DINDING UTARA LIFT
Republika, Minggu, 03 Juli 2016
Kulihat ibu memejamkan mata, mungkin
sedang berdoa. Ketika ia membuka mata, pintu lift sudah terbuka di depan kami.
Beberapa orang di dalam lift menghambur keluar.
“Ibu siap?” tanyaku pada perempuan
yang sangat kuhormati itu. Ia mengangguk perlahan. Aku menggenggam tangannya,
kemudian kami melangkah masuk ke dalam ruang persegi itu. Beruntung hanya ada
seorang lelaki yang rambutnya sudah memutih bersama seorang wanita berbaju
bunga-bunga, kupikir istrinya. Mereka melangkah masuk mengikuti kami.
Aku bisa merasakan keringat dingin
keluar dari pori-pori tangan ibu. Perempuan itu pasti sedang berusaha mengatasi
rasa takut. Ketika tanganku menekan angka sepuluh, hembusan angin menerpa kulit
tanganku ….
***
Mengajak ibu jalan-jalan menjadi
buah simalakama yang harus kumakan sampai saat ini. Seperti halnya perempuan
seumurnya yang sudah melewati menapouse
sejak lama. Melalui rasa panas karena hormonnya ingin melawan suatu fase yang
disebut tua itu. Juga emosinya yang sering tidak stabil, bahkan sekali waktu
perangainya bisa menyerupai La Tifa yang masih duduk di kelas dua sekolah dasar
itu. Lain kali merajuk, ingin memiliki blus seperti milik Meulu yang beseragam
abu-abu putih.
Tapi, di luar itu semua, ibu juga
pernah dengan perkasa bekerja di sawah orang, agar aku bisa kuliah. Makan nasi
dengan asam sunti dicampur kelapa parut gongseng demi membelikan sebuah buku
kuliah Adikku. Atau bersabar untuk tidak mengganti kain sarung selama tiga kali
lebaran agar anak-anaknya bisa mengenyam pendidikan.
Rasanya, sekuat apa pun aku
berusaha, tentu tak mampu membalas segala yang telah dilakukan ibu. Dan betapa
naïf-nya aku, jika mengeluh saat ibu membutuhkan sedikit perhatian dari
putrinya. Benar kata orang, kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang
galah.
Belakangan ibu tidak pernah merajuk
untuk coklat kesukaan La Tifa, maupun baju Meulu. Ibu malah sering membicarakan
sebuah kamar tidur di hotel berbintang. Padahal setahuku, ibu tidak pernah
menginap di hotel mana pun. Kampung tempat ibu dilahirkan kemudian menikah dan
memiliki kehidupan sendiri berada jauh di pelosok Tanah Rencoh. Dan ibu juga
bukan pegawai negeri yang sering mendapatkan pelatihan dan menginap di sebuah
hotel. Saat ibu muda, tak ada seminar khusus untuk melatih pelaku home industry seperti saat ini. Jadi ibu
tak pernah bersentuhan dengan sesuatu yang berbau hotel.
Ketika Bang Sam memboyongku ke ibu
kota negara ini, ibu juga tidak memerlukan hotel untuk menginap. Sebuah kamar
khusus disediakan untuk ibu. Bahkan kamar mandi pun didesain seperti WC di
rumah ibu. Bukan toilet duduk seperti umumnya kamar mandi di kota besar. Biar
Ibu betah, kata suamiku.
Mungkin
karena Bang Sam baru pulang dari Dubai dengan hotel-hotel pencakar langitnya,
ibu menjadi terobsesi untuk menginap di sebuah kamar hotel. Kupikir ibu
terpengaruh cerita menantu kesayangannya itu.
Kupikir
menyewa kamar sebuah hotel yang berada di kawasan Mega Kuningan tidaklah
berlebihan demi bakti seorang anak pada sang orang tua. Bukankah berprilaku
baik pada orang tua akan mendatangkan rejeki? Dan Bang Sam tak pernah
keberatan, jika aku memanjakan ibu. Mungkin karena ibu kandung suamiku itu
telah lama tiada. Bang Sam tak pernah bertepuk sebelah tangan terhadap ibu.
Bahkan kupikir ibu lebih menyayangi menantunya itu dibandingkan aku, anaknya
sendiri. Di umur yang tidak muda lagi itu, ia masih mau menggorengkan lele kesukaan
sang menantu dengan tangannya sendiri.
Kami
sengaja memilih hotel yang bagus untuk ibu, agar beliau puas dan bahagia.
Kemudian menceritakan pengalamannya itu sampai lebaran tahun berikutnya pada
anak dan cucunya. Hanya saja kami mendapatkan kamar di lantai sepuluh, dan
bukan rahasia lagi jika ibu selalu takut naik lift. Mungkin sejenis ketakutan
pada tempat tertutup. Tapi demi obsesinya menginap di kamar hotel, ibu mencoba
mengalahkan rasa takutnya itu.
Dan
aku tak pernah menyadari, ketika melangkah masuk ke lobi hotel tersebut,
sesuatu yang besar akan segera terjadi.
***
Ibu kembali memejamkan matanya
dengan mulut komat-kamit melafalkan doa. Perempuan berbaju bunga-bunga kulihat melirik
ibu. Dalam hatinya mungkin berkata, “Perempuan tua yang baru datang dari kampung
dan belum pernah menggunakan lift.” Ketika tatapan perempuan yang kutaksir
lebih tua dari ibu itu beradu pandang denganku, ia segera membuang muka ke arah
lain.
Kulihat perempuan itu menyandang
sebuah tas bermerek yang bila ibu tahu harganya, ia akan merepet dua hari dua
malam. Lebih baik membeli tanah di kampung dari pada membeli tas seharga itu.
