Cerpen Suatu Tempat dalam Rumahmu
Percayakah
kamu? Jika ada sebuah ruangan di dalam rumahmu yang bisa membawamu ke segala
penjuru dunia. Maka kenalilah setiap jengkal sudut rumahmu.
***
Kegilaan ini berawal saat aku
mencium aroma aneh di kamar belakang. Sebuah kamar yang sengaja dibuat mediang
ayah untuk bisa dipakai oleh anggota keluarga yang sakit. Kami menamainya kamar
gantung. Karena kamar itu merupakan satu-satunya kamar yang disangga tiang di
rumah ini.
Mediang kakek pernah menjadikan
kamar itu sebagai tempat tidurnya. Sepertinya kakek amat menyukai kamar
tersebut. Pernah suatu hari kami kedatangan tamu dari Kaban Jahe, mereka
menanyakan Tgk. Abdullah Gani. Ayah-Ibu sedikit terkejut, kenapa mereka bisa
mengenal kakek. Padahal tempat paling jauh yang pernah di datangi kakek hanya
Banda Aceh. Itu pun karena keinginan kakek yang sangat menggebu untuk melihat
makam Syiah Kuala. Ulama kharismatik Aceh tempo dulu, yang konon katanya sangat
keramat itu.
“Beliau, Tgk Abdulah telah
menyelamatkan istri saya yang tersesat di Madinah.” Ayah dan ibu saling
berpandangan mendengar pengakuan lelaki yang bernama Bakhtiar Nasution itu.
Sejak kapan kakek pergi ke Arab. Mereka datang dengan mengendarai mobil bagus
nan mengkilap. Rasanya tidak mungkin juga jika sepasang suami istri yang
menjadi tamu kami hari itu baru keluar dari rumah sakit jiwa.
“Saya pikir Bapak salah alamat, Ayah
saya belum pernah pergi ke tanah suci.” Ayah yang waktu itu masih sehat wal afiat menjelaskan dengan sopan.
Kini giliran suami-istri Kaban Jahe
tersebut yang saling bersitatap bersama dengan istrinya. “Benar, pak. Ayah Anda
telah menolong saya saat kami umrah, bulan lalu. Maaf baru kali ini kami sempat
datang untuk berterima kasih.”
Ayah tersenyum bijak, nama Abdullah
Gani sangat umum, bisa saja yang mereka maksud itu orang lain.
“Ada bekas luka di bawah mata kiri
ayah Anda, bukan? Beliau mengaku Abdullah Gani dari kota Juang,” lanjut
perempuan itu lagi.
Rasa terkejut tidak dapat
disembunyikan Ayah dan Ibu. Kemudian mereka memanggil kakek untuk menemui
tamu-tamunya itu.
Sebenarnya aku lebih sering dibuat
terkejut oleh kakek. Sebagai cucu lelaki kesayangan. Mungkin akulah yang paling
sering diajak bercerita oleh lelaki tua tesebut. Dan aku juga sering bertanya
pada kakek. Karena menurutku kakek sangat pintar, bahkan lebih pintar dari
guru-guruku yang pernah kuliah di universitas.
Pada suatu hari, aku mengatakan
kepada kakek ingin melihat Alhambra, istana peninggalan bangsa Moor di Spanyol.
Kakekku mengangguk-angguk kepala, “Iya, dua belas patung singa di taman itu
masih berdiri tegak sampai sekarang.”
Ketika kutanyakan, dari mana kakek
mengetahui tentang patung-patung itu. Lelaki itu hanya tersenyum sambil
berujar, “Kalau ke Spanyol jangan lupa singgah di Mesjid Cordova dan Seville.”
Ah, kakekku memang sangat pintar.
Sekali waktu aku ingin mengetahui rahasia kepintaran kakek itu. Aku berusaha
membujuk kakek untuk membagi rahasianya kepadaku. Lelaki itu tidak pernah
menanggapi permintaanku. Hingga suatu senja ketika penyakit semakin
menggerogoti tubuh tuannya. Ia memanggilku ke kamar gantung tempatnya tidur.
“Semuanya berawal dari kamar ini.
Kau tinggal duduk bersila dengan konsentrasi tinggi, sebut nama Tuhan-mu.
Katakan keinginanmu, maka seizin Tuhan kau akan berada di tempat yang kau
inginkan,” ujar kakek panjang lebar.
Sesederhana itukah? Sepertinya aku
bisa melakukannya. Aku langsung bersila di depan kakek. Tapi lelaki itu malah
menertawaiku. “Tidak se-simpel itu,
Yusuf. Kau harus banyak-banyak menyebut nama Tuhan terlebih dahulu.”
