BUKAN SULAIMAN
Pernah dimuat di Banjarmasin Post, Edisi 18 September 2016
Seekor burung gereja hinggap di
jendela. Ia mencicit membawa kabar tentang seekor kambing hutan Sumatera yang sedang tertawan. Dan
binatang itu memgirim pesan, jika aku harus membebaskannya dari tali-tali nilon
yang menjerat kaki.
Semenjak
kecelakaan mengerikan dulu, banyak keajaiban terjadi padaku. Salah satunya, aku
bisa mengerti bahasa binatang. Bahkan terkadang aku juga mampu menerjemahkan
perkataan angin. Sebuah keajaiban yang seharusnya milik Nabi Sulaiman semata.
Lagi,
suara paruh burung gereja mengetuk di kaca jendela.
“Cepatlah!
Jangan sampai terlambat,” ujar burung kecil itu.
“Aku
sibuk. Lihatlah pada kertas yang menumpuk di atas meja.”
“Kau
akan menyesal jika tak datang. Keta…”
“Jangan
berisik!” Burung memang tak bisa
berhenti berkicau.
“Ketahuilah!
Ia generasi terakhir dari keturunan kesembilan.”
Aku
berpaling menatap makhluk yang sedang mematuk-matuk kaca jendela di
belakang kursi itu. Tak kutemukan kebohongan di sana. Cepat aku
beranjak meninggalkan kertas-kertas yang berserekan di atas meja kerja. Sumatran Serow sudah sangat langka.
Tidak mau dikutuk anak cucu karena membuang kesempatan untuk menyelamatkan
keturunan terakhir hewan tersebut, aku beranjak keluar kantor.
***
Peluh mengucur dari badan, pagi itu
kesialan beruntun tak mau lepas dariku. Mulai dari baju yang tidak selesai di-laundry, memaksaku memakai seragam yang
sudah lama dimesiumkan. Aku harus menyemprot banyak parfum untuk menghilangkan
bau apek lemari yang melekat pada baju. Ukuran baju yang sudah sedikit mengecil
benar-benar membuat tidak nyaman. Tapi pekerjaan akhir bulan tidak boleh
kutinggalkan. Ada banyak laporan mesti selesai.
Dan baru satu kilo meter motorku
menderu di jalan. Kesialan lain meminangku. Ban motor kempes. Mau tidak mau aku
harus mendorong motor mencari tempat tambal ban terdekat. Bau apek baju
bercampur parfum dan bau keringat cukup menjadi alarm agar orang-orang menjauh
dariku hari ini.
Di langit, matahari pagi juga tidak
mau berkompromi. Panasnya menyengat kulit. Membuatku lupa akan vitamin D yang dikandungnya.
Tak ada teman lewat yang bisa membantuku menarik motor yang kempes. Mau
menelepon rasanya segan, mereka juga diburu waktu ke tempat kerja. Menelepon
bengkel? Di kota kecil ini, tidak ada bengkel yang melayani seperti itu.
Seulas
senyum terlukis di bibir, dari jauh terlihat sebuah bengkel kecil tempat
tambal ban. Satu masalahku segera akan teratasi. Bengkel ban itu terletak di
sebelah kanan. Aku harus menyeberang untuk mencapai tempat tersebut.
Aku
terkejut ketika klakson besar diiringi suara ban mendecit menggema tepat di
belakangku. Sedetik kemudian aku merasakan semuanya menjadi gelap. Menurut
orang-orang yang melihat kejadian tersebut. Sebuah truk besar dengan kecepatan
tinggi membuat tubuhku terpental cukup jauh. Sepeda motorku tak bisa dipakai
lagi, hanya keajaiban yang membuatku bertahan. Setelah koma selama tujuh hari,
aku terbangun kembali. Dan keanehan itu datang begitu saja.
Betapa
terkejutnya aku, ketika kudengar pemimpin semut berkata pada kawan-kawannya,
“Jangan lewat situ, manusia-manusia itu akan membunuhmu.” Aku melihat semut
yang beriringan di sela-sela sudut yang sedikit retak di kamar rumah sakit,
beberapa jam setelah sadar dari koma. Semenjak
saat itu, aku mempunyai pekerjaan sampingan. Bahkan aku terkadang kebingungan,
yang mana yang menjadi pekerjaan utama-ku. Seorang staf di kantor pemerintah
atau sebagai penolong hewan-hewan yang berdatangan kepadaku.
Suatu
kali aku sedang berjalan bersama Fatliya, kekasihku yang memiliki senyum
seindah mawar merekah. Kami memilih duduk di pantai Keutapang Mameh. Aku
memesan kelapa muda, ia memesan sepiring mie Aceh dengan teh dingin. Angin
bertiup romantis membelai hati kami. Tapi ketika Bing Fo mengitip dari sela-sela lubang pasir, semuanya berubah.
Binatang jenis kepiting yang tidak boleh dimakan itu menjerit-jerit mengatakan
kaki pejantannya patah terinjak seorang lelaki bertubuh tambun.