Atau kalau punya cukup banyak uang, kenapa tidak disumbangkan saja? Atau
membangun rumah ibadah sekalian. Pahalanya mengalir hingga ke liang kubur. Ibu dengan
pemikiran kampungnya itu tidak sepenuhnya salah menurutku. Ah, Ibu memang perempuan kampung, anehnya,
aku bangga sebagai anak ibu.
Kulihat perempuan yang masih cantik
di usia tuanya itu berbisik pada sang suami. Aku tidak bisa mendengar apa yang
mereka bicarakan. Hanya ia semakin meringsut ke dinding lift sebelah utara.
Seperti ingin menciptakan jarak dengan ibu. Aku bersyukur ibu masih memejamkan
mata, jadi tidak perlu merasa tidak enak dengan apa yang baru saja terjadi.
Reflek aku memeluk bahu ibu.
Perempuan
yang tidak muda lagi itu menatapku sinis. Mungkin perempuan berbaju bunga-bunga
itu memang sudah kaya semenjak orang tuanya belum lahir. Jadi bisa seenaknya
merasa jijik pada orang-orang yang tidak berasal dari golongan mereka.
Kembali, angin lembut menghembus
kulit tanganku. Kemudian aku merasakan seperti medan magnet lembut menarikku ke
sebelah utara, mendekati suami-istri yang semakin menempel pada dinding ruang
berukuran kecil itu. Ibu masih memejamkan mata. Kemudian benda persegi tersebut
berhenti mendadak. Lampu dalam lift juga ikut mati.
“Apa yang terjadi, Nyak?” tanya ibu.
Nada cemas terdengar kentara dalam suaranya.
“Mungkin listriknya mati, Bu,”
jawabku sambil mengencangkan pelukan pada bahu ibu. Aku bisa membayangkan
bagaimana takutnya ibu, jika saat membuka mata sekelilingnya menjadi gelap. Ibu
memang takut tempat tertutup, “Jangan membuka mata, tarik nafas dalam-dalam.”
Aku mencoba mengatasi claustrophobia ibu, “Pihak hotel pasti
akan segera menyalakan genset sendiri,”
ujarku dengan maksud menenangkan perempuan yang telah berjuang untuk
membesarkanku itu. Nafas ibu menjadi teratur, menandakan ia mulai bisa
mengatasi masalahnya. Dalam hati, aku bersyukur. Tapi suara jeritan, memacu
jantungku semakin cepat. Kupastikan itu bukan suara ibu. Aku mencoba melihat ke
arah dimana aku terakhir kali melihat perempuan berbaju bunga-bunga berada.
Perempuan itu kembali menjerit,
suara kecemasan suaminya mengiringi jeritan yang menyayat hati itu. Mataku tak
sanggup menembus kegelapan, tapi aku berusaha waspada. Kupastikan ibu tidak
bergerak dari sampingku. Beruntung lampu segera menyala.
Betapa terkejutnya aku, begitu pun
ibu. Dinding lift bagian utara, dimana sepasang suami itu merapat tadi,
lapisannya menjadi lendir. Dan mulai menelan tangan perempuan tua itu sampai ke
pergelangan. Sang suami berusaha menarik istrinya keluar dari dinding yang
berubah menjadi makhluk pengisap itu. Tapi dinding itu semakin berlendir dan
menarik istrinya semakin kuat. Tangan perempuan itu sudah sampai setengah siku
yang masuk ke dinding. Ibu langsung bergerak mencoba menarik keluar perempuan
tua itu. Ibu menyuruhku untuk segera membantu. Ia tidak peduli jika dirinya
ikut terhisap ke dalam dinding. Perempuan itu meraung-raung meminta tolong.
Kami sudah mencoba menariknya
sekuat tenaga. Tapi dinding itu memiliki tenaga lebih besar dari sepuluh orang
lelaki dewasa. Wanita itu semakin terseret ke dalam dinding hingga setengah badannya.
“Bu, lepaskan! Nanti Ibu bisa ikut
terhisap.” Bukannya menuruti perkataanku, ibu malah berusaha sekuat tenaga kembali
menarik perempuan tua yang tadi dengan sengaja menjauh dari ibu. Ibu memang
perempuan desa tulen, rasa kekeluargaan dan tolong menolong menjadi azas yang
ia percaya melebihi falsafah negara sekalipun.
“Bantu Ibu menariknya, Jeumpa.
Jangan diam saja.” Ibu memarahiku yang melepaskan tangan dari wanita itu dan
mematung kebingungan. Kembali kubantu juga menarik wanita itu keluar dari
dinding lift. Anehnya lampu sudah hidup, lift masih berhenti, sudah berulang
kali tanganku menekan tombol buka, pintu itu tak bergeming. Dan apa pengawas
lift sedang tertidur di depan monitor? Hingga tidak tahu telah terjadi sesuatu
yang mengerikan di dalam lift.
Suami wanita itu berteriak histeris
saat seluruh badan istrinya terhisap dinding lift sebelah utara. Begitu tubuh
wanita tersebut menghilang sepenuhnya, dinding lift sebelah utara kembali
mengeras seperti semula. Pintu lift pun terbuka. Dan orang-orang yang menunggu
di depan keheranan melihat lelaki tua yang menangis keluar dari lift. Mereka
berbisik-bisik sambil melihat ke arah lelaki tersebut, tetapi lelaki itu terus
menangis, memanggil-manggil Adelia. Mungkin itu nama istrinya.
Ibu merapat ke tubuhku dan berbisik,
“Ibu ingin pulang.”
Selesai
Tentang Penulis.
Ida Fitri, lahir di Bireuen
25 Agustus. Sekarang menjadi Penyuluh Kesehatan Masyarakat di Aceh Timur.
Komentar
Posting Komentar