CERPEN SANG LAWAN


Ilustrasi Tauris Mustafa

            Saifa kecil memeluk erat kaki ayahnya. Perahu yang terbuat dari kayu Bungo itu melaju pelan membelah permukaan rawa. Juhari yang badannya sedikit lebih besar dari Saifa sedang membuang air masuk dari sela perahu dengan menggunakan tempurung kelapa. Sesekali sepupunya itu memandang punggung Saifa.
            Kedua ayah mereka sibuk mengayuh perahu dengan galah masing-masing. Ayah Juhari yang berada di bagian depan perahu mengayuh ke depan buah seroja dengan biji-biji mengintip dari ronnga dan begitu menggoda. Lelaki itu berjongkok untuk meraih buah tersebut dan mengangsurnya pada Juhari, “Berikan pada adikmu.”
            Bocah itu tersenyum memandang biji seroja yang tersembul di permukaan buahnya yang berongga itu, kemudian menyerahkan pada Saifa tanpa ganjalan di hati. Kicauan belibis, ruak-ruak menjadi melodi pengiring ketulusan anak kecil itu. Kantung semar mengintip malu seraya bersandar pada perdu yang berdaun kemerahan. Kantong berbentuk ceret yang siap menjamu  dahaga para pencari belibis, penjaring ikan dan para perempuan pencari binyeut; sebagai bahan dasar tikar.
            Perahu kecil itu masuk lebih jauh ke dalam rawa. Tungkai dan lengan Saifa terlihat semakin gemetar, punggungnya terguncang hebat. Ia mengecap asin, air bening yang terjatuh dari sudut matanya. Ini pengalaman pertamanya ikut ayah dan ayah wa untuk menjaring ikan. Biasanya Saifa lebih memilih bermain rigeut bersama teman-teman atau membaca buku di kamar. Berbanding terbalik dengan Juhari yang senang berpetualang di rawa.
            “Ayah, kita pulang saja,” ujar Juhari dari belakang punggung Saifa.
            “Kita belum dapat cukup banyak ikan, Nyak.”
            Perutku sakit, Yah,” lanjut Juhari sambil memegang perut dan meletakkan tempurung ke lantai perahu.
            “Kamu bisa buang air di pinggir perahu seperti biasanya, kan?” Lelaki yang kakinya dipeluk Saifa membuka suara.
            “Kali ini sakit perutnya beda, Ayah Cut. Kita pulang sekarang,” rengek Juhari dengan paras yang membuat setan rawa sekali pun luluh.
            Saifa menunduk lebih dalam sambil menggigit bibir kuat-kuat. Lagi sang abang sepupu menyelamatkan dirinya.
***
            Laksana seekor elang, mata letnan muda itu menyapu belantara di hadapannya, kemudian tangannya memberi isyarat arah yang harus dilalui oleh anak buahnya. Mereka memang menjulukinya Letnan Elang, kemampuan menganalisis keberadaan musuh tak pernah ada tandingannya. Semula orang-orang mengira ia menjadi komandan semata-mata karena lulusan sekolah perwira. Lelaki beralis tebal itu menjawab segalanya di Hutan Atambua, hingga tak seoarang pun yang meragukan kemampuan lelaki muda berhidung mancung dan bermata tajam itu. Konon lagi di belantara ujung Sumatera, di tanah ia dilahirkan.
            Tengku Pasai, pentolan gerombolan yang sangat dicari, musuh negara menjelma bunglon menyatu dengan hutan-hutan sebelum menyergap para tentara, menurut laporan intelijen, disinyalir terakhir kali berada di hutan Sawang. Gemericik air sungai di sela-sea batu menciptakan satu ketegangan lain, seperti musik di film-film perang. Prajurit anak buah letnan muda, mengendap-endap siap menyergap pentolan gerombolan.
            “Bersahabatlah dengan kelakai, ranting, rumpun, daun serta angin. Niscaya mereka akan berbagi rahasia denganmu, Dek,” ucapan sang abang sepupu kembali tergiang di telinga. Ia yakin, kali ini pun para sahabatnya akan membeberkan keberadaan pentolan gerombolan. Lelaki itu boleh menjelma bunglon, tapi daun-daun tentu punya jawaban.  Letnan Saifa, dalam nadinya juga mengalir darah Panglima Polem, sang pahlawan yang ditakuti serdadu Belanda.
            Firasat membuat letnan itu mengambil arah sedikit memutar. Angin telah membawa aroma badan berbau lumpur dari arah berlawanan. Ia melangkah memutari rumpun bambu besar, tanpa sadar mulai terpisah dari pasukannya. Bau badan itu semakin kentara, rumput berbisik, jika sepasang kaki baru saja menginjaknya. Tengku Pasai harus segera tertangkap, hidup atau mati.
***
            Suatu malam tahun 1990, terdengar gedoran keras di pintu. Ayah dan ibu saling bertatapan, Saifa kecil semakin mengkerut dalam pelukan ibunya. Aroma ketegangan tercium menembus hingga ke paru-paru. Ayah beranjak hendak membukakan pintu.
            “Jangan, Yah. Biar aku saja,” ujar ibu sambil memberikan Saifa kecil kepada suaminya. Sambil berulang kali menyebut nama Tuhan, perempuan itu memutar anak kunci. Beberapa orang berbaju hitam langsung masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan salam. Langkah kecil ibu mengikuti mereka.
