TAMU DARI LAUTAN

Jembia, Batam Pos, 4 September 2016
www.jembia.com

            Ma He memerintahkan anak buahnya untuk membuang jangkar. Kapal bertiang layar sembilan itu merapat ke pelabuhan, diikuti dengan dua ratus tujuh kapal jung lainnya. Lelaki berjubah hanfu itu berjalan menuruni kapal. Langit cerah, sesekali camar melintas di atas kepala.
            “Negeri apa ini, tuanku?” tanya Li Qiang penasaran. Matanya tak lepas menatap daratan.
            “Kita berlabuh untuk mengetahui itu, Anakku.” Laksamana sudah menganggap pemuda Li sebagai anaknya. Li Qiang merupakan awak kapal termuda yang mengikuti armada.
            “Kenapa kita tidak membawa serta panah api, Zhua dan Chu Ko Nu, Tuan?” tanya anak muda itu sambil mempercepat langkahnya untuk menyejajari langkah Ma He.
            “Kita datang untuk bertamu, bukan untuk berperang. Pedang untuk berjaga-jaga saja sudah cukup.” Lelaki berbadan sedikit gemuk itu menjawab sangat tegas.
            Li  Qiang tak berani membantah lagi. Ia berjalan sedikit lambat, tangannya dengan sigap menyambar sebuah Chu Ko Nu kemudian disembunyikan di bawah jubah hanfu-nya. Segala kemungkinan bisa saja terjadi ….
***
            Samudera Pasai, nama kerajaan yang menjadi tempat persinggahan armada. Sebuah kota pelabuhan yang cukup ramai. Li Qiang melihat kapal Arab dan India datang silih berganti. Sebuah kerajaan yang cukup maju. Raja mereka bernama Thai-nu-li-a-pi-ting-ki. Pemuda itu masih berkeliling di dekat pelabuhan. Ia tidak mengerti bahasa setempat tapi bisa berbahasa Arab. Ma He yang mengajarkan padanya.
            “Kenapa kau datang ke tempat ini? Kenapa tidak datang ke Ming saja?” tanya Li Qiang pada seorang lelaki berjenggut dan menggunakan surban.
            “Kami mencari lada di sini. Di Ming tidak ada lada.”
            “Tapi kami punya sutra dan porselen.”
            Lelaki itu tersenyum, kemudian berujar. “Kami tidak buang air di dalam kamar. Tapi piring makan dan sutra-mu boleh juga.”
            “Kenapa rupanya kalau buang air di dalam kamar? Semua orang juga melakukannya.” Pemuda itu terlihat kesal.
            Lelaki itu tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.  Kemudian meninggalkan pemuda bermata sipit tersebut. Li Qiang merasa terhina. Orang macam apa itu? Memang ia buang air di mana? Mereka memang menggunakan porselen khusus untuk buang air di dalam rumah, tapi kotoran akan dibuang dan porselen-porselen itu dicuci kembali. Tangannya menggenggam erat Chu Ko Nu dari balik jubah. Entah iblis apa yang menguasainya. Tiba-tiba ia mengayunkan panah kayu tersebut ke punggung lelaki Arab itu.
            Teman si Arab dan penduduk setempat meliat kejadian itu. Pria berjenggot memegang punggunya kesakitan. Orang-orang menahan Li Qiang yang kembali ingin menyerang saudagar Arab. Prajurit kerajaan melihat kejadian itu. Ketika orang-orang membawa saudagar Arab ke tabib, prajurit menyeret sang pemuda sipit ke penjara kerajaan.
Li Qiang tak henti menyesali diri, padahal saat itu Laksamana sedang menghadap raja. Ia bagaikan melempar kotoran ke wajah lelaki yang sudah menganggapnya sebagai anak. Tak seharusnya ia memukul orang Arab tadi.  Sekarang apa yang harus ia katakana pada Laksamana? Hatinya berharap Thai-nu-li-a-pi-ting-ki tidak menghubung-hubungkan kelakuannya dengan laksamana. Kamar penjara itu cukup gelap. Hanya sedikit cahaya dari jerjak yang menerangi ruangan sempit itu. Dimana saja penjara memang begitu.
“Demi persahabatan dua negara yang ingin dirintis, Tuan beruntung diperbolehkan berbicara dengan anak itu.” Terdengar prajurit berbicara dengan seseorang di luar.
“Semoga persahabatan negara kita membawa keberuntungan untuk semua.”
Tidak! Li Qiang sangat mengenal suara itu. Ini benar-benar memalukan. Pintu penjara dibuka dari luar. Benar saja, sesosok agak gemuk dengan topi hitam panjang khas Ming terlihat muncul di balik pintu bersama seorang penjaga.
“Apa yang terjadi, Anakku?” ujar Laksamana dengan suara perlahan namu menusuk hingga jantung Li Quang.
“Maafkan aku, tuanku.” Pemuda itu jatuh berlutut. Seribu sesal hinggap di dada.
Ma He menarik napas berat. “Padahal aku sudah menitahkan tidak boleh ada yang membawa senjata kecuali pedang untuk membela diri.”
“Aku …, aku pikir itu untuk berjaga-jaga,”
Lagi Ma He menarik napas berat kemudian mengelus kepala anak itu. “Bersabarlah! Akan kusahakan yang terbaik untukmu.”
