Cerpen SYEH LAH DAN PEMIMPIN PRIMATA ITU
Oleh Ida Fitri
Jonh Sloan, 1871-1951
Jika ibu memukul kepalamu dengan
centong sayur yang terbuat dari tempurug, maka kamu akan menjadi kera. Dan
sekali waktu dulu, Tuhan pernah memukul orang-orang sesat. Seketika mereka
menjadi kera.
Keterkaitan manusia dan kera tak
akan habis dibahas berminggu-mingu. Dari hikayat Darwin hingga kitab suci
selalu menautkan keduanya. Puteh tak pernah menggubrisnya. Hingga sekali waktu
seekor primata jantan mengintip dari balik dapur. Benar-benar mengintip
selayaknya seorang lelaki mengintip gadis-gadis mandi di sungai.
***
Syeh Lah kembali mengecek
lembingnya, tajam dan mematikan. Pasti bisa menembus jantung kawanan primata
yang kerap merampas hasil ladang. Dua hari yang lalu, setandan pisang ambon
siap panen hanya tersisa dua buah. Sehari sebelumya tiga buah semangka yang
dirawat sedemikian rupa sejak disemai juga menghilang. Bahkan pohon-pohon
semangka miliknya ikut berantakan. Benar-benar tak bisa dimaafkan. Bukan hanya
tanaman di ladang Syeh Lah saja yang menjadi korban. Ladang warga lain juga
bernasib sama.
Kawanan kera tersebut dipimpin oleh
seekor kera jantan dan kuat. Binatang itu yang memberi aba-aba pada kawanan
untuk menghancurkan ladang warga. Konon katanya teriakan pemimpin kelompok itu seperti
raungan orang terluka saat memberikan perintah. Dan kata warga yang pernah
melihat langsung, mata binatang tersebut selalu mendelik mengerikan seperti
menyimpan dendam. Uniknya lagi pejantan itu sangat pintar. Mampu menghindari
setiap jebakan yang dibuat warga. Bahkan mereka tidak memakan buah pisang yang
diisi racun dan digantungkan di ladang.
Binatang tetaplah binatang, tak
mungkin bisa lebih pintar dari manusia, rutuk hati Syeh Lah. Hari ini legenda
tentang pemimpim kawanan yang lihai dan licik akan berakhir. Sekali lagi Syeh
Lah melirik lembingnya. Makhluk itu tak akan selamat dari lemparan benda
runcing tersebut.
Saat mengetahui ladang banyak yang
rusak karena diganggu sekawanan kera, warga desa mengadakan urung rembuk di
Menasah Kulah Batee. Pak Geuchik, Tuha Peut, Teungku Imum Gampong, duduk bersama untuk membahas tindakan yang
akan diambil warga.
Seorang warga mengusulkan untuk
melaporkan ke Kecamatan, biar orang kecamatan turun untuk menangkap kawanan dan
mengirim ke kebun binatang. Tapi warga lain tidak setuju. Semua hasil ladang sudah
dihabiskan kawanan kera saat orang kecamatan turun tangan. Pasti akan membutuhkan
waktu lama untuk membuat proposal tentang kera-kera pengganggu, membuat laporan
kerusakan lahan, sampai perincian dana yang dibutuhkan oleh kecamatan untuk
menangkap sekawanan kera. Sudah menjadi rahasia umum, jika dana yang dibutuhkan
sebenarnya cukup beberapa ratus ribu, di tangan para ahli kecamatan bisa
membengkak tiga kali lipat. Untuk
pengadaan perlengkapan yang dibutuhkan saat mengejar kawanan, hingga
dana konsultasi psikologis kekeraan.
Pemilik ladang tentu tidak akan
bersabar dalam menunggu tetek bengek yang berkelit-kelit tersebut. Akhirnya
Imum Gampong turut berbicara. Sebagai orang yang paling tua dalam forum, dia
merasa paling bertanggung jawab untuk memecahkan masalah warga desa.
“Kupikir jalan terbaik yang bisa
kita ambil adalah melakukan Let Bue, mengejar kawanan dan membunuhnya.
Dulu setiap bulan sekali, orang tua kita yang sekarang berkalang tanah
melakukan kegiatan tersebut. Tidak ada kera yang mengganggu ladang mereka.”
