SAMAWA YA TAMBORA

Pernah terbit di Serambi Indonesia, edisi 18 September 2016


            Kahar mengembalakan kerbau-kerbaunya di lereng Tambora, hanya binatang itu menjadi sangat gelisah. Rumput-rumput itu memang telah dipenuhi debu yang kerap berterbangan dari puncak gunung. Aroma aneh disebar angin kemana-mana, begitu pun daun-daun kehilangan auranya. Menurut Tao Laka, itu pertanda Baki sedang marah. Mereka harus menghantarkan makanan dan bunga tujuh rupa untuk sang penunggu gunung itu.

            Lelaki muda berusia lima belas itu mendesah, logikanya tak bisa menerima begitu saja perkataan Tao Laka. Pasti ada yang salah dengan gunung itu. Kerbau-kerbau mulai kurus, kerbau-kerbau yang seharusnya menjadi mahar untuk mempersunting Siti, gadis yang senantiasa menyembunyikan dirinya di bawah kain sarung besar bermotif kotak-kotak itu. Entah bagaimana caranya para perempuan Bima menyembunyikan diri di bawah lilitan kain sarung bermotif kotak-kotak itu. Sekali waktu, Kahar pernah melihat Ina melilitkan kain ke bagian kepalanya, tapi itu terasa begitu rumit.

            Kerbau-kerbau itu menjadi begitu gelisah, dari puncak gunung terdengar sebuah ledakan keras, diikuti tanah yang bergoncang. Sesuatu akan terjadi, kerbau-kerbau itu berlari tanpa arah, begitu pun rombongan babi hutan, rusa dan binatang lainnya.

            Kahar hanya ingin sampai di rumah, sebuah bangunan beratap kerucut, yang disangga tiang-tiang tinggi itu.
***
            Tao Laka terlihat begitu sibuk memberi arahan pada penduduk desa lereng gunung yang dipimpinnya. Tentang ayam-ayam jago, kepala kerbau jantan dan nasi berpuncak yang harus segera dibawakan ke bawah pohon kalango besar yang ada di lereng. Pohon yang ukurannya lebih besar dari dua pelukan orang dewasa. Kecemasan terlihat jelas diwajah-wajah mereka.

            Kahar yang baru sampai dari lereng, malah mengajak Ina dan Maryam, adik perempuannya untuk pergi dari tempat itu. Tapi Ina ingin menunggu Ama yang sedang berdagang di ibu kota kerajaan. Kesetiaan seorang perempuan Bima akan ditukar dengan nyawanya. Perempuan itu malah memaksa kedua anaknya untuk pergi lebih dulu, meninggalkan desa kecil yang berada di kaki gunung itu.

            Lagi terdengar suara letusan dari puncak gunung, kembali tanah, rumah, dan pohon-pohon bergoyang. Ina tetap tak mau beranjak. Orang- orang kampung sibuk memotong ayam dan kerbau mereka. Kahar dan Maryam melangkah meninggalkan desa diantar tatapan Ina. Dada lelaki muda itu bergemuruh, firasatnya berbisik, ia tidak akan pernah bertemu Ina lagi, perempuan yang telah melahirkannya. Ina sudah membuat keputusan untuk menunggu Ama-nya Pulang. Kahar juga tidak memiliki waktu lagi untuk memikirkan Siti, perempuan yang kerap hadir dalam mimpi-mimpinya itu. Toh kerbau-kerbau yang seyogianya untuk mahar, sudah berlarian entah kemana.

            Dengan menggenggam erat tangan Maryam, Kahar meninggalkan desanya menuju tepi laut. Mereka akan menggunakan perahu kecil, yang biasa digunakan Kahar untuk mencari ikan bersama Ama. Tak ada cara lain untuk menjauh dari gunung itu, selain melalui laut. Jalan darat hanyalah jalan setapak yang harus memutar lereng gunung. Ia menenteng sedikit makanan dan air minum dalam bakul yang dipersiapkan Ina.

            Mereka sedang mencoba mendorong perahu menuju air ketika puncak gumung mengeluarkan kabut yang lebih pekat dari biasa, disertai percikan api.

            “Ina …!” Maryam menjerit memanggil ibu mereka. Kahar malah mengangkat tubuh adiknya ke atas perah, kemudian ia ikut meloncat naik. Ketika mereka berhasil berada di atas perahu, terdengar gunung meraung diiringi bola-bola api yang berterbangan ke udara. Maryam menangis menjadi-jadi. Dalam hatinya, Kahar berulang kali memanggil nama Ina, menyesali kenapa tidak berhasil memaksa ibunya ikut bersama mereka?

            Batu-batu mulai berjatuhan, alam menjadi semakin gulita. Kahar berusaha mengayuh perahu secepat mungkin, berlomba dengan batu-batu itu. Tangan tangan kecil Maryam gemetaran berpegang pada bibir perahu. Atap perahu kecil itu sepeti keberatan menyangga beban. Kahar mencoba fokus untuk terus mengayuh. Perahu seperti merayap meninggalkan pantai. Meninggalkan Ina yang setia menunggu kepulangan Ama.

            Maryam terus menangis, air mata Kahar ikut luruh. Ini bukan tentang Baki yang mengamuk. Mungkin alam yang marah karena mereka memuja selain Tuhan. Lagi terdengar suara ledakan keras, Kahar tidak bisa memastikan arah suara, dari gunung atau lautan. Suara itu seperti datang dari berbagai arah. Suara yang tidak putus-putus dan memekakkan telinga. Air laut pun ikut bergolak. Kahar ingin bertemu Awa, Kahar ingin melihat Ina, badannya seperti beku. Masih terdengar isakan Maryam yang kian lama semakin jauh saja. Kahar seperti melihat sejumput cahaya datang dari gelapnya langit, yang mendamaikan, yang menenangkan hati. Sudah tidak ada lagi tangisan Maryam, atau pun ledakan yang memekakkan telinga itu. Dan gelombang besar pun menelan perahu kecil itu, bersama gunung yang terus terbakar.
SEKIAN
Keterangan
Tao Laka         : Pemuka Adat
Ina                   : Ibu
Ama                : Ayah

Tentang Penulis.
Ida Fitri, lahir di Bireuen 25 Agustus. Sekarang menjadi Penyuluh Kesehatan Masyarakat di Aceh Timur.

Komentar

Postingan Populer