            “Bransah! Usir perempuan ini dari rumahmu. Darahnya bukan darah kita,” ujar salah seorang yang sepertinya pemimpin dari lima orang berbaju hitam tersebut.
            Kerutan tergambar jelas di dahi ayah. Ia sudah mendengar, jika beberapa tetangga kampung didatangi malam-malam, kemudian diancam dan diusir dari rumah mereka. Ia tidak menyangka mereka akan mendatangi rumahnya juga. Di dalam darahnya mengalir darah para indatu.
            “Bagaimana Bapak menyuruh suami untuk mengusir istrinya?” tanya Ayah membela diri. Ia dapat merasakan Saifa gemetaran dalam genggamannya.
            Kemarahan tergambar jelas dari paras kelima tamu tak diundang itu. Tiga orang dari mereka segera mengeluarkan senjata dari balik pakaian. Salah satunya menendang meja ruang tamu, kemudian memaki dengan bahasa paling durjana. Mereka menyeret ibu dengan kasar dan menunjuk-nunjuk ke wajah Ayah. Saifa mulai menangis. Salah satu moncong senjata itu memuntahkan pelurunya menyisakan lubang kecil di atap rumah mereka. Saifa mendengar mereka menyebut nyebut suku Jawa, suku ibunya berkali-kali. Ibu memang putri dari kakeknya yang ikut program transmigrasi ke ujung Sumatera.
            Setelah mereka pergi, Saifa kecil melihat ibu mengemasi pakaian dibantu ayah. Begitu ayam berkokok untuk pertama kali, keluarganya sudah berada dalam sebuah truk yang membawa mereka pergi ke tempat yang jauh, kampung halaman ibu, yang sebenarnya ibu sendiri belum pernah menginjakkkan kakinya di sana. Pantaskah itu disebut kampung halaman?
            Orang tua ibu menikah dengan anak seorang peserta program transmigrasi juga. Dari pernikahan mereka lahirlah ibu yang berdarah Jawa tulen, tapi belum pernah menghirup udara pulau Jawa. Karena dosa itulah sekarang tubuh mereka terguncang guncang di dalam truk yang akan mengangkut mereka ke kota kabupaten. Dari sana mereka akan menumpang bus ke pulau Jawa. Ayah tipikal suami yang rela meninggalkan hartanya, tapi tidak bisa beranjak dari keluarganya. Banyak dari orang-orang berdarah Jawa di dalam truk pergi tanpa disertai keluarga mereka. Ayah memang pemberani yang menyertai ibu, meski di sana mungkin ia akan menjadi sasaran kemarahan orang-orang yang keluarganya terusir. Rasa kantuk mulai menyerang Saifa keci.
            Beruntung, setelah menetap sebulan di kampung ibu, Ayah Wa, ayahnya Juhari yang masih di Aceh mengirimkan uang hasil penjualan kebun sawit mereka. Uang itu dijadikan modal hidup baru oleh keluarganya. Mereka mulai hidup normal seperti  keluarga lain di sebuah perkampungan di Jawa Tengah. Hanya satu yang tidak bisa dilupakan Saifa, orang orang berbaju hitam yang mengusirnya dari rumah di malam itu. Yang membuatnya tidak sempat bertemu lagi dengan sepupunya Juhari. Hal itu pula yang mengantar Saifa ke sebuah sekolah perwira yang berada di daerah Magelang.
***
            Pedalaman Sawang, Tahun 2003 …..
            Letnan Saifa kembali berkosentrasi pada batang keladi yang sedikit bergoyang di depannya. Pasti seseorang sedang bersembunyi di sana. Ia mengendap mendekati tempat itu. Sepatu tentara miliknya menapak di tanah berair. Pohon-pohon mengelilingi tempat tersebut. Seekor Elang terbang memutar di langit.
            “Jatuhkan senjatamu!” Ujung laras AK-47 menempel lekat di punggung sang letnan. Saifa tidak punya kesempatan untuk melakukan gerakan manipulatif, seketika ia sadar berada agak jauh dari anak buahnya. Sebuah tangan merengut paksa senjata laras panjang dari genggamannya.
            Suara yang sama memerintahkan Saifa untuk terus berjalan meninggalkan pasukan. Setelah melewati pohon ara, barat daya dan meranti, suara itu memerintahkan Saifa berbalik. Betapa terkejutnya Saifa ketika mendapati paras berjambang, berhidung mancuung dan beralis tebal yang kini mengacungkan dua senjata laras panjang ke depannya. Dan orang tersebut juga tidak kalah terkejutnya.
            “Abang ….?”
            “Dek Saifa?” Suara mereka lirih ditelan angin.
            “Kenapa Bang Juhari …..” Saifa tak mampu melanjutkan kata-kata. Semenjak pengusiran itu, ia tidak pernah bertatap muka lagi dengan sepupunya. Mereka hanya berkirim surat saja. Sekali waktu Juhari pernah mengirimkan foto dirinya berlatar ospek para mahasiswa. Menurut ayahnya Saifa, mereka berdua menjadi begitu mirip seakan saudara kandung saja. Ibunya mengiyakan pendapat sang ayah. Waktu itu, Saifa