CERPEN ENDING UNTUK IBEUNU
Lelaki itu berdiri menatap teluk
Jakarta. Rambut sebahunya tergerai ditiup angin beraroma garam. Alat berat dan
mobil pengangkut pasir terlihat berlalu-lalang. Tak ada yang bisa menebak
kecamuk pikiran lelaki itu.
Dua
orang pengamen berhenti tidak jauh dari situ. Yang bertopi biru membuka sarung
biolanya dan meletakkan di depan sebagai tempat penampung uang yang sedianya dilempar
oleh pejalan kaki. Sedangkan yang
berambut keriting mulai memetik gitar. Tak lama berselang, where feet may fail menembus udara sekitar yang tertelan suara
bising alat berat.
Seorang
anak kecil menangis sambil menarik rok perempuan muda yang sedang menjawab
telepon. Paras ibu muda itu terlihat keruh. Tidak jelas penyebabnya, rengekan
si anak atau lawan bicaranya di telepon genggam.
Tangisan
anak kecil itu ternyata mengganggu lelaki yang sedang menatap ke arah teluk. Ia
menunduk sejenak sebelum memutuskan melangkah ke dekat anak kecil yang sedang
menangis. Sesampainya di dekat anak itu, sang lelaki berjongkok mencoba
membujuk, sementara si ibu muda masih sibuk dengan telepon genggam. Namun
betapa terkejutnya lelaki berambut sebahu begitu melihat mata polos anak kecil
itu.
Mata
itu …, mata itu duplikat dari matanya sendiri. Lelaki itu tersentak mundur
beberapa langkah. Anak kecil itu malah berhenti menangis.
“Yuk,
kita pergi, Nak. Ibu mendapat kabar keberadaan pria itu,” ujar sang ibu sambil menutup telepon genggam,
kemudian menarik lengan si anak meninggalkan tempat itu.
Bait-bait
Oceans masih berlomba dengan suara
alat berat. Seorang lelaki tua meletakkan uang seribuan di dalam sarung biola.
Lelaki berambut sebahu masih terpekur menatap kepergian bocah lelaki dan ibunya.
Nalurinya mengatakan ia harus mengikuti mereka ….
****
Tuhan
menciptakan kelebihan kelebihan pada lelaki supaya dapat melindungi perempuan.
Bukankah lelaki yang terbaik ialah yang paling baik pada perempuannya. Sekarang
Ibenu sangat mengerti itu. Kadang Tuhan meletakkan cahaya pada hati mereka yang
dikehendakinya. Mungkin salah satu cahaya telah diletakkan pada hati Ibenu.
Hidup
di ibu kota bukanlah hal yang mudah. Beruntung Ibenu punya ijazah dan otak yang
bagus. Mematahkan animo jika ibu kota lebih kejam dari ibu tiri. Lelaki itu
bekerja pada perusahaan milik asing. Ia mampu tinggal di sebuah apartemen.
Ibenu juga mampu mengirim uang untuk ibunya di ujung Sumatera sana.
Mengingat
tempat asalnya, sama saja dengan membuka jati diri Ibenu. Ia tak lebih dari
seorang pecundang. Ketika tengah malam mengambil sehelai ijazah dan beberapa
lembar pakaian, kemudian keluar rumah laksana seorang pencuri. Meninggalkan
pekerjaan dan keluarganya.
Setelah
Tuhan meletakkan sebongkah cahaya di hatinya, tak lepas lelaki itu menangis,
menyesali kekelaman masa lalu. Beberapa kali ia kembali ke kota kelahirannya
untuk memperbaiki yang telah rusak, semuanya telah berubah. Keluarga Raudha
sudah tidak tinggal di sana. Mereka telah pergi untuk menghapus luka, rasa malu
yang ditinggalkan Ibenu.
Ibenu
mendesah panjang. Ia melirik arloji di tangan. Bebera menit lagi ia harus
menjamu klien penting perusahaan. Bagaimana bisa menyakinkan mereka untuk
bekerja sama, kalau ia sendiri datang terlambat.
“Dua
hari yang lalu, tak sengaja ibu bertemu dengan sepupu Raudha di acara resepsi
adik iparnya adikmu. Sepupunya bilang Raudha sekarang tinggal di Jakarta,” ucapan
ibu semalam membuat Ibenu tidak berhasil memejamkan mata hingga hampir pagi.
Dan sukses bangun agak kesiangan. Alhasil ia harus buru-buru sampai di Thamrin.
Lelaki
itu mencoba menyalip mobil di depannya, kemudian menekan pedal gas lebih dalam.
Bosnya bakal marah besar kalau kali ini ia gagal. Bahkan jabatanya sendiri bisa
jadi taruhan. Daan ibu memberi kabar begitu penting di saat yang tidak tepat.
Raudha, teman perempuannya sejak kuliah dulu. Dan karena gadis itu pula ia
sampai kabur ke Jakarta.
