PEMBAWA CERANA
Suara NTB, 23 Juli 2016
“Kau hanya harus menyampaikan ini
pada Said Diwa,” titah Lang Geunta, ketika memberikan benda berbentuk persegi
empat dengan tutup berundak-undak tersebut. Benda yang terbuat dari tembaga
dengan ukiran bahasa Arab di setiap sisinya.
“Ingat! Jangan pernah kau buka benda
ini.”
Tangan Jeumpa hanya terpaku di tutup
benda itu. Ini bukan cerana biasa. Kegilaan apalagi ini? Apa isi benda tersebut
hingga ia tidak boleh melihatnya?
***
Said Diwa adalah Ulee Balang, bangsawan yang memimpin
pemberontakan di wilayah Batee Ilik. Pasukannya menjadi momok yang menakutkan
serdadu Belanda. Sekali waktu serdadu Belanda yang dipimpin jenderal yang
terkenal sadis pernah mencoba masuk untuk memberantas Said Diwa di hutan Batee
Ilik. Apa yang terjadi?
Saat keluar dari sana, mata sang
jenderal tinggal satu. Pribumi memanggilnya Dajeu
Buta Siblah. Julukan yang ditujukan pada iblis yang muncul saat mendekati
hari kiamat. Perwira dan serdadu Belanda banyak yang mati atau hilang diculik
pasukan sang Ulee Balang.
Burung, pohon, angin bahkan jelatan
hutan pun sudah berpihak pada Said Diwa.
Suatu kehormatan, jika Jeumpa
Keubiru dijadikan utusan Lah Geunta yang
berjuang di wilayah Pase untuk menyampaikan sebuah cerana persegi kepada Tuan
Said, Sang legenda simbol perjuangan rakyat.
Sekali lagi Jeumpa menarik kain
panjang bermotif pucuk rebung sebagai
penutup kepala untuk menyembunyikan dagunya. Ia tidak mau serdadu Belanda yang
berlalu lalang melihat jelas wajahnya.
Jeumpa
sudah sampai di Geurugok. Perjalanan dari Pase ke Batee Ilik tidak lah dekat.
Lebih-lebih jika dilalui dengan berjalan kaki. Hari Seulayan ia harus sudah berada di Batee ilik. Itu batas waktu
terakhir yang diberikan Lah Geunta. Beliau sengaja memilih perempuan sebagai
pengantar pesan. Perempuan dianggap tak berbahaya oleh musuh. Mereka tidak akan
curiga pada perempuan berkain sarung yang berjalan kaki, seperti perempuan
rumahan pada umumnya. Atau di dunia mata biru, perempuan memang dipandang tak
berdaya.
Jeumpa
Keubiru, bukanlah perempuan biasa. Mereka sudah membedil Said Sulaiman, suaminya
tercinta. Mereka lupa pada kekuatan perempuan yang diamuk amarah.
Dua
orang serdadu terus berkuda tak memedulikan keberadaan perempuan itu. Mereka
berhenti di depan rumah gedung, bangunan kokoh bertiang dengan jendela lebar
khas milik Belanda. Keduanya menambat kuda pada palang teras sebelah kiri.
Darah
Jeumpa bergolak, dari bawah kain panjang, tangannya menggenggam erat rencong
yang terselip di pinggang. Ah! Kalian beruntung
kali ini, serdadu! Ia harus menyampaikan cerana ini terlebih dahulu. Jika
tidak, rencong ini sudah pasti menancap di ulu hati salah satu dari para
serdadu itu.
Seorang
serdadu berbalik dan menatap ke arah Jeumpa. Perempuan itu menunduk menghindari
kontak mata. Setelah serdadu-serdadu itu memasuki rumah gedung, Jeumpa
melanjutkan perjalanan. Ada tugas yang lebih penting dari pada menancapkan
rencongnya ke ulu hati salah satu Belanda itu. Untuk sementara dilupakan dendam
atas kematian suaminya. Karena jika ia nekad, mereka pasti akan membedilnya.
Bukan mati yang ditakutinya, tapi bagaimana jika amanat Lah Geunta tidak sampai
pada Said Diwa?
Jeumpa
Keubiru kembali melangkah. Hari sudah beranjak senja. Hatinya galau antara
menginap di Geurugok atau bermalam di hutan saja. Ah! Ia janda Said Sulaiman,
hutan bukanlah sebuah masalah.
***
Kedua tangan Jeumpa menyilang di
depan dada. Dinginnya malam menusuk hingga tulang. Dia tidak mau mengambil
resiko ketahuan serdadu Belanda dengan menghidupkan api unggun sebagai
penghangat badan. Nyamuk-nyamuk bersenang-senang di bagian kaki dan lengannya.
Jengkrik dan kodok bersenandung lagu alam sebagai munajat agar kemarau panjang
ini cepat berlalu. Malam di musim kemarau memang teramat dingin. Padahal
gemintang bertaburan di angkasa.
Cepat, Jeumpa berpaling ke kiri.
Telinganya menangkap suara ranting patah. Terlalu bermartabat jika dianggap
suara pijakan seekor binatang. Ini pasti manusia, batinnya. Siapa gerangan di balik legamnya malam?
Jeumpa menggenggam rencong yang
terselip di pinggang. Kalau musuh yang muncul ia tidak mau menyerah dengan
mudah. Kalau pun mati ia tidak mau mati begitu saja.
“Xyzg
hytrg hkkzzz mtghh.”
Jeumpa merasakan sebuah benda
berujung bulat kecil menempel di punggungnya. Firasatnya mengatakan ini sangat
tidak baik. Perlahan, ia membalikkan badan. Benar saja, salah satu dari serdadu
berkuda tadi menodongkan bedil ke arahnya. Kaphe-kaphe
itu ternyata mengikutinya.
“Perempuan jalang! Siapa kamu
orang?” Serdadu yang sama memegang dagu Jeumpa. “ Cantik juga.” Lanjut orang
itu lagi.
Kasar Jeumpa menepis tangan serdadu
itu. Kedua serdadu itu terbahak-bahak, “Aku suka ini,” ujar serdadu satunya.
“Siapa namamu, Manis?”
“Jeumpa Keubiru,” jawab Jeumpa
dingin.
“Apa yang kau bawa?”
Perempuan berkain sarung itu reflek
mundur satu langkah.
“Kamu mau, kami yang meraba seluruh
tubuhmu?” Serdadu yang tidak memegang bedil mendekat ke arah Jeumpa. Dan mulai
menggerayangi badannya. Sekuat tenaga perempuan itu melakukan perlawanan. Tanpa
sengaja, cerana yang terselip di pinggangnya terjatuh dengan keras ke tanah.
Tutupnya terbuka ….
Cahaya kehiajauan keluar memancar
dari dalam benda tersebut. Wajah-wajah mereka terpantul cahaya hijau. Jeumpa
takjub, tak berkedip memandang benda tersebut, begitu pun kedua serdadu itu.
“Sudah lama kami mencari benda ini?”
ujar salah satu dari serdadu Belanda. Ia mendekat ke arah benda tersebut.
Cahaya hijau telah memenuhi udara sekitar. Alam menjadi gelisah. Pohon mulai
bergerak. Binatang menjerit.
“Bunuh Kaphe itu! Bunuh Kaphe
itu!” teriak kalakai yang tumbuh tak jauh dari kaki mereka.
Dezing! Serdadu yang tidak memegang
bedil mengambil pedang dan menebas kalakai yang terus berteriak.
“Surga sudah menantimu, jangan
takut, Jeumpa Keubiru!” Kunang-kunang berdatangan membisikkan kalimat bernada
sama.
Serdadu yang memegang bedil menembak
tak menentu ke arah sekelompok kunang-kunang yang datang dari balik pepohonan.
“Bunuh mereka!” teriak rumput-rumput
yang mereka pijak. Nyali kedua serdadu semakin menciut. Darah Jeumpa bergolak
hebat. Ia tak mau menyiakan kesempatan ini. Perempuan itu menghujamkan sebelah
rencong ke punggung serdadu yang sedang sibuk menebas rumput. Sementara serdadu
berbedil tiba-tiba roboh tak berdaya.
Sekelompok lelaki berpakaian hitam
keluar dari balik semak-semak. Sementara rerumputan, kunang-kungang, kalakai
dan pepohonan masih menyenandungkan syair pengobar semangat. Jangan takuk
kehilangan nyawa, surga Tuhan menanti lengkap dengan para bidadari, bunuh kaphe-kaphe itu! Pohon dan binatang
hutan menjadi koor yang memekakkan telinga, membuat darah bergolak dan ingin
menhabisi Belanda di rumahnya sendiri.
“Cepat, tutup cerana itu!” Perintah
lelaki yang menjadi pemimpin kelompok berpakaian hitam tadi.
Jeumpa mencari benda berundak-undak
penutup cerana yang terus mengeluarkan cahaya kehijauan tersebut.
“Aku tak bisa menemukan tutupnya.”
“Kenapa kamu begitu ceroboh?” teriak
lelaki itu lagi di antara koor pohon dan binatang yang terus menyenandungkan Hikayat Prang sabi.
“Tutupnya hilang!” jawab Jeumpa di
antara nyanyian hutan.
“Aku Said Diwa! Tutup telinga
kalian!” Perintah laki-laki itu lantang.
Terlambat! Hikayat Prang Sabi telah merasuk ke dada pasukannya, bahkan melesap
sampai ke tulang belakang Jeumpa Keubiru. Tak ada lagi rasa takut. Tak ada lagi
gelisah. Mereka berbaris menuju Geurugok. Tujuannya satu, membunuh kaphe-kaphe yang berada di rumah gedung.
***
Semenjak Jeumpa Keubiru menghilangkan
penutup cerana di hutan, siapa pun yang masuk hutan akan mendengar senandung Hikayat Prang Sabi. Sebuah nyanyian
pengobar semangat yang membuat pendengarnya kehilangan rasa takut.
Begitu pun ketika Teuku Beureueh
masuk hutan. Ia mendengar rumput, kalakai dan lebah madu menyanyikan lagu yang
sama. Saat Teuku-teuku lain memasuki hutan, mereka juga mendengar syair yang
sama. Anehnya suara-suara itu hanya berpengaruh pada jantung yang mengalir
darah para indatu.
Selesai
NB:
Kaphe : Julukan untuk serdadu
Belanda
Indatu : Leluhur
Dajeu
Buta Siblah : Dajjal
Seulanyan : Senin
Luar biasa. Inspirasi ide cerita ini, bagi saya, menakjubkan. Jangan heran ya Mbak kalau cerpen-cerpennya terus saya tunggu.
BalasHapusAlhamdulillah... terima kasih, Bang :)
BalasHapusWoww ini keren banget Da ...
BalasHapusKeren. Aku baru baca cerpen yang ini, yang lain udah.
BalasHapusIni bagus banget. :D
Memadupadankan sejarah. Namanya pun orang-orang Aceh, ya kakak.