“Aku setuju dengan usulmu, Teungku
Imum. Kawanan kera itu tak layak mendapat ampun,” timpal Syeh Lah bersemangat.
Dia ingat di masa kecil dulu ayah kerap tertawa bangga saat membicarakan
keberhasilannya menombak seekor kera.
“Apa tidak akan memicu kemarahan
para pecinta binatang, Teungku Imum?” tanya anak muda bertubuh gempal yang
menjabat ketua pemuda setempat.
“Alah mereka pecinta lingkungan itu
hanya munafik-munafik penjilat ludah sendiri,” ujar seorang warga yang sejak
tadi hanya berdiam diri. Semua mata mengarah pada lelaki tersebut.
“Mereka lebih peduli pada binatang, dibanding
warga yang terancam kelaparan karena hasil panen dirusak kawanan,” lanjut
lelaki itu lagi. Terlihat kepala-kepala menggangguk setuju. Membentuk gerakan
yang mirip tarian saman yang terkenal itu. Andaikan ini bukan di rumah Tuhan,
mungkin mereka tak keberatan jika Syeh Lah melafalkan syair-syair saman,
kemudian menari bersama.
“Jika
semua sudah setuju, maka Let Bue kita
lakukan pada hari Seulanyan ini.”
Akhirnya Pak Geuchik sebagai pemimpin
desa menyimpulkan hasil rapat di Menasah Kulah
batee. Azan isya berkumandang saat rapat usai. Peserta musyawarah berlomba
menuju kulah batee untuk mengambil
wudhu. Konon katanya tempat penampung air wudhu tersebut berasal dari batu
gunung yang dipahat secara gaib oleh aulia Tuhan. Karena tempat wudhu yang aneh
itulah nama Menasah Kulah Batee
tersemat pada menasah desa yang baru selesai dipugar itu. Mereka sengaja
mempertahankan batu gunung tersebut sebagai tempat wudhu.
Hari senin tiba, semua bersiap-siap
dengan lembing di tangan. Tak terkecuali Syeh Lah, dia sangat bernafsu untuk
menombak jantung pemimpin kawanan dengan tangannya sendiri. Kawanan kera sudah
memporak-porandakan ladangnya. Ladang yang ditanam dengan sepenuh hati dan
jiwanya. Berharap panen semangka dan pisang ambon meningkat dua kali lipat pada
tahun ini. Tetapi kera-kera itu menghancurkan segalanya.
***
Suara riuh rendah warga yang
mengejar kawanan kera membahana di perbukitan yang berbatasan dengan lahan
warga. Mereka merangsek ke hutan kecil untuk mengejar binatang-binatang berbulu
lebat itu. Tapi pemimpin kawanan melakukan beberapa tipuan yang menyusahkan
warga. Betapa terkejutnya mereka ketika salah seorang warga terjatuh ke dalam
sumur tua yang airnya sepinggag. Sumur yang digali orang tempo dulu untuk
berwudhu saat mengambil madu hutan. Permukaan sumur tersebut tertutup dengan
pelepah iboh. Warga tak pernah
menduga jika di bawahnya ada sumur. Beruntung airnya hanya setinggi pinggang.
Dua warga lain menarik keluar kawannya yang terjatuh ke dalam sumur. Dan mereka
sangat yakin jebakan ini ide dari pemimpin kawanan. Merek harus lebih
berhati-hati dan tidak menganggap remeh pejantan yang memimpin kera-kera itu.
Kemampuan berpikirnya hampir menyerupai seorang manusia.
Satu ekor kera berhasil dilumpuhkan,
tapi tidak seimbang dengan kesulitan yang mereka dapatkan. Sudah tiga jam
mereka mengejar kawanan. Kadang terdengar suara-suara kera berlarian di sebelah
utara, ketika dikejar ke arah sana, malah terdengar suara kera dari selatan.
Mereka benar-benar dipermainkan.
Syeh
Lah menduga si pemimpin sedang mengintip dari bailk hutan, mengejek ketololan
warga desa. Dia benar-benar marah. Lelaki itu berhenti mengejar dan berpikir
sejenak. Lalu kakinya menuju puncak sebuah bukit. Pemimpin kera terlalu pintar
untuk dikalahkan hanya dengan kemampuan fisik saja. Sesampai dipuncak bukit,
lelaki itu mengedarkan pandangan ke areal hutan yang terhampar di bawah sana.
