BUNTALAN MIKAIL
Mikail melipat mendung, kemudian
memasukkan dalam buntalan bawaannya. Ia hendak beranjak, namun memergokiku yang
sedang menatapnya tidak percaya. Seketika aku sadar telah berada pada tempat
yang salah.
“Hai! Kau yang mencuri dari buntalanku?”
Satu yang harus kulakukan, cepat-cepat
menghilang dari tempat ini. Aku berbalik dan mulai berlari, memutar otak,
berpikir tempat yang harus dituju.
“Jangan lari, Kau!” ujarnya penuh
amarah.
Kakiku pun menjadi berat, menapak
bumi. Terdengar suara benda jatuh, mungkin itu sebuah papan iklan yang berada
di pinggir jalan tepat di belakangku. Hati ini menjadi tidak keruan. Aku
melirik sebuah gang sempit yang berada di sebelah kiri, tapi kakiku benar-benar
sudah terpaku bumi. Aku belum pernah bertemu malaikat sebelumnya. Konon lagi
dengan tuduhan kriminal. Sepertinya aku butuh pengacara.
***
Terlihat jelas paras kesedihan di
wajah Mikail, ia duduk berselonjor kaki di trotoar. Kenderaan dan pejalan kaki
terus berlalu lalang, tanpa sedikit pun menoleh ke arah kami. Induvidualisme
sudah menjadi akar dari kota ini. Kamu hanya perlu memedulikan diri sendiri.
Terdengar
klakson keras dari sebuah mobil sedan yang sepertinya sedang sangat
terburu-buru. Di depan mobil itu terlihat seorang lelaki beruban turun dari
mobil bewarna gelap. Ia berjongkok, melihat ban depannya yang kempes, kemudian
memaki tak karuan. Mobil di belakang mulai berbaris berderet sambil membunyikan
klakson sahut menyahut. Lelaki beruban menunjuk-nunjuk ke arah ban yang kempes.
Sementara di sebelah kanan mobil juga merayap lambat, membuat mobil di belakang
mobil yang mogok tidak punya ruang untuk menyalip.
“Kau
yakin, tidak mencuri dari buntalanku?” Mikail kembali menanyakan hal yag sama.
“Aku
hanya seorang musafir di kota ini. Atas alasan apa aku mencuri dari buntalan
seorang malaikat?” Aku balik bertanya.
Kulihat
ekpresi Mikail berubah-ubah. Dan itu bukan milik manusia. Andaikan yang berlalu
lalang sedikit saja memperhatikan gurat di wajah Mikail, mereka akan langsung
menyadari, ada malaikat di sini. “Jadi siapa yang telah mengambil dari buntalanku?”
“Kamu
telah kehilangan sesuatu yang sangat penting?”
“Aku
kehilangan ratusan hujan setiap harinya.”
“Jadi
itu alasanmu melipat mendung tadi?” Yang terdengar hanya deru mobil dan
rentetan klakson.
“Kupikir kamu seperti anak kecil saja, Mikail,” lanjutku
lagi.
Mikail
menatap ke arahku, aku ingin mencabut perkataanku sendiri.
Lelaki
beruban mencoba memasang dongkrak ke as ban depan yang kempes. Pengemudi sedan
di belakang turun dari mobil, kemudian mulai merapal berbagai jenis caci maki.
Kedongkolan terlihat jelas di parasnya. Lalu ia mengambil handphone dari saku
kemeja putih berkerah merah dengan les yang sama di lengan dan bahu.
“Kota
ini sudah lama kemarau. Lihat tanaman di pinggir jalan itu! Dengarkan
tangisannya. Tidakkah kamu sedikit iba? Tak seharusnya kamu melipat mendung
tadi.” Akhirnya kuputuskan untuk jujur.
Mikail
menunduk, kupikir ia memahami ucapanku tadi. “Masalahnya tidak semudah itu,
Anak muda. Akibat pencurian hujan, terjadi ketidakseimbangan dalam buntalanku.
Aku khawatir kalau ini terus berlanjut, maka atmosfir menjadi semakin timpang.
Dan ….” Paras Mikail terlihat aneh.
“Dan?”
tanyaku tidak sabaran.
“Bisa
jadi hujan badai akan meluluh lantakkan kota, atau malah kemarau dalam waktu
yang lama. Hingga kaktus sekali pun mati.”
“Tidak
bisakah kamu mengatasi masalah itu?”
Mikail
menggeleng, tapi itu bukan seperti gelengan manusia pada umumnya.
Aku
tercekat, ini sangat mengerikan. ”Kupikir kita harus segera menemukan
pencuri hujan itu.”
Lelaki
beruban menyeret ban serap dari bagasi mobilnya. Pengemudi di belakangnya terlihat sedang
marah-marah di telepon. Sepertinya ia kehilangan satu momen berharga. Tangan
sebelah kirinya membetulkan kerah kemeja. Dan aku menyadari satu hal penting,
tentang pencuri dari buntalan Mikail.
“Mikail,
sepertinya aku menemukan pencuri itu!”
***
“Yakin kita sudah berada pada koordinat
yang tepat?” tanya seorang lelaki berseragam pada pilot helicopter yang mereka tumpangi.
