JALAN MASUK

Oleh Ida Fitri


Belakangan saya sering melihat kepala di dalam kepala saya. Mungkin ini sedikit aneh untuk dikatakan, bagaimana sebuah kepala yang tidak saya kenal sebelumnya bisa masuk ke dalam kepala saya yang sudah saya kenal selama tiga puluh tahun lebih? Pada tahap ini saya melihat kebenaran dari ungkapan Jorge Lois Borges, “Keterampilan penyair, keterampilan penulis, merupakan sesuatu yang aneh."
  
              Sebenarnya saya sangat jauh dari semua kegilaan ini, andai seorang teman MTsN yang sudah berpisah puluhan tahun tidak menulis sebuah pesan pendek kepada saya, “Da, aku masih menyimpan surat-suratmu saat SMA dulu. Surat yang sedikit memotivasiku untuk menulis.” Saat itu saya termangu dan mulai berpikir, apa yang benar-benar saya ingin lakukan, sudah saya lakukan selama ini?

                Sebuah pesan pendek menjadi alasan saya mulai belajar menulis. Saya memulai semua ini pada usia lebih dari tiga puluh tahun. Saya pikir ini tidak akan mudah. Tahap demi tahap, alasan saya menulis berubah, sesuai dengan interaksi saya dengan dunia literasi. Pernah pada tahap, saya menulis untuk mendapatkan banyak jempol di  sebuah grup menulis FB, kemudian berubah menjadi ingin tembus media cetak. Alasan-alasan yang dianggap makruh oleh dunia literasi itu sendiri. Tapi alasan-alasan itu pula yang membawa saya lebih dalam ke jagat tulis menulis, mengenalkan saya pada sosok-sosok penulis luar biasa yang berkontribusi secara tidak langsung dalam mengubah cara pandang saya terhadap literasi dan sastra pada khususnya. Karena alasan-alasan sederhana itulah yang membuat saya terus belajar untuk menjadi lebih baik .

                “Tulisan bagus itu akan tetap bagus, mesti tidak menang festival atau pun tembus di sebuah koran,” begitu kurang lebih ucapan Azhari, penulis Perempuan Pala yang ikut membuka cakrawala saya tentang kriteria sebuah karya sastra. Pada titik ini saya mulai mempelajari kepala-kepala yang masuk ke dalam kepala saya. Benda asing yang ternyata tidak asing. Kenapa saya katakan benda asing? Karena kepala itu jelas-jelas tidak datang dari diri saya sebagai sebuah pribadi. Kepala itu datang dari karakter-karakter hasil pengamatan saya yang tidak saya sadari selama ini. Hingga kepala itu menjadi saya, tapi bukan saya.

                Sebuah teks pernah menjelaskan, Ernest Hemingway pernah dicurigai menderita kepribadian ganda. Saya mulai berasumsi, bisa saja ia mengalami seperti yang saya alami. Sebuah kepala dari salah satu karakter yang ia amati, atau sedang ingin ia tulis masuk ke dalam dirinya, kemudian ia mulai kesusahan untuk melepaskan diri dari hal tersebut. Ini asumsi awam dari saya yang juga tidak mengenal baik penulis The Old Men and The Sea tersebut.

                Saat mengenali kepala-kepala yang masuk ke dalam kepala saya, saya mendapat keuntungan besar. Saya bisa menjadikan mereka sebagai karakter-karakter kuat dalam tulisan-tulisan saya. Saya bisa memerintahkan kepala-kepala itu seperti yang saya inginkan dengan hukum-hukum tertentu. Atau bahkan saya bisa melampau hukum-hukum itu.

                Kembali ke alasan menulis, saya pernah menulis karena kegelisahan saya pada apa yang saya amati di sekeliling saya, pada tahap yang lain saya menulis dengan alasan yang lain. Hingga pada satu manzilah saya berpikir, tidak penting, apa alasan pertama kita mencoba menulis? Yang terpenting adalah kita tetap menulis, pada saat itu saya akan berkata, “Persetan dengan sebuah alasan.”

Idi, 23 Mei 2017

SELESAI

Komentar

  1. Baiklah, "Persetan dengan sebuah alasan" 😀

    BalasHapus
  2. Apakah setan butuh alasan?

    Tulisanmu sudah serapi ini, ya? Jauh sekali berkembangnya ketimbang awal kenal.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kenal sama kamu adalah awal keberuntungan saya.

      #mencoba ber kamu-saya sama orang ini 😬😬😬😬

      Hapus
  3. Nulis artikel essai begini saja, sudah bagus. Apalagi buat cerita fiksi. Makin keren tulisan Kak Ida.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang model begini ini, masih harus banyak belajar, mbaee

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer