CERPEN THE CALLING

Oleh Ida Fitri
            Delapan tiang baja berwarna merah-oranye menggambarkan arah mata angin. Sebuah titik di tengah tugu yang terletak di depan Milwaukee Art Museum itu membentuk setengah lingkaran. Caleb masih terpaku menatap bangunan yang disebut The Calling itu. Anehnya plat baja di tengah bangunan tiba-tiba bergerak menjadi lingkaran, tiang-tiangnya membentuk bibir, kumis, mata dan telinga. Sebuah wajah terlihat jelas kini.
Caleb mengucek mata, benar saja, itu hanya ilusinasi semata. Tugu di depannya kembali menunjukkan delapan arah mata angin.
            Caleb beranjak meninggalkan tempat itu. Abigail, si pirang, idola kampus ingin menemuinya di Veteran’s Park. Entah kenapa Abby memilih tempat itu. Padahal sekarang bukan musim festival layangan. Ah, cewek memang susah untuk dimengerti. Hanya tadi ada yang harus diselesaikan terlebih dulu di Museum. Jurusan Seni yang diambilnya membuat pria bermata coklat terang itu sering mampir di museum. Dan tadi bukan yang pertama kalinya ia melihat The Calling membentuk seraut wajah berkumis.
            “Caleb! Caleb!”
            Seseorang memanggilnya dari arah belakang. Mungkin salah satu teman jurusan seni yang kebetulan datang ke museum. Pemuda tersebut berbalik.
            “Hai, kamu meninggalkan ini!” Seoarang pria berjaket denin menunjukkan sebuah dompet di tangannya. Jantung Caleb berdetak lebih cepat, ia terpaku bukan pada benda di tangan lelaki itu melainkan pada seraut wajah yang berkumis. Wajah itu adalah wajah yang dibentuk oleh tiang-tiang The Calling tadi.
            “Kenapa kamu diam saja. Kenalkan, aku Jeff.” ujar pria itu sambil menyodorkan tangan.
***
            Tidak lama berselang, Caleb dan Jeff sudah duduk di sebuah kedai kopi yang berada di depan O’Donnel Park. Seorang Barista sedang meracik kopi. Kedua lelaki itu duduk di salah satu meja kayu yang berada di tempat tersebut.
            “Terima kasih sudah mengembalikan dompetku.”
            “Ah, tidak mengapa. Kebetulan saja aku menemukan benda tersebut.”
            “Kamu sering datang ke museum?” tanya Caleb, mungkin tanpa sengaja  ia sering melihat wajah Jeff. Tanpa sengaja tersimpan di alam bawah sadarnya, sehingga terkadang ia melihat Jeff di The Calling.
            “Oh, tidak juga. Sebenarnya aku baru pertama kali ke sana. Ada yang ingin kupelajari. Dan aku juga baru pindah ke kota ini.”
            Seorang pramusaji laki-laki menghidangkan kopi pesanan mereka. Hening, tak ada yang dibicarakan lagi. Caleb meniup-niup kopinya. Kebiasaan yang ia lakukan setiap minum kopi.
            “Kamu sepetri terburu-buru,” ujar Jeff yang terus menatap ke wajah pemuda di depannya.
            “Sebenarnya, aku ada kencan. Teman wanitaku sedang menunggu di Veteran’s Park.
            Paraf Jeff terlihat kecewa, “Ya sudah. Temui saja gadismu dulu.”   
            “Kamu yakin tidak apa-apa kutinggal?”
            Jeff menggeleng. Caleb berjalan menuju meja kasir. Dia yang tadi memaksa untuk mentraktir lelaki yang telah menemukan dompetnya itu. “Aku jalan duluan, ya?” pamit nya kemudian.
            “Tunggu! Aku belum punya banyak teman di kota ini. Bisakah kau menemaniku memancing pada minggu nanti?”
            Jika berhasil pada kencan pertamanya ini,Caleb sudah mengatur waktu agar bisa menghabiskan akhir pekan bersama Abby. Tidak sembarang mahasiswa bisa mengajak makan cewek pirang itu, “Baiklah. Dimana kamu tinggal?” tanya Caleb sambil berbalik ke meja kayu tempat Jeff duduk.
Lelaki itu mengeluarkan dompetnya dari saku celanan yang bewarna senada dengan bajunya. Ia mengangsur selembar kartu nama, “Temui aku di sana, Caleb.”
