita harus segera menemukan pencuri   hujan itu.”

Lelaki beruban menyeret ban serap dari bagasi mobilnya.  Pengemudi di belakangnya terlihat sedang marah-marah di telepon. Sepertinya ia kehilangan satu momen berharga. Tangan sebelah kirinya membetulkan kerah kemeja. Dan aku menyadari satu hal penting, tentang pencuri dari buntalan Mikail.

“Mikail, sepertinya aku menemukan pencuri itu!”
***
            “Yakin kita sudah berada pada koordinat yang tepat?” tanya seorang lelaki berseragam pada pilot helicopter yang mereka tumpangi.

            Sang pilot menggangguk. “Sekarang, giliranmu, Bung.” Sembari memberi kode dengan tangan seperti di film-film Hollywood. Lelaki berseragam menekan katup pembuka corong pembuangan.  1.000 kg Urea, CaCl2 dan Sodium Klorida terbang keluar menuju  awan kumulus yang sedang berkembang, maka proses hujan pun segera dimulai.

            “Selesai, kita pulang sekarang,” ujar lelaki berseragam. “Aku harus menghadiri acara ulang tahun anakku. Kenapa pula harus menggantikan tugas Rustam hari ini. Seharusnya aku sudah pulang dari tadi.”

            “Sabar, Bung. Sebentar lagi kau akan bertemu anakmu. Anggap saja hujan yang turun nanti sebagai hadiah ulang tahun anakmu.” Pilot membawa helicopter itu menuju ke pangkalan. Di belakang mereka awan tadi mulai menghitam.

            Terdengar sura petir menyambar, “Kamu yakin kita tidak  membuat kesalahan tadi?” ujar pilot sambil melihat ke belakang.

            “Bukannya kau yang memastikan titik koordinatnya?” Lelaki di belakangnya malah balik bertanya. 

“Tapi seharusnya tidak seektrim ini,” lanjut lelaki itu lagi sambil melihat ke belakang. Tergambar jelas kecemasan di paras keduanya.
***
            “Katakan! Katakan, siapa dia, Anak muda?” Tangan Mikail mengguncang-guncang bahuku dengan keras.

            “Sakit, lepaskan. Jangan sembarang memakai tenaga malaikat.” Mungkin tulang bahuku ada yang retak akibat cenngkramannya.

            Dia melepaskan bahuku tanpa  rasa bersalah. “Kupikir ini hanya kesalahpahaman saja?” ujarku seraya mengusap-usap bahuku yang masih sakit.

            “Jangan bercanda, anak muda.”

            Lelaki beruban mengembalikan dongkrak ke bagasi mobil, pertanda masalahnya sudah selesai. Pengemudi  berseragam di belakangnya kembali duduk di kemudi. Tampangnya sudah tidak sekusut tadi lagi.

            “Masalah ini menjadi sangat komplit, Mikail. Kupikir kamu tidak akan mengerti.”

            “Katakan saja, jangan mempermainkan aku, Anak Muda.”

            “Namaku Orin.” Aku memperkenalkan diri seraya berpikir bagaimana caranya menjelaskan masalah ini pada Mikail. Mobil lelaki beruban sudah mulai meninggalkan tempat itu. Begitu pun dengan mobil sedan di belakangnya.

            “Kamu pernah mendengar istilah bayi tabung, Mikail?” tanyaku kemudian. Dan detik itu pula, aku menyesal telah berpikir tidak membutuhkan pengacara. Kilat dan petir kecil menyambar -nyambar buntalan yang disandang Mikail.

            Citra seragam pengemudi sedan tadi muncul di kepalaku. Hanya dengan menyebut satu kata, masalahku selesai. Mikail pasti akan melepaskanku. Hanya, apakah ini bijak? Bagaimana aku bisa hidup setelah itu?

            Mikail menatap langit, kemudian berteriak sekencang-kencangnya. Aku mendengar suara papan iklan jatuh, kemudian suara tiang listrik roboh. Dan langit berubah lebih gelap. Badai telah mengamuk. Petir itu seperti menyambar-nyambar buntelan yang dibawa Mikail. Aku mencoba bertiarap di trotoar.

            “Mikail! Ini apa?” Teriakku mencari perhatian sang malaikat.

            “Ada yang kembali mencuri dari buntalanku,” ujarnya berang.

            “Dan kamu ingin menghukum semua orang?” tanyaku di antara bunyi benda jatuh dan petir yang menggila. Hanya hujan tak kunjung turun.

            Dari jauh aku melihat sebuah titik hitam di kejar sebuah pusaran. Titik itu semakin jelas membentuk sebuah capung berkerangka besi. Pusaran itu menelan apa pun yang dilaluinya. Helicopter itu berlomba dengan badai di belakangnya.

            “Mikail, kupikir kamu harus menolong mereka,” ujarku berpaling ke tempat Malaikat itu berdiri. Kosong, tak ada siapa-siapa di sana. Dan sebuah papan iklan jatuh di sebelah kiriku ….
SELESAI

Tentang Penulis.
Ida Fitri, lahir di Bireuen 25 Agustus. Sekarang menjadi Penyuluh Kesehatan Masyarakat di Aceh Timur.

Komentar

  1. Kamu nakal sekali mengacak acak benak pembaca mu ....tidak sampai di situ ....kamu mainin emosi dari kalimat kekalimat sampai ending yg menyebabkan pikiran kosong sejenak ....kamu nakal sekali

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas Bakti
      Selalu saja kak Ida ini membuat sesuatu yang membuat pembaca berpikir.

      Hapus
  2. Cerpennya keren sekali.
    Aku suka idenya, narasinya, tokohnya, deskripsinya.
    Jempol deh :D
    imajenasi Kak IDa keren.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer