AIR TERJUN PERAWAN
Pernah dimuat di Serambi Indonesia, edisi 21 Agustus 2016
Begitu melihat dua mata air yang
dipacangkan bambu, ingatan zidar kembali ke masa lima tahun yang lalu. Kala itu
ia mengemudikan ambulance melalui
jalan berlumpur. Tepat saat berada di sisi pancuran tersebut, penyekat ruang
kemudi diketuk dari belakang. Lelaki yang berprofesi sebagai perawat tersebut
menghentikan mobil, ia turun dan membuka pintu belakang. Semua mata tertuju
padanya ….
“Sepertinya Salamah akan segera
melahirkan,” ujar perempuan paruh baya yang duduk di dekat
kepala sang ibu muda
yang meringis kesakitan.
Zidar membelalakkan mata sejenak. Bidan
yang seharusnya menemani merujuk pasien ke rumah sakit kabupaten tidak bisa
ikut serta karena harus membantu persalinan lainnya. Dan masalah besar menunggu
Zidar ….
***
Rasa rindu kadang datang tanpa kenal
logika. Semakin kau berlari, semakin kuat rasa itu memasungmu. Lagi Zidar
menimang-nimang ajakan kabid-nya untuk mengikuti acara DPTK tahun ini. Selamat
merupakan salah satu desa yang akan mereka kunjungi. Air sungai nan jernih
menembus bebatuan, hutan perawan nan rindang, lagu-lagu yang disenandungkan
perawan di kaki gunung. Awa, salah satu kembang desa yang sempat mengisi hari-hari
Zidar. Bahagiakah Awa sekarang? Sudah berapa buah hatinya? Adalah pertanyaan
kerinduan yang berkecamuk.
Dan
lima tahun yang lalu ….
Sore itu Awa datang ke mess puskesmas. Gadis itu bersimbah air
mata, “Ayah akan menikahkan aku dengan Wen Abdi.”
Zidar
diam membeku. Ia merasa masih terlalu muda untuk menikah. Banyak hal yang belum
ia lakukan. Yang sangat menyedihkan lagi, pemerintah menempatkannya di daerah
yang sangat terisolir ini. Jika musim hujan tiba, sudah bisa dipastikan tempat
ini terkurung di pegunungan bukit barisan. Jalan becek berlumpur sebagai
satu-satunya penghubung dipastikan lumpuh total.
“Bang, kau hanya diam saja? Apa
artinya….?” Lanjut gadis bergaun bunga-bunga ungu yang masih terisak di
sampingnya.
“Tak ada yang bisa Abang lakukan,
Awa. Menikahlah dengan lelaki pilihan Ayah. Kamu pasti akan bahagia,” ujar
Zidar pelan.
Awa berhenti menangis. Ia bangkit
dari kursi yang berada di teras mess
puskesmas. Ditatapnya pria di sampingnya lekat. Awa tahu satu hal, selama ini
sang kekasih tak pernah serius ingin hidup bersamanya. Ah, Zidar hanyalah
pemuda kota yang tak mau terperangkap selamanya di desa ini. Tanpa mengucapkan
sepatah kata pun gadis itu pergi meninggalkan Zidar.
“Awa!” panggil Zidan pelan. Gadis itu
terus melangkah tanpa melihat ke belakang lagi. Zidar merasakan ada yang kosong
dalam dirinya. Dilihatnya sosok gadis itu hingga menghilang tertutup bangunan
puskesmas. Kabut perlahan menutupi gunung yang berada di depan sana. Dan
sebentuk kabut lain juga bermain di hati Zidar.
“Bang Zi! Bang Zi.”
Wen Dana yang baru berusia sepuluh
tahun sudah berdiri di depan lelaki tersebut. Bocah itu sering menemani zidar
bermain bola setiap sore di halaman belakang puskesmas.
“Ah, Wen. Kau mengagetkanku saja.
Ada apa?”
“Kak Mah, kakakku …”
“Kenapa dengan kakakmu? Bayinya
sudah lahir?” Kakak bocah itu memang sedang menunggu hari kelahiran anak.
Bocah lelaki yang berdada telanjang
dan memakai celana selutut itu terdiam sejenak. “Kata Ibu Fatimah, kakakku
harus dibawa ke rumah sakit. Aku diminta memanggilmu untuk menyupir.”
“Baiklah,” ujar Zidar tapa sedikit
pun penolakan. Mungkin dengan menolong kakaknya Wen Dana, bisa memupuskan
sedikit rasa bersalahnya pada Awa. Ah, gadis berambut panjang itu akan segera
menjadi milik lelaki lain. Rasa panas sedikit menoreh hatinya. Sepertinya ia
tak rela membiarkan gadis berambut sepinggang tersebut bersama lelaki lain.
Apakah cinta telah merasuk ke dalam hatinya? Ah, ia juga tidak mungkin
selamanya hidup di tempat ini. Tempat yang sama sekali belum disinggahi signal handphone.
Zidar mempersiapkan ambulance untuk mengantar Salamah ke
rumah sakit kabupaten. Menurut Ibu Fatimah, persalinannya tidak ada kemajuan.
Bayi tak kunjung turun lebih jauh. Setelah Salamah dinaikkan ke ambulance, seorang warga datang
tergopoh-gopoh memberitahukan jika istrinya akan segera melahirkan juga.
Jadilah Ibu Fatimah ke rumah warga tersebut, sementara Zidar mengantarkan
Salamah ke kota. Toh janin dalam rahim Salamah tak kunjung turun, pasti tidak
akan apa-apa hingga sampai di rumah sakit nanti.
***
Bidan lelaki hanya ada di Bali,
tetapi ketika berhadapan dengan dua nyawa, maka bidan lelaki pun bisa berada di
mana saja, bahkan di pedalaman Serambi Mekah yang dipenuhi berbagai norma adab
kesopanan sekali pun. Bukankan dalam situasi tertentu, bangkai anjing saja
halal untuk dimakan?
Melihat pembukaan Salamah sudah
lengkap. Tak ada hal lain yang terlintas di pikiran Zidar, kecuali ibu dan
calon bayi yang berda di depannya harus selamat. Mungkin ia memang lelaki
brengsek yang membiarkkan kekasihnya menjadi milik lelaki lain. Tapi tidak
dengan nyawa dua manusia yang kini berada di hadapannya. Sebrengsek-brengseknya
seorang lelaki, mereka tetap terlahir dari rahim seorang perempuan.
Zidar mengingat-ingat proses
persalinan yang pernah ia ikuti ketika sekolah dulu. Walau tak pernah menolong
secara mandiri, ia pernah ikut membantu proses persalinan dan harus menghapal
tahap-tahapnya jika ingin lulus mata kuliah kebidanan.
Mulut lelaki itu komat-kamit membaca
doa, berharap proses berlangsung dengan baik. Keringat mengucur deras dari dahi
lelaki itu. Mungkin bayi merangsek ingin keluar akibat terguncang-guncang di
jalan tidak beraspal dan menanjak itu.
Zidar meminta suami Salamah untuk
mencari kayu bakar, kemudian memanaskan air mancur yang berada di sebelah kanan
jalan dalam baskom cuci tangan yang berada di ambulance. Tak banyak alat kebidanan yang bisa ditemukan dalam mobil.
Beruntung ia mendapatkan gunting, kasa dan dua buah klem kecil. Alat yang akan
sangat berguna saat memotong tali pusat bayi.
Menolong proses persalinan,
sendirian tanpa bisa menghubungi siapa pun, ternyata sepuluh kali lebih
menyeramkan dibandingkan menghadapi pasien kecelakaan dan harus menjahit kepala
yang bocor. Ada dua nyawa yang harus dipikirkannya. Bahkan salah satunya, jiwa
bayi merah tanpa dosa. Beban psikologis Zidar telah sampai ke ujung rambutnya.
Kenapa ia harus berada di situasi ini? Mungkinkah Awa yang mengutuknya?