Ibenu
mencoba mengingat-ingat materi presentasi nanti. Sepertinya tidak ada yang
kurang. “Perfect!” kata yang sering diucapkan bosnya sehabis ia presentasi.
Lagi lelaki itu menyalip sebuah jib di depannya. Ia mengemudi zig zag ditengah
jalan yang ramai itu. Namun ia terlambat melihat rambu yang menunjukkan ada
tikungan. Mobilnya terbang bebas menembus pembatas jalan. Terdengar benturan
keras beruntun. Ribuan gemintang mendadak turun ke bumi sebelum semuanya
menjadi gelap.
***
Perempuan itu terlihat ragu di depan
kamar kosong lima. Ia menatap putranya sejenak. Kemudian diketuknya juga pintu
kamar tersebut. Bau khas rumah sakit tercium menusuk hidung. Seorang perempuan
paruh baya berjilbab lebar terlihat di balik pintu. Rasa tidak percaya,
keterkejutan plus haru bercampur baur di paras perempuan tersebut.
“Raudha? Kok ….” Kata-kata tersekat
di kerongkongan.
Perempuan yang dipanggil Raudha
langsung mencium tangan perempuan yang membukakan pintu.
“Benar, Bu. Ini aku. Aku mendengar
kabar Bang Ibenu ….” Mata Raudha melihat ke tempat tidur pasien. Seorang lelaki
terbaring tanpa daya.
“Masuklah, Nak. Ini Anakmu?” Ibu
Ibenu mengalihkan pandangan pada seorang bocah lelaki yang mempererat genggaman
tangan pada ibunya. Seperti melihat hantu, Ibu Ibenu lebih terkejut lagi.
Spontan ia menatap Raudha yang mulai menitikkan air mata. Hening, perempuan
muda itu membisu.
Lelaki berambut sebahu yang
diam-diam mengikuti Raudha dan anaknya
semenjak dari pinggir teluk Jakarta sudah mendekati pintu kosong lima.
Dua orang suster melewatinya begitu saja. Suster-suster itu sedang memperbincangkan
baju yang akan dipakai pada malam minggu saat dijemput pacar masing-masing.
“Ceritanya panjang, Bu. Boleh
kulihat Bang Ibenu dulu?”
Ibunya Ibenu mempersilahkan Raudha
masuk. Seorang lelaki dengan masker oksigen, beserta infuse di tangan terbaring
diam di atas tempat tidur.
“Dia belum sadar juga, Bu?” tanya
Raudha tanpa memalingkan wajahnya dari lelaki yang terbaring itu.
“Belum, Nak. Padahal menurut dokter,
seharusnya Ibenu sudah tidak apa-apa. Anehnya, anak itu seperti tidak mau membuka
mataya.” Air mata mulai mengambang di pelupuk perempuan berjilbab lebar.
“Itu siapa, Bu?” tanya bocah lelaki
yang kini berada dalam gendongan Raudha.
Lelaki berambut sebahu juga sudah
masuk ke kamar itu. Parasnya terkejut memandang Ibenu yang terbaring di atas
tempat tidur. Kemudian lelaki itu memandang tangan dan tubuhnya sendiri.
“Ayahmu, Sayang. Ayahmu sedang
sakit,” ujar Raudha sambil menggigit bibirnya dengan air mataa berurai.
“Maksudmu?” Ibunya Ibenu mencoba
mencari kekuatan dengan memegang erat sisi tempat tidur itu.
“Benar, Bu. Ini putra Bang Ibenu.
Cucunya Ibu. Saat Bang Ibenu kabur ke Jakarta dulu aku dalam keadaan hamil muda.”
Air mata tumpah ruah dari sudut mata Raudha.
“Kenapa Ibu nangis?” tanya anak
kecil dalam gendongannya.”Siapa dia?” anak itu menunjuk perempuan berjilbab
besar yang juga berurai air mata.
Sementara lelaki berambut sebahu
yang mengikuti mereka terlihat kebingungan. Ia mondar-mandir, kemudian
mendekati ke pinggir tempat tidur.
“Nenekmu, Nak. Panggil nenek.”
Ibunya Ibenu menyentuh pipi bacah
lelaki, kemudian mengambilnya dari gendongan Raudha,”Cucuku,” ujarnya tercekat.
Lelaki berambut sebahu semakin
mendekat ke wajah Ibenu.
“Kenapa? Kenapa kau sembunyikan ini
dariku, Raudha?”
“Apa yang bisa kulakukan, Bu? Toh
Bang Ibenu sendiri menolakku,” ujar raudha perih.
Ibunya Ibenu semakin berderai air
mata. Seribu rasa berkecamuk di benak perempuan itu.
“Bu, lihatlah! Tangan ayah bergerak-gerak.”
Semua berpaling ke arah tubuh yang
terbaring tidak berdaya itu.
“Ibenu?” ujar keduanya berbarengan.
Sementara lelaki berambut sebahu sudah menghilang entah kemana.
SEKIAN
Pernah dimuat di Banjarmasin Post, 16 Juli 2017
Komentar
Posting Komentar