LELAKIKU TERTAWAN GUNUNG

Terbit di Nova 1486/XXIX 15-21 Agustus 2016

      Cut Meulu duduk di jerambat rumah, setiap deru kenderaan lewat di jalan desa, matanya mengawasi pintu gerbang. Bila ada yang berhenti, dengan sigap kakinya menuruni tangga dan berlari ke depan untuk membuka pintu gerbang yang terbuat dari bilah bambu itu. Berharap sang suami yang mengabdi sebagai guru di kaki gunung datang. Bulan berganti, tahun berlalu, perempuan itu masih setia menunggu, meski rambut telah berubah kelabu.

           Perempuan dan penantian ibarat sepasang kata yang selalu didengungkan dari jaman ke jaman. Bahkan sejak Hawa diturunkan ke dunia ini karena dosa memakan buah terlarang. Ia senantiasa menanti perjumpaan kembali dengan sang Adam. Atau mungkin perempuan dengan segala kelembutan dan kekuatanya diciptakan memang untuk menunggu?
***

            Seharusnya bulan ini Yid Amad pulang. Tapi ini sudah hari ke lima belas, wajah ramah itu tak kunjung datang di pintu pagar. Lagi Cut Meulu membetulkan kain panjang yang tersemat di kepala. Kain lurik-lurik yang dibelinya akhir bulan lalu di hari pekan. Sengaja dipersiapkan untuk menanti sang suami tercinta. Kain yang sudah dicuci berkali-kali untuk kembali dipakai disaat senja menjelang. Sang suami biasanya tiba di rumah kala senja memerah di langit. Sinar merah itu yang membias menerpa wajah lelaki itu yang membuatnya semakin gagah saja.

            Cut Meulu sudah bangun semenjak ayam berkokok untuk pertama kalinya, setelah bersujud pada yang Satu ia mulai menyalakan tungku. Batu bata disusun sedemikian rupa di atas tempat persegi panjang yang dipinggirnya di pasang bilah papan, sementara di atasnya sudah dipenuhi abu dapur. Ia mulai menanak nasi. Api berlomba dengan udara dingin untuk melahap kayu bakar yang disusun di bawah tungku. Setelah nasi mendidih pertanda akan matang, Cut Meulu meletakkan daun-daun kelapa kering di bawah tunggu, mengganti peran kayu bakar. Perempuan itu menutup panci yang terbuat dari tanah itu. Ketika daun kelapa habis dilahap api, tutup panci dibuka. Lubang-lubang bulat kecil merata di seluruh permukaan nasi. Suaminya hanya menyukai nasi yang dimasak dengan sempurna.

            Tugas perempuan itu selanjutnya adalah memetik buah nangka muda, daun ubi, kacang panjang, daun jeruk, jantung pisang, cabe hijau dan perlengakan sayur plik u lainnya. Plik U sendiri terbuat dari kelapa busuk yang diambil minyaknya dan dikeringkan. Dan proses pembuatannya hampir memakan waktu seminggu. Cut Meulu sudah menyiapkan bumbu itu dari jauh hari. Jika hari-hari yang lalu, suaminya tak kunjung datang, maka tidak dengan hari ini. Cut Meulu melakukan semuanya dengan wajah ceria dan penuh semangat. Sudah saatnya kerinduan selama ini terobati. Sayur Plik U dan ikan asin bakar merupakan menu favorit sang suami.

            Setelah mendidih, Cut Meulu mencicipi sayur plik yang kuahnya berbuih itu. Paras perempuan itu terlihat sumringah, puas dengan hasil kreasinya hari ini. Yid Amad pasti akan memujinya nanti. Sayur plik ter-enak yang dimakan lelaki itu. Lagi sebuah senyuman terukir di wajah Cut Meulu. Kebahagiaan seorang perempuan terletak pada senyuman lelakinya.

            Sampai bayangan lebih tinggi dari perempuan itu, Yid Amad tak kunjung muncul juga. Sayur plik yang sudah dibuatnya tadi dibagi-bagikan ke tetangga. Satu kali kita memberi, maka Tuhan akan membalasnya berlipat ganda. Hanya Cut Meulu merasa tidak enak mendapat tatapan simpati dari para tetangga karena suaminya tak kunjung kembali.

            Keesokan hari, kejadian tersebut terulang kembali. Cut Meulu berusaha tidak peduli pada rasa kasian tetangga saat ia membagi-bagikan sayur plik seperti sore kemarin. Mungkin suaminya sedang sangat sibuk. Perempuan itu senanatiasa berprasangka baik. Tapi sabar juga ada batasnya, hingga kejenuhan untuk memasak sayur kesukaan suaminya datang mendera.

            Sebenarnya ia tidak yakin ini kejenuhan atau kehilangan tenaga. Ia hanya duduk di teras rumah tiangnya menanti sang suami kembali. Beruntung ia punya seorang abang yang memenuhi kebutuhan makannya sehari-hari. Kerjaannya hanya memasak nasi saja sekarang. Lauk dan sayur senantiasa diantar kakak ipar yang baik hati itu. Berulang kali sang abang menyuruh Cut Meulu berhenti berbuat sia, menanti sang suami yang tidak kunjung datang. Tapi hati perempuai itu begitu yakin, jika suaminya akan kembali. Biarlah ia tetap menanti. Cinta pasti akan menemukan jalannya.
***
            Yid Amad bergelung di bawah selimut. Udara dingin membuat gigi-gigi bergemelutuk. Berkali ia telah mengutuk angin, tapi tak mau pergi meninggalannya. Dingin sudah dititah Tuhan untuk memeluk pegunungan, pohon-pohon, lembah dan ngarai. Bahkan binatang dan manusia yang penghuni tempat tersebut sudah ditawan udara yang menusuk tulang.