Disisir pandangannya hingga 3600. Matanya melihat gerakan mencurigakan
di dahan pohon yang dihiasi buah-buah kecil. Seekor pejantan terlihat sedang
memberikan pengarahan pada kera-kera lainnya. Pohon itu tidak terlalu tinggi,
jauhnya kira-kira 200 meter dari tempat Syeh lah berdiri.
Sebuah
ide tergambar jelas di kepala lelaki paruh baya, pemimpin tari saman yang masih
terlihat perkasa itu. Dia mengendap-endap menuju pohon yang digunakan pemimpin
kawanaan. Lelaki itu menyuruh warga yang berpapasan dengannya mengambil arah
yang berlawanan. Semua ini harus diakhiri dengan membunuh pejantan bertubuh
besar itu. Dan hanya bisa dilakukan oleh Syeh Lah.
Syeh
Lah melepaskan sepatunya, tak diperdulikan kakinya yang tergores putri malu.
Dia tidak mau mengambil resiko kedatangan diketahui pemimpin kawanan. Syeh Lah
terkesima melihat tubuh besar kera itu. Sebelumnya tak pernah tahu ada kera
yang sebesar manusia. Lelaki itu semakin yakin harus membunuh binatang aneh di
depannya. Mungkin karena kepalanya sebesar milik manusia, kera itu menjadi
sangat pintar.
Setelah berada di posisi yang tepat, ditariknya
tangan kanan yang memegang lembing ke belakang. Dia bersiap untuk menombak
binatang tersebut tepat di jantungnya.
Tak disangka, seperti merasakan bahaya, binatang tersebut menatap ke arah
Syeh Lah. Tapi terlambat, lembing sudah melaju cepat ke arahnya. Binatang itu
hanya sempat bergerak sedikit. Lembing menancap di bahu kanan, melenceng
beberapa senti dari jantungnya. Binatang itu menjerit kesakitan kemudian
berlari ke arah kanan. Anggota kawanan terkejut dan berlari ke berbagai arah.
Spontan warga yang mendengar suara rebut-ribut mengejar mereka.
Syeh Lah sedikit kecewa karena
pemimpin kawanan masih bisa berlari. Tapi dugaannya dalam waktu beberapa jam
pejantan itu akan mati juga. Untuk memperoleh bukti Syeh Lah memakai sepatu dan
mulai berjalan ke arah pemimpin kawanan menghilang. Tetesan darah di daun-daun
dan rerumputan menjadi penunjuk arah. Jejak terus menuju ke dalam hutan rimba.
Lelaki itu tak kenal takut. Beberapa bukit sudah dilewati, jejak darah terlihat
mengarah semakin dalam ke hutan. Kuat juga fisik binatang itu pikirnya. Dalam
ke adaan terluka mampu berjalan sangat jauh.
Jejak itu menghilang masuk ke sebuah
goa yang berada di lereng bukit. Syeh Lah berdiri di mulut gua, merasa sedikit
ragu untuk masuk ke dalam sana. Seumur hidupnya dia belum pernah mendengar ada
goa di hutan ini. Apa gerangan yang berada di dalam sana? Jangan-jangan sekelompok
kera sedang menunggu untuk mengeroyoknya. Ditepisnya pikiran itu jauh-jauh, dia
harus melihat dengan kepala sendiri bangkai kera besar pemimpin kawanan.
Lelaki itu berjalan masuk ke dalam
gua. Matanya butuh beberapa saat agar terbiasa berada di tempat lebih gelap.
Samar-samar telinganya menangkap suara tangisan. Dia sering mendengar dari
warga jika suara pemimpin kera mirip jeritan manusia. Ini bukan mirip saja,
tapi memang serupa suara manusia terisak pilu, kehilangan sesuatu yang berharga
dari hidupnya.
Penasaran, Syeh Lah masuk lebih dalam.
Dia tak ingin percaya saat melihat ada cahaya jauh di depan sana. Cahaya yang
berasal dari sebuah suluh. Sejak kapan kera bisa membuat suluh? Syeh Lah
berjalan lebih cepat tapi tetap berusaha untuk tidak menimbulkan suara. Matanya
terbelalak melihat seorang perempuan terisak memungunginya. Di hadapan
perempuan tersebut terbaring kaku sesosok tubuh besar berbulu.