Ma He berbalik meninggalkan tempat itu. Penjaga kembali mengunci pintu penjara. Li Qiang terduduk lemas. Sebuah ketakutan menghantuinya. Bagaimana jika hakim tak mau memaafkannya? Bagaimana kalau mereka akan memberikannya pada buaya atau binatang menakutkan lainnya? Tubuhnya tergetar hebat. Tiba-tiba ia menangis.
Li Qiang mendengar diding penjara dipukul dari sebelah kiri. Kemudian terdengar orang berteriak marah. Mungkin penghuni penjara di sebelahnya yang merasa terganggu dengan tangisan Li Qiang. Pemuda itu menutup mulutnya dengan ujung tangan hanfu-nya. Ia terlalu takut dengn semua kemungkinan yang bisa saja terjadi.
***
Beberapa prajurit berpakaian Ming berbondong menggotong sebuah lonceng besar ke depan istana Thai-nu-li-a-pi-ting-ki, sang raja Samudera Pasai. Sing Fat Niat Tong juut Kat Yat Tjo tertulis di badan lonceng beserta aksara arab sebagai terjemahannya.
“Benda apa itu?” Tanya sang raja yang ikut turun ke halaman mendengar keriuhan orang-orang. Istana raja berbentuk rumah yang di sangga dengan tiang-tiang tinggi.
“Di sini tertulis Sultan Sing Fa yang telah dituang dalam bulan 12 dari tahun kelima. Artinya ini bingkisan dari raja kami untuk paduka, Tuanku,” ujar Ma He yang sudah berdiri di samping lonceng. “ Ini juga kami bawakan sedikit hadiah kain sutra untuk, Tuanku.”
Prajurit Ming yang lain meletakkan buntalan kain yang cukup besar.
“Gelar tikar untuk meletakkan hadiah-hadian itu, Katibul Muluk.” Sultan Pasai itu memerintahkan bawahannya, “Hadiah yang diterima dengan penuh rasa hormat tidak boleh diletakkan di atas tanah,” lanjut sang sultan.
Ma He mengucapkan terima kasih atas sambutan sang raja. Kemudian sang raja juga menyiapkan jamuan selama para tamu berdiam di wilayah kerajaan. Dan Sultan mengajak sang tamu berjalan-jalan di taman istana. Mereka berbincang tetang kerajaan masing-masing. Tentang pertahanan dan kapal-kapal layar.
“Ada lagi yang ingin kau katakan, Laksamana?”
Ma he diam sejenak kemudian menjawab, “Paduka, seoarang anggota rombonganku sudah membuat masalah pada seoarang saudagar Arab. Sudikah kemurahan hati paduka untuk memaafkan anak muda yang belum mengenyam asam garam kehidupan itu.”
Raja terdiam sebelum berkata, ”Maafkan aku, Laksamana. Aku tidak punya wewenang untuk itu. Wazirat al Haqqamiyah yang berwenang untuk mengadili seseorang.” Raja memandang Ma He.
Lelaki sipit itu menunduk. Ia menjadi sangat malu. Ah anak muda itu.
“Sekiranya ini tidak menjadi masalah yang akan merusak hubungan kedua negara,” ujar raja kemudian.
Selayaknya raja memang mematuhi hukum yang berlaku di negaranya. Raja dari kerajaan kecil ini sudah mengingatkan Ma He. Mungkin ia terpaksa meninggalkan salah satu anak buahnya di sini. Paling tidak ia tidak meninggalkan Li Qiang di tempat yang salah. Mungkin anak itu bisa belajar lebih banyak.
***
            Sang laksamana telah memutuskan untuk menunggu proses persidangan Li Qiang, anak buahnya yang sudah dianggap seperti anak sendiri. Raja memberikan mereka sebuah rumah tinggal yang bertiang tinggi. Para prajurit Ming mendirikan kemah darurat di halaman depan dan samping rumah tersebut.
            Sekali waktu sang raja kembali menjumpai Ma he. Lelaki itu menawarkan seorang wanita untuk diperistri sang lelaki Ming. Lama Ma He terdiam.
            “Maafkan aku, tuanku. Aku tidak bisa.”
            “Apa gadis-gadis Pasai kurang cantik?”
            “Tidak, Tuanku. Tuhan telah menciptakan mereka begitu sempurna, Tapi Hamba-lah yang tidak sempurna.”
            Raja Pasai menatap Ma He tidak mengerti.
            “Maaf, Tuanku. Di negri kami pengawal raja harus dikebiri. Dan Hamba juga seorang pengawal raja.”
            Kali ini giliran Raja Pasai yang menunduk. Ia merasa bersalah pada tamunya.”Oh, kita tidak perlu membicarakan itu.” Kemudian raja pamit meninggalkan rumah singgah untuk Armada Ma He.
            Tak lama berselang, hasil pesidangan dibacakan hakim pengadilan. Mereka memutuskan Li Qiang sudah bersalah melakukan penyerangan terhadap orang lain yang menyebabkan bahu orang tersebut patah. Pemuda itu harus membayarnya dengan mengabdi pada raja pasai selama beberapa tahun.


            Ma He terpaksa meninggalkan seoarang anak buahnya di Samudera Pasai. Li Qiang menyesali keteledorannya karena tidak mematuhi pimpinan. Ia senantiasa mengutuk diri sampai suatu hari, seorang gadis yang melilitkan kain di kepala membuatnya terpana. Mulai saat itu Li Qian tak henti bersyukur karena raja sudah menghukumnya untuk menetap di tempat itu.

SELESAI

Komentar

Postingan Populer