RUH SAMAN
Di bawah hujan, Puteh terus menari.
Tangan dan dada ditepuk, silih berganti. Gerak guncang, kirep, linggang dan surang-saring
ia lakukan dengan sempurna. Ada rasa asin melindap di sudut bibir, air mata dan
air hujan telah menyatu. Gadis itu terus menari diiringi tabuhan petir. Ia tak
peduli jika badan disambar geledek. Ruh dan raga hanya ingin menarikan saman, mewarisi
segala milik Abu.
Dari seuramoe reungeun mata Syeh Lah Geunta menatap tak berkedip.
Berkali ia mendesah panjang,”Duhai inong, apa yang harus kulalukan untukmu?”
Lelaki
itu bangkit, kemudian merunduk keluar dari pintu yang sedikit lebih rendah dari
kepalanya. Anak tangga sudah menunggu lelaki lima puluhan itu. “Lah Keubat, Kau
tidak seharusnya mati begitu cepat. Kau seharusnya tidak menidurkan putrimu
dengan rengum-rengum saman. Dan
sekarang anakmu itu telah menjadi gila.”
Petir menyambar-nyambar, lelaki itu
tak peduli pada langit yang menyiramkan air ke atas kepala. Ia terus berjalan
ke halaman, dimana Nyak Puteh masih saja menari. Sekuat tenaga ia menyeret
gadis itu. “Sudah, Inong. Hentikan.”
Puteh meronta sekuat tenaga. Tapi
lelaki itu adalah Syeh Saman yang sangat kuat dan disegani. Tenaganya beberapa
kali lebih kuat dari gadis yang menginjak dewasa itu. Ia menyeret gadis
tersebut ke bawah rumah yang disangga 24 tiang setebal 30 cm itu.
“Kau akan segera menikah, Inong.”
Suara Lah keubat terdengar berat dan mengancam.
“Tidak, Abu Wa. Aku belum ingin menikah.” Puteh membalas diiringi isakan
lirih, Izinkan aku menari, Abu Wa.”
“Inong, Saman bukan untuk perempuan.
Sadarlah, Inong. Orang-orang menyebutmu Pungo.”
Perempuan itu menunduk. Hujan pun
telah reda. Hanya isak tangis terdengar lirih.
***
Puteh tidak pernah ingat rupa
ibunya. Menurut Abu, Ibu sudah pergi mengaji pada Tuhan. Dan ibu telah bahagia
di sana. Bukan karena ibu tidak sayang pada Puteh, tapi karena Tuhan teramat
sayang pada ibu. Tapi saban malam jumat ibu akan datang untuk melihat mereka.
Nyak Puteh harus mengaji untuk menyenangkan Ibu.
Pernah sekali waktu Puteh meminta
dibelikan ibu. Tapi sang Ayah menunduk lama, setitik air bening sempat ia lihat
di sudut mata Abu, sebelum lelaki itu menghapusnya dengan cepat. Abu tidak
pernah menangis sebelumnya.
“Maafkan Puteh, Abu.” Seribu sesal
hinggap di dada gadis kecil itu.
“Tidak apa-apa, Nyak. Abu yang
bersalah. Seandainya Abu tidak pulang menjelang magrib, ketika iblis keluar
mencari mangsa. Mungkin ibumu masih di sini.”
Ibu meninggal setelah melahirkan
Puteh, dukun bersalin bilang itu burong
tujoh, darah ibu dihisab iblis yang mengikuti abu sore itu. Iblis juga
menggigit lidah ibu. Dan kaki ibu sempat membengkak sebelum melahirkan.
“Sekarang kamu tidur ya, Nyak
Puteh.” Sang ayah menidurkan putrinya di atas pangkuan.
“Puteh takut, Abu.”
“Tidak apa-apa, Nyak,” ujar lelaki
itu seraya menyenandungkan saur, lagu yang diulangi bersama dalam
saman.
Sejak saat itu, Puteh menjadi hafal
syair-syair saman. Abunya seorang Syeh Saman, Penyanyi yang menjadi pemimpin
kelompok penari saman. Puteh sangat bahagia memiliki abu. Hingga pada suatu
malam sepulang menari badan abu demam tinggi. Lelaki itu menggigil, ia berjalan
terseok ke dapur rumah tiang mereka untuk memanaskan air.
Puteh terbangun mendengar suara
benda jatuh dari dapur. Betapa terkejutnya mendapati tubuh abu telah beku di
depan tempat persegi panjag yang diberi tiang kemudian di isi abu dapur sebagai
tempat untuk meletakkan tungku. Semenjak saat itu Abu tak pernah bangun lagi.
Abu ikut mengaji pada Tuhan bersama sang Ibu. Rupanya Tuhan juga lebih
menyayangi Abu. Semenjak saat itu Puteh tinggal bersama keluarga Syeh Lah
Geunta. Teman bermain saman Abu.
***
Sirih dan kapur diatur sedemikian
rupa dalam cerana. Seorang perempuan tua memegang tempat itu. Matanya sesekali
melihat ke halaman. Rumah Aceh bertiang dua puluh empat itu dipenuhi sanak
kerabat. Mereka sedang menunggu keluarga linto
baro, sang pengantin lelaki yang berasal dari kampung sebelah.
Jemari kaki dan tangan Puteh telah
dihiasi inai. Bajunya dihiasi benang-benang kuning di ujung lengan dan di
kerah. Kain songket dipasangkan hingga lutut. Di bawah itu sehelai celana
panjang dengan hiasan kasab keemasan diujung kaki melengkapi keanggunan gadis
itu. Sehelai kain menutupi kepalanya. Hanya wajah perempuan itu terlihat
sedikit sendu.