            “Menikah saja dengan putri Wen Saga. Kulitnya putih bersih, bibir merah merekah. Apa lagi yang kau tunggu? Wen sudah menerimamu dengan tika duek meususon,” ujar Sempena tadi siang di warung kopi tempat mereka sering duduk.

            Yid Amad hanya mendesah panjang. Kemudian menyeruput kopi dalam gelasnya. Harumnya biji kopi gayo yang diproses sendiri oleh warga merasuk dalam urat hidungnya. Ia heran kenapa juga temannya tidak mengerti. Lelaki itu meninggalkan warung kopi tanpa menjawab permintaan temannya. Kemudian hujan deras mengguyur bumi.

            Lagi terdengar gigi Yid Amad menggelutuk. Dingin kali ini benar-benar menyiksa. Karena sudah tidak tahan lagi, pria tersebut bangkit menuju dapur. Lantai rumah yang ditinggikan sejengkal dan dibuat dari kayu itu tidak mampu meredam udara dingin. Sesampai di dapur, lelaki tersebut mulai menyusun kayu bakar di dalam sebuah kaleng besar. Kemudian diberikan minyak dan dinyalakan api. Aura panas meredam dingin. Lelaki itu meletakkan tapak tangannya menghadap api. Seketika rasa hangat menjalar di seluruh tubuhnya.

            Sebuah pikiran terlintas, mungkin Sempena benar. Menikah bukanlah sebuah dosa. Kenapa ia tidak melamar Asiah? Anak gadis itu terlihat cantik dan bening. Setahun lalu anak gadis itu masih menjadi murid yang ia ajari. Tapi kini sudah menjadi gadis cantik yang diinginkan banyak pemuda.

Wen Saga telah memilih Yid Amad untuk menjadi menantunya, bahkan tanpa diminta terlebih dahulu olehnya. Hanya si bodoh yang menyia-nyiakan kesempatan seperti ini.  Ia tak perlu menggelut dengan dingin yang begitu menyiksa. Pelukan seorang wanita sangat hangat. Sesuatu terbangun dalam diri Yid Amad. Sebuah senyum tersungging dari bibirnya.
***
            Matahari bersinar tepat di atas kepala, ketika kabar itu datang. Cut Meulu begitu mengingatnya. Abangnya muncul di halaman rumah dengan paras yang sangat aneh.

            “Sudah, lupakan lelaki itu,” ujar sang abang tanpa mengucapkan salam seperti biasa. “Sia-sia saja kau menanti lelaki itu. Tak ada gunanya, Meulu,” lanjut abangnya sembari menahan marah.

            “Kenapa Abang datang marah-marah seperti ini?”

            Abangnya memegang bahu Cut Meulu, “Suamimu …. Suamimu sudah menikah lagi di kaki gunung, Adikku.”

            Seperti petir menyambar di siang bolong, seluruh otot-otot perempuan itu ikut tersetrum. Ia gemetaran dan terduduk. Suami yang selama ini ditunggunya telah menjadi milik orang lain? Tidak mungkin, Yid Amad tidak mungkin tega melakukan ini padanya. Abangnya pasti salah.

            Kesedihan, amarah, luka bercampur menjadi satu di siang itu. Hanya keesokan harinya, Cut Meulu kembali duduk di jerambat rumahnya menunggu sang suami datang. Bahkan tahun berganti, berpuluh kali bumi mengelilingi matahari. Kulit mengeriput dan rambut pun telah memutih, ia masih menanti sang suami kembali. Yid Amad tak kunjung datang, yang datang seekor merpati berbulu putih, mengabarkan sang suami sedang sekarat di rumah sakit kabupaten.

            Air mata menetesi sudut mata perempuan tua itu. Ia ingin bertemu sang suami untuk terakhir kali, tapi kaki sudah tak bisa dibawa berjalan lagi. Ingin meminta tolong pada sang abang, abangnya sudah lama dikuburkan. Perempuan itu hanya bisa berdoa untuk kesembuhan sang suami, hingga merpati datang untuk kedua kali, membawa kabar jika suami telah tiada.

            Kesedihan merayapi seluruh badan wanita tua itu. Yang selama ini ditunggunya sudah berpulang ke sisi Tuhan. Asa yang selama ini diletakkan pada perjumpaan dengan orang yang dicintai telah terkubur bersama raga sang suami. Tak ada lagi yang bisa dilakukannya, setelah tiga purnama berselang, perempuan itu pun menghembusakan nafas untuk terakhir kali. Bukankah ia bisa menemui suaminya di sana?
SELESAI
Tentang Penulis.
Ida Fitri, lahir di Bireuen 25 Agustus. Sekarang menjadi Penyuluh Kesehatan Masyarakat di Aceh Timur.

Komentar

Postingan Populer