Kelegaan terpancar jelas dari wajah
Zidar begitu kepala bayi muncul sepenuhnya dari jalan lahir. Setelah putar
faksi luar, bahu dan badan bayi pun keluar perlahan. Satu masalah telah
selesai. Zidar menggunakan gunting yang telah direndam dengan air yang
dipanaskan suami Salamah untuk memotong tali pusat. Tinggal satu masalah lagi
yang harus dihadapi pemuda itu. Ari-ari tidak boleh lengket, ari-ari harus
segera ikut lahir. Dan tidak boleh ada perdarahan pasca persalinan.
Dua puluh menit berlalu, bayi sudah
diletakkan di atas perut ibu. Tapi tak ada tanda-tanda jika ari-ari akan lahir.
Kecemasan kembali melanda tempat itu. Di dekat air mancur yang keluar dari
batang-batang bambu yang ditancapkan ke tanah.
Zidar merangsek turun dari pintu
belakang ambulance. Ia menuju air mancur yang terus saja keluar tanpa rasa
lelah atau mengeluh. Tuhan telah memberi titah pada mata air itu untuk
menjalankan sunnahnya. Setelah membersihkan tangan dari percikan darah dan air
ketuban, lelaki itu membuka kaosnya yang juga kotor terkena air ketuban. Bau
anyir sudah dari tadi menyelimuti kaos bewarna coklat itu. Leaki itu mulai
membasuh taangan kemudian mulut dan wajahnya.
Setelah itu, ia menghamparkan
selembar kain yang dipinjamkan pada ibunya salamah di tanah. Ia menduga-duga
arah barat. Pemuda itu memohonkan pertolongan Rabb-nya. Setelah selesai shalat
sunat dua rakaat, ia mohon ampun untuk segala kesalahannya selama ini. Dan
berjanji untuk tidak meninggalkan Tuhan-nya. Ia juga akan mendatangi orang tua
Awa untuk menikahi gadis tersebut. Ia memohonka placenta Salamah segera terlepas dan keluar.
Hutan, batu, burung dan suara air
yang jatuh bergemericik telah mengaminkan doa pemuda itu, begitu ia menoleh ke
kiri, Ibunya salamah memanggil. Pemuda tersebut bergegas dan melihat segumpal
jaringan merah berbungkus sudah berada di jalan lahir. Ibu dan bayinya selamat.
Zidar bernafas lega, mengemudikan ambulace
menuju rumah sakit kabupaten. Lusa, setelah kembali ke Selamat, ia akan
mendatangi orang tua Awa. Dan kisah mereka pun akan berakhir bahagia, seperti
halnya kisah Salamah dan bayinya.
***
Manusia hanya bisa berencana, tapi
Tuhan-lah sang pemegang kendali. Setelah sampai ke kabupaten, hujan lebat
melanda. Jalan ke kecamatan Jernih terputus total. Zidar tak pernah bisa kembali
pada waktunya. Sebulan setelah banjir besar, akses ke sana baru terbuka
kembali. Dan Zidar mendapati Awa telah menjadi istri orang. Pemuda itu tak
punya alasan lagi untuk tetap bertahan di daerah tersebut. Ia tak pernah
menduga, Awa mengoreskan luka yang begitu dalam di hatinya.
Dan
hari ini, ia kembali ke daerah yang sekian lama telah ditinggalkannya itu.
Bersama Tim Pelayanan Kesehatan Daerah Terpencil, Perbatasan dan kepulauan dari
kabupaten. Ia ingin melihat bayi perempuan yang dulu lahir di dekat air terjun
perawan. Yang terpenting lagi, ia ingin melihat Awa. Berharap perempuan itu
hidup bahagia bersama anak dan suaminya. Namun apa yang didapati? Zidar hanya
bisa terpekur di depan sebuah nisan. Awa telah mati. Perdarahan hebat pasca
persalinan. Tak ada sopir ambulance
yang mengantarnya kerumah sakit kabupaten, tak ada pendonor darah.
Sejenak Zidar terpekur,
haruskah ia kembali mengabdi di tempat terisolir ini?
SELESAI
Aceh,
26 Desember 2015
Kisah yang tragis. Narasinya bagus banget kak Ida. Meski ada beberapa typo yang kutemukan :P
BalasHapusEndingnya suka banget. Beda dari cerpen kak Ida yang biasanya gantung. hehehe. :*