Bing
Fo itu terus berisik, akhirnya aku mengikutinya, meninggalkan Fatliya
dengan wajah cemberut. Saat aku kembali gadis itu sudah menghilang. Besoknya ia
memutuskan hubungan kami.
Semenjak
saat itu, burung dan hewan semakin sering datang padaku.
***
Dimana aku harus menemukan kambing
hutan. Tak pernah kudengar keberadaan seekor kambing hutan di daerah ini. Lagi
burung gereja kecil itu mencicit. Ia menyuruhku menggunakan motor. Kemudian
mulai memanduku keluar dari kota kecil kabupaten tempatku bekerja. Menuju jalan
berbukit yang mengarah ke selatan. Kami melewati sebuah jembatan, tanpa lelah,
burung gereja itu tetap terbang di depanku.
Ketika tiba di sebuah perumahan
penduduk burung gereja kecil itu hinggap di sebuah ranting. Kuhentikan motorku.
Rumah–rumah panggung berderet di kiri kanan jalan. Ia mengarahkanku ke sebuah
jalan setapak , tapi ia kembali hinggap di dahan sebuah pohon petai cina. Tak
mau mengepak sayap lagi, mulutnya mencicit, “ Motor! Motor!”
Aku turun dan mulai mendorong
motorku. Dasar makhluk kecil bawel! Kenapa pula aku harus jalan kaki.
Makhluk itu terbang angkuh tanpa memedulikan aku yang kesusahan mendorong motor
di jalanan menanjak.
Setelah melewati satu bukit, aku
menjadi curiga, jangan-jangan makhluk lurik–lurik coklat itu mempermainkanku.
Betapa naïf-nya, jika aku dengan ijazah sarjana mampu dikerjain seekor burung
kecil. Baru saja mulutku terbuka hendak protes, suara permintaan tolong
terdengar menyayat hati. Burung gereja kecil berbalik menatapku. Ia memintaku
menyembunyikan motor di belakang tumbuhan merambat yang berbunga ungu.
Kemudian ia mengajakku
mengendap-ngendap ke sebuah rangkang.
Tempat dimana orang biasa menginap untuk menjaga ladang yang siap untuk dipanen. Dan di bawah tempat yang disangga
tiang kayu hutan itu, aku melihat seekor makhluk berbulu hitam dengan tanduk
kecilnya sedang menangis. Dua orang lelaki berbadan besar sedang melakukan
tawar menawar. Kupikir mereka sedang bernegosiasi untuk harga yang pantas diberikan pada kambing hutan Sumatera yang
terikat tidak berdaya itu. Apa yang bisa kulakukan untuk menolong makhluk
langka yang merupakan keturunan terakhir tersebut?
***
Tanpa pikir panjang aku muncul di
depan kedua orang yang sedang memperdebatkan harga kambing hutan tersebut.
Mereka terkejut menatapku.
“Kamu siapa?” tanya yang berkumis
tebal dengan badan tambun itu.
Bukannya menjawab, aku langsung
menghantamkan tinju ke dada lelaki tersebut. Tak siap diserang, lelaki itu
jatuh terduduk. Lalu kutendang kepalanya, ia pingsan. Ketika aku menatap lelaki
satunya yang berkulit agak gelap. Ia sudah memegang sebilah belati dan bersiap
untuk menyerangku. Dengan sigap aku memasang kuda-kuda.
Saat kuliah dulu, aku pernah belajar
pencak silat. Walau selalu gagal untuk naik peringkat, aku mengenal dasar-dasar
bela diri tersebut. Ketika lelaki itu mengarahkan pisau ke dadaku, aku mengelak
ke kanan, kemudian menikung cepat lengan lelaki itu. Belatinya jatuh begitu
saja.
Kemudian kupatahkan lengannya.
Kubuat ia jatuh tersungkur. Aku melepaskan tali ikatan kambing hutan yang
memangdangku penuh rasa terima kasih itu. Tali tersebut kupakai untuk mengikat
kedua lelaki yang sudah tidak berdaya itu. Kubiarkan si generasi terakhir
meninggalkan tempat itu untuk kembali ke hutan.
“Kamu kok diam saja?” Burung gereja
kecil mencicit di dekat telingaku. Membangunkanku dari sebuah lamunan. Dan
kulihat salah satu lelaki itu mengendong kambing hutan yang sudah tidak berdaya
untuk diletakkan ke salah satu raga
yang berada di motornya. Kemudian ia mulai menghidupkan motornya. Aku bimbang
untuk melawan kedua lelaki yang kupikir memiliki tenaga kuda tersebut. Pencak
silat saja tidak mampu kuserap dengan baik. Aku menyesal kenapa dulu tidak
berlati lebih keras.
“Lakukan sesuatu!” teriak burung
gereja. Aku masih diam melihat motor tersebut melaju meninggalkan tempat itu
bersama seekor kambing hutan yang terus meminta tolong.
SELESAI
Tentang Penulis.
Ida Fitri, lahir di
Bireuen 25 Agustus. Sekarang menjadi Penyuluh Kesehatan Masyarakat di Aceh
Timur.
Komentar
Posting Komentar