Di
halaman depan tikar digelar. Sepuluh lelaki sedang menarikan saman. Para lelaki
desa menyaksikannya dengan penuh semangat. Syeh Lah Geunta hendak mengawinkan
putri angkatnya yang juga ber-ayah seorang Syeh Saman.
Suara
Syeh Saman, tepukan di dada dan tangan terdengar silih berganti. Semua orang
bergembira, tapi Puteh menginginkan Abu-nya. Sejujurnya ia belum siap
mengarungi rumah tangga. Ia ingin menari ke kutaraja, tapi saman bukan milik
perempuan. Setitik bening mengalir di sudut mata.
Saleh, menemuinya seminggu yang
lalu. Lelaki itu cukup santun dan terlihat menyukainya. Hidung lelaki itu
mancung, dan kedua alisnya tebal. Konon katanya, kakek Saleh berasal dari
kerajaan Ottoman. Yang lebih penting lagi, Saleh adalah Aneuk Syeh dalam grup saman ayah angkatnya. Jika tidak bisa menari
saman, mungkin Puteh bisa melahirkan penari saman kelak. Memberikan cucu yang
mahir bermain saman untuk Abu. Gadis itu berusaha menghibur diri. Syeh Lah
Geunta sudah sangat baik padanya, tak boleh ia mengecewakan lelaki itu. Lelaki
terhormat yang sampai memohon pada seorang gadis agar bersedia untuk menikah.
Padahal gadis itu bukanlah anak perempuannya.
Suara Syeh Saman di halaman seperti
lenyap tertelan bumi. Kemudian terdengar suara riuh rendah yang tidak begitu
jelas. Jantung Puteh berdetak lebih kencang. Tidak seharusnya saman dipangkas
begitu saja. Mungkinkah rombongan linto
baro sudah datang?
Hati Puteh tidak keruan, ia bangkit
beranjak ke pintu depan. Seorang perempuan menahannya. Tidak selayaknya sang dara baro berjalan ke sana ke mari. Dara baro itu harus duduk di atas kasur
bersulam. Menanti linto baroe datang,
kali ini Puteh memilih untuk patuh.
Hanya Mak Wa Saudah datang dengan raut tak karuan. Istri Syeh Lah Geunta
itu langsung memeluk Puteh.
“Ada apa, Mak Wa?”
“Saleh dan rombongannya ….”
“Kenapa dengan Saleh, Mak Wa?”
“Kaphe
Belanda telah menghadang rombongan mereka. Saleh dan rombongan dibedil tanpa
ampun. Salah seorang yang selamat barusan datang pada AbuWa-mu.”
Rasa sesak menghimpit dada Nyak
Puteh. Darahnya bergelegak. Kaphe
perampas itu memang tak bisa dimaafkan. Rasa sakit menghujam dada. Ia tidak tahu
kenapa? Padahal sebelumnya ia begitu sedih karena tidak bisa menari ke kutaraja.
Tapi rasa sedih kali ini berbeda. Tak ada bening jatuh di sudut mata. Ia tahu
apa yang akan dilakukan selanjutnya.
***
Bulan kesatu Tahun 1900 ….
Seorang
perempuan berwajah keras duduk di atas kursi, di sampingnya seorang perempuan
muda ikut duduk menopang dagu. Perempuan lain juga berkumpul membentuk sebuah
lingkaran yang cukup besar. Di tengah-tengahnya, sebuah tikar digelar. Kemudian
beberapa perempuan mulai masuk untuk menari. Seorang syeh perempuan menyanyikan
syair-syair perjauangan, tentang keberanian malahayati menghalau kapal Portugis.
“Siapa perempuan Syeh saman itu,
Ibunda?” tanya perempuan muda pada sang ibu.
“Itu Nyak Puteh, Anakku.”
“Aku ingin seperti dia, Ibunda.”
Perempuan berwajah keras itu menatap anaknya.
“Coba ibunda lihat, semua perempuan
yang berada di sini sudah tidak sabaran untuk membunuh kaphe besok. Itu kenapa? Karena perempuan Syeh Saman itu sudah
mengambil rasa takut dari hati mereka.”
“Itu karena suaminya dibunuh Belanda,Nyak
Gambang.”
“Ibunda lupa kalau serdadu Belanda
juga telah menembak ayahku?”
“Tapi kamu harus menggantikan Ibunda
nanti. Memimpin untuk melawan kaphe-kaphe
itu.”
“Setiap perempuan di sini bisa menggantikanmu,
Ibunda. Mereka bisa kalau memiliki keberanian. Dan aku, putrimu yang akan
meletakkan keberanian di hati mereka.”
Perempuan berwajah tegas itu menatap
putrinya sesaat, kemudian menatap syeh saman yang sedang menyanyikan lagu
perjuangan. Ia tidak membantah atau pun mengiyakan sang putri. Benteng Inong
Balee terlarut dalam hikayat sang Syeh Saman.
SELESAI
Pungo : Gila
Seuramo Ringen: Bagian
depan dari rumah Aceh
Kaphe : Sebutan Untuk Belanda
Abu Wa : Paman
Mak Wa : Bibi
Nyak : Sapaan untuk Nak
Pernah terbit di koran Tribun Jabar, 19 Februari 2017
Asoooi sekalo.
BalasHapusTerima kasih sudah mampir, Bang Pilo
HapusTernyata aku berada di tahun seribu sembilan ratusan
BalasHapusAda mesin waktu?
Hapus