Sang pilot menggangguk. “Sekarang,
giliranmu, Bung.” Sembari memberi kode dengan tangan seperti di film-film
Hollywood. Lelaki berseragam menekan katup pembuka corong pembuangan. 1.000 kg Urea, CaCl2 dan Sodium Klorida
terbang keluar menuju awan kumulus yang
sedang berkembang, maka proses hujan pun segera dimulai.
“Selesai, kita pulang sekarang,”
ujar lelaki berseragam. “Aku harus menghadiri acara ulang tahun anakku. Kenapa
pula harus menggantikan tugas Rustam hari ini. Seharusnya aku sudah pulang dari
tadi.”
“Sabar, Bung. Sebentar lagi kau akan
bertemu anakmu. Anggap saja hujan yang turun nanti sebagai hadiah ulang tahun
anakmu.” Pilot membawa helicopter itu
menuju ke pangkalan. Di belakang mereka awan tadi mulai menghitam.
Terdengar sura petir menyambar,
“Kamu yakin kita tidak membuat kesalahan
tadi?” ujar pilot sambil melihat ke belakang.
“Bukannya kau yang memastikan titik
koordinatnya?” Lelaki di belakangnya malah balik bertanya.
“Tapi seharusnya
tidak seektrim ini,” lanjut lelaki
itu lagi sambil melihat ke belakang. Tergambar jelas kecemasan di paras
keduanya.
***
“Katakan! Katakan, siapa dia, Anak
muda?” Tangan Mikail mengguncang-guncang bahuku dengan keras.
“Sakit, lepaskan. Jangan sembarang
memakai tenaga malaikat.” Mungkin tulang bahuku ada yang retak akibat
cenngkramannya.
Dia melepaskan bahuku tanpa rasa bersalah. “Kupikir ini hanya
kesalahpahaman saja?” ujarku seraya mengusap-usap bahuku yang masih sakit.
“Jangan bercanda, anak muda.”
Lelaki beruban mengembalikan
dongkrak ke bagasi mobil, pertanda masalahnya sudah selesai. Pengemudi berseragam di belakangnya kembali duduk di
kemudi. Tampangnya sudah tidak sekusut tadi lagi.
“Masalah ini menjadi sangat komplit,
Mikail. Kupikir kamu tidak akan mengerti.”
“Katakan saja, jangan mempermainkan
aku, Anak Muda.”
“Namaku Orin.” Aku memperkenalkan
diri seraya berpikir bagaimana caranya menjelaskan masalah ini pada Mikail.
Mobil lelaki beruban sudah mulai meninggalkan tempat itu. Begitu pun dengan
mobil sedan di belakangnya.
“Kamu pernah mendengar istilah bayi
tabung, Mikail?” tanyaku kemudian. Dan detik itu pula, aku menyesal telah
berpikir tidak membutuhkan pengacara. Kilat dan petir kecil menyambar -nyambar
buntalan yang disandang Mikail.
Citra seragam pengemudi sedan tadi
muncul di kepalaku. Hanya dengan menyebut satu kata, masalahku selesai. Mikail
pasti akan melepaskanku. Hanya, apakah ini bijak? Bagaimana aku bisa hidup
setelah itu?
Mikail menatap langit, kemudian
berteriak sekencang-kencangnya. Aku mendengar suara papan iklan jatuh, kemudian
suara tiang listrik roboh. Dan langit berubah lebih gelap. Badai telah
mengamuk. Petir itu seperti menyambar-nyambar buntelan yang dibawa Mikail. Aku
mencoba bertiarap di trotoar.
“Mikail! Ini apa?” Teriakku mencari
perhatian sang malaikat.
“Ada yang kembali mencuri dari buntalanku,”
ujarnya berang.
“Dan kamu ingin menghukum semua
orang?” tanyaku di antara bunyi benda jatuh dan petir yang menggila. Hanya
hujan tak kunjung turun.
Dari jauh aku melihat sebuah titik
hitam di kejar sebuah pusaran. Titik itu semakin jelas membentuk sebuah capung
berkerangka besi. Pusaran itu menelan apa pun yang dilaluinya. Helicopter itu berlomba dengan badai di
belakangnya.
“Mikail, kupikir kamu harus menolong
mereka,” ujarku berpaling ke tempat Malaikat itu berdiri. Kosong, tak ada
siapa-siapa di sana. Dan sebuah papan iklan jatuh di sebelah kiriku ….
Tentang
Penulis.
Ida
Fitri, lahir di Bireuen 25 Agustus. Sekarang menjadi Penyuluh Kesehatan
Masyarakat di Aceh Timur.
Kamu nakal sekali mengacak acak benak pembaca mu ....tidak sampai di situ ....kamu mainin emosi dari kalimat kekalimat sampai ending yg menyebabkan pikiran kosong sejenak ....kamu nakal sekali
BalasHapusMakasih, Say.... ;)
HapusIya mas Bakti
HapusSelalu saja kak Ida ini membuat sesuatu yang membuat pembaca berpikir.
Tapi itu keren sekali ....
BalasHapusCerpennya keren sekali.
BalasHapusAku suka idenya, narasinya, tokohnya, deskripsinya.
Jempol deh :D
imajenasi Kak IDa keren.