            Setelah menerima kartu nama tersebut, Caleb menuju pintu keluar kedai kopi itu. Ia sudah membayangkan Abigail yang memakai kaos kebesaran dimana tali tanktop-nya yang bewarna terang itu kelihatan. Dan gadis itu juga pasti memakai rok mini super ketat dengan sepatu olah raga dan kaos kaki warna cerah. Sebuah gaya berpakaian yang lagi disukai para gadis. Dan Abby selalu datang dalam mimpinya belakangan ini.
***
            Dengan malas-malas, Caleb melangkah ke halaman sebuah rumah bercat putih dengan pintu bewarna merah bata itu. Dalam hati, ia mengutuk dirinya yang telah menerima ajakan lelaki yang baru di kenalnya di tugu The Calling itu. Padahal Abigail sudah menerima cinta yang diucapkan Jeff. Pemuda itu juga yakin, gadis tersebut tidak akan menolak jika diajak menghabiskan weekend bersama. Tapi janji tetaplah janji. Caleb menekan bel yang berada di sudut pintu.
            Wajah Jeff muncul di balik pintu. Dan lelaki itu hanya memakai celana pendek bertelanjang dada.
            “Kita tidak jadi pergi?”
            “Jadi, Masuklah dulu.”
            Pemuda berbahu bidang itu masuk  mengikuti sang pemilik rumah. Caleb menduga kalau Jeff pasti sering berolah raga. Otot-ototnya menonjol. Lelaki itu pasti digilai banyak perempuan. Wajahnya juga bisa dibilang ganteng dengan mata elang yang menantang.
            “Aku sudah menyiapkan sarapan untuk kita, kamu pasti belum makan, kan?” Di meja tamu rumah itu sudah tersedia beberapa sandwich dan dua gelas kopi panas.
Caleb duduk dan mulai memakan sandwich yang masih panas itu itu, “Kamu membuatnya sendiri?”
“Iya, lagi iseng saja,” jawab Jeff  dengan sedikit menyembunyikan senyuman di ujung bibirnya.
Setelah menghabiskan rotinya, Caleb mulai menyuruput kopi panas itu. Jeff benar-benar koki handal, membatin pemuda itu. Hanya tiba-tiba kepalanya terasa berat. Wajah Jeff mulai telihat samar, kembali membentuk delapan mata angin tiang baja The Calling. Caleb sempoyongan, “Apa yang kau letakkan dalam kopi itu?”
Senyum Jeff terlihat samar-samar, Caleb jatuh ke sandaran kursi ruang tamu itu.
***
            Bocah berusia sembilan tahun itu tertawa girang. Ia berhasil menangkap Ginny, kucing betina milik tetangga. Seekor kucing anggora yang begitu menyebalkan. Betapa tidak? Ginny sudah seperti ratu saja. Ia sering melihat di halaman belakang rumahnya, Nyonya Victory memandikan binatang tersebut. Kemudian mendandani Ginny dengan sangat baik. Perempuan Inggris itu memperlakukan Ginny seperti seorang gadis kecil saja. Lihatlah kalung mutiara yang berada di leher sang kucing. Itu pasti sangat mahal.
            Sementara Mom terlalu sibuk untuk mengurus putranya sendiri. Bahkan sekali waktu, ia pernah melihat Mom keluar bersama seorang lelaki dari dalam kamarnya. Dan itu Bukan Dad. Dad pasti sibuk di universitas. Tapi menurut Mom, Dad sibuk dengan pacar barunya. Itu cukup menyebalkan.
            Ginny meronta-ronta meminta dilepaskan. Wajah bocah itu terlihat tanpa ekpresi mengambil sebuah batu dan memukul kepala makhluk cantik itu. Rontaan Ginny melemas, suaranya hampir tak terdengar lagi. Bocah itu berjalan ke dapur kemudian keluar lagi dengan memegang Ginny dan sebilah pisau dapur. Kucing angora itu seperti merasakan kematiannya sendiri. Sang bocah bermata biru meletakkan kucing itu di sebuah batu kemudian mulai memotong leher kucing cantik dengan pisau dapur yang berada di tangan kanannya. Ia melakukannya tanpa ekpresi. Kemudian ia mulai memotang kaki-kaki makhluk tersebut satu persatu.