Perut Syeh Lah seketika kaku. Sosok
perempuan yang sedang memunggunginya terlihat sangat familiar. Tiba-tiba
perempuan tersebut berbalik. Tidak salah lagi itu memang seseorang yang begitu
ingin dilupakan. Seketika dia merasa dirinya menjadi sangat tua.
“Puteh?”
“Ayah?!”
***
Syeh Lah seperti tersedot dalam
pusaran waktu. Dia kembali ke masa dua puluh satu tahun yang lalu.
“Aku hamil, Ayah.”
“Apa kamu bilang?”
“Maafkan aku ayah. Aku benar-benar
hamil.” Anak perempuannya yang berusia enam belas menangis sesugukan di
hadapannya.
Sebuah tamparan keras bersarang di
pipi anak itu. Perempuan berambut lurus itu tetap menagis tanpa perlawanan.
“Siapa yang sudah melakukannya
padamu, Puteh?” Syeh Lah mencengkram keras pundak anak gadisnya.
“Aku diperkosa ayah. Aku tidak
bersalah,” ujar gadis itu bersimbah air mata.
Darah Syeh Lah bergolak hingga
ubun-ubunnya. Dia mengatupkan gigi menahan amarah, “Katakan siapa yang
melakukan ini padamu?!” Lelaki itu frustasi dan mulai tak bisa menguasai
dirinya. Anak gadis semata wayang yang dibesarkan seorang diri setelah istri
meninggal, kini bunting tanpa suami. Diulanginya lagi pertanyaan yang sama.
Puteh tetap bungkam, mulutnya
terkunci rapat. Syeh Lah menjadi kalap, diambilnya belati dari pinggang. Anak
perempuannya berlari ketakutan ke luar rumah. Semenjak saat itu Puteh menghilang
tak pernah pulang lagi. Syeh Lah berasumsi putrinya tidak diperkosa melainkan
berzina kemudian kabur bersama lelaki yang sama.
Keyakinan itu ditanamnya sampai ke
relung hati. Sekali waktu dia pernah menyesali perbuatannya membuat Puteh takut
dan kabur, tapi pengkhianatan anak gadisnya dengan hamil di luar nikah membuat
bara yang hendak padam kembali berkobar.
Tapi apa yang dilihat barusan
melenyapkan semua asumsinya. Puteh ternyata hidup di hutan bersama pemimpin
kawanan kera. Apa hubungan anaknya dengan kera besar itu?
“Jika ayah masih ingin mengetahui
siapa yang memerkosaku? Baiklah akan kuberi tahu,” suara Puteh terdengar
gemetaran dan bercampur amarah. Terutama setelah melirik mata lembing bernoda
darah kering di tangan sang ayah.
“Ayah tahu? Ayahlah penyebab semua
ini. Ayah terlalu sering meninggalkanku sendirian di rumah. Padahal aku ini
anak gadis ayah. Ayah tahu siapa yang sudah menindih tubuh enam belas tahunku?
Itu bukan manusia ayah, melainkan seekor pejantan berbulu. Aku tak berdaya saat
binatang itu menindihku dengan buas. Aku tidak berani mengatakannya pada ayah.
Kemudian aku bunting tanpa suami. Ayah hanya bisa mengusirku.” Puteh terdiam
sejenak berusaha melepaskan beban kesedihan yang selama ini ditanggungnya.
Suasana dalam goa sangat hening. Syeh Lah belum mampu berkata-kata. Dia seperti
tertampar berkali-kali dengan tangan-tangan tak terlihat.
“Aku sempat ingin mati di dalam goa
ini, tapi janim dalam perutku bergerak-gerak, menyadarkanku dari perbuatan
terkutuk itu. Semenjak saat itu aku bersumpah akan memberikan hidupku untuk
anakku. Aku bertahan meski medapati anakku mewarisi fisik pemerkosaku. Tapi apa
yang sudah ayah lakukan?” Suara Puteh lantang menghujam jantung Syeh Lah.
Lembing di tangan lelaki itu jatuh
menghantam tanah. Matanya kini mengarah pada sosok pemimpin kawanan yang sudah
menjadi mayat ….
Selesai
NB. Salah satu cerpen yang saya tulis saat awal-awal belajar dulu. Tidak pernah tembus koran.
Panjangnye ni cerpen.. Tapi meski belum dimuat2 bagus ceritanya.
BalasHapus