Benar saja, tubuhku tak bergerak
sedikit pun dari tempat itu, hingga Ibu memanggilku untuk makan malam.
Sementara kakek tersenyum simpul kepadaku. Aku ingin berlatih lebih banyak pada
kakek, sepasang suami istri dari Kaban Jahe, tempat-tempat yang sering disebut
kakek merupakan bukti tak terbantahkan, jika kakek bisa berpindah tempat secara
gaib. Tapi apalah daya, tepat jam sepuluh malam itu kakek tutup usia.
***
Jarum jam berputar dengan cepatnya.
Sang waktu tak pernah menepati janji setianya, ia berlalu sesuai titah sang
Pencipta. Tiga tahun setelah kakek tutup usia, Ayah menyusulnya. Jadilah aku
lelaki satu-satunya di rumah ini. Hanya Ibu, perempuan perkasa itu mendesak
kami anak-anaknya untuk menyelesaikan pendidikan sampai bangku kuliah. Ingin
membantu Ibu meringankan sedikit beban yang berada di pundaknya, aku
mati-matian mengejar IP di atas 3.
Universitasku membuat sebuah kebijakan untuk mahasiswa yang IP di atas 3
didahulukan mendapat beasiswa.
Jika
bukan karena mencium aroma aneh saat berada di dekat kamar gantung, baghda subuh tadi, aku pasti sudah
melupakan cerita-cerita perjalanan kakek. Semakin kucium, aroma itu memang
bersasal dari kamar gantung. Mungkin sudah enam tahun pasca kakek meninggal,
tak ada orang yang menempati kamar tersebut. Rasa penasaran membuatku berjalan
ke pintu kamar yang disangga tiang-tiang itu.
Perlahan,
tanganku memutar gagang pintu. Benar saja aroma harum itu keluar semerbak dari
dalam kamar. Rasanya tidak mungkin salah satu dari kakakku yang menumpahkan
parfum di sini. Kak Aisyah yang sulung sudah menikah dan ikut suaminya di Idi. Kak
Fatimah, yang sedang menyelesaikan tugas akhirnya lebih tidak mungkin lagi.
Karena baru sore kemarin ia memenita tambahan uang jajan dari Ibu untuk membeli
parfumnya yang habis. Dan Ibu belum memenuhi permintaan kakakku itu.
Jemariku
meraba-raba ke dinding sebelah kanan dari pintu. Begitu kutemukan sebuah saklar, langsung kuceklek. Lampu pijar
menyala redup memenuhi ruangan. Bulu kudukku sedikit merinding. Tapi tak ada
apa-apa di sana, kecuali barang-barang peninggalan mediang kakek. Ibu tetap
membiarkan kamar itu seperti saat kakek masih hidup. Atau ibu memang tak sempat
berpikir untuk merubah dekorasi kamar ini.
Aroma
aneh itu semakin kentara terasa, sejenak aku ingat kata-kata kakek beberapa jam
sebelum Izrail menemuinya. Konsentrasi dan menyebut nama Tuhan. Antara
penasaran atau takdir, aku menutup pintu kamar gantung dan membentangkan
selembar sajadah milik kakek. Sebelum mengendus aroma aneh ini tadi, aku sempat
berwudhu terlebih dahulu.
Bersila,
dan menyebut nama Tuhan dengan berirama di atas selembar sajadah. Itulah yang
sedang kulakukan. Mungkin logikaku memang telah dibawa pergi mimpi terakhir di
subuh ini. Aku merasakan tubuhku menciut. Kemudian massa tubuhku seperti
menghilang. Aku semakin terlarut dalam tirakatku. Begitu bisa merasakan tubuhku
kembali, aku membuka mata perlahan.
Tak
ada lagi kamar gantung dengan barang-barang kakek. Hanya hamparan pasir
sepanjang mata memandang. Dan bulan purnama bergantung di atas langit sana. Aku
benar-benar telah berhasil melakukan perjalanan gaib yang sering diceritakan
kakek dulu. Hanya tadi, kenapa kusebutka jazirah Arab? Itu sangat luas. Dan aku
terdampar di hamparan padang pasir. Kecemasan baru melandaku. Bagaimana cara
keluar dari tempat ini? Aku lupa bertanya pada kakek cara untuk kembali. Hawa
dingin menusuk tulang belulang ….
Selesai
Cerpen Ida Fitri, Pernah terbit di Banjarmasin Post, Desember 2016
Komentar
Posting Komentar