            “Jeff! Apa yang kau lakukan? Tidakkk!! Giny!” Nyonya Victory melongokkan kepala dari pagar belakang rumahnya yang bersentuhan dengan halaman belakang rumah bocah itu. Wajah perempuan Inggris itu memucat, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
***
            Caleb merasakan, ada yang menindihnya dari belakang. Rasa perih menyerang bagian belakang bokongnya. Ia ingin bangkit dan melawan, tapi kepalanya terasa berat.
            “Hentikan, tolong hentikan!” ujarnya pelan. Seluruh tubuhnya terasa sakit. Ia tahu dirinya sudah tidak memakai sehelai benang pun. Dan Jeff, terkutuklah pria itu! Pria itu memperkosanya. Caleb tetap mencoba membuka matanya, kain gorden bewarna merah terlihat samar-samar. Sepertinya pria itu telah membawanya ke kamar tidur saat ia pingsan tadi. Kemudian terdengar suara leguhan nikmat lelaki itu. Tak lama berselang ia mendengar dengkuran lemah. Lelaki itu pasti tertidur.
            Dengan sisa tenaganya Caleb menyambar celana pendek milik lelaki itu. Ia tidak tahu pakaiannya ada di mana. Terhuyung, ia menuju pintu  depan yang terkunci. Pemuda itu mencari-cari kunci di kantong celana. Berungtung mendapatkannya. Cepat ia keluar dan mencoba menuju kantor polisi terdekat.
            Saat melihat tulisan police di sebuah bangunan, Caleb bisa bernafas lega. Mungkin ia bisa menjelaskan semuanya pada Abigail nanti. Ia telah diperkosa seorang lelaki terkutuk. Beberapa polisi menatap aneh ke arah Caleb yang memakai celana pendek.
            Begitu ia ingin membuat laporan, seorang pria yang baru datang memanggil namanya. “Caleb! Kau meninggalkan bajumu di rumahku.” Lelaki itu yang ternyata Jeff melemparkan  kemeja denin milik Caleb, “Maaf, Pak polisi. Kami sedang memiliki sedikit masalah,” ujar Jeff sambil menyodorkan celana dalam di depan muka Caleb. Polisi yang berada di situ tersenyum dikulum.
            “Tidak, Pak. Ini tidak benar,” timpal Caleb mencoba membela diri.
            “Sudahlah, sebaiknya kalian selesaikan dulu masalah kalian,” ujar polisi itu tanpa rasa curiga.
            Jeff menyeret Caleb yang belum sepenuhnya pulih dari pengaruh obat-obatan untuk kembali ke rumahnya, diiringi tatapan menggoda dari para polisi. Jeff terus menyeret hingga sampai ke dalam rumah yang berjendela lebar itu. Kemudian ia melempar tubuh Caleb ke atas tempat tidur.
             Sekuat tenaga Caleb berusaha bangkit dari tempat tidur. Tapi ia merasa sebuah benda keras menghantam kepalanya. Lelaki itu membalikkan badan pemuda itu. Caleb merasakan nyeri yang amat sangat di bagian perutnya. Tangannya meraba ke bagian yang nyeri. Ia merasakan ada cairan di situ. Matanya kembali berkunang-kunang. Cairan itu seperti menenggelamkan dirinya.
Sementara Jeff tertawa penuh kepuasan. Kemudian Caleb merasakan tubuhnya perlahan terangkat dari tempat tidur itu, mulai melayang menuju cahaya. Ia benar-benar tidak tahu dimana tubuhnya berada.
***
            Bertahun setelah hari minggu yang mengerikan itu, seoarang lelaki bernama Jeffrey L. Dahmer tertangkap dan diadili dengan tuduhan menyetubuhi dan memutilasikan 17 korban yang semuanya berjenis kelamin lelaki. Pengadilan menjatuhi hukuman 15 kali seumur hidup pada lelaki berjuluk Milwaukee Cannibal  itu. Hanya tidak terdapat nama Caleb dari daftar ketujuh belas korbannya itu.
SELESAI

Terispirasi dari kasus pembunuhan berantai oleh Jefrey L. Dahmer di Negara bagian Wicousin, Amerika Serikat.

Pernah dimuat di Sumut Pos, edisi 30 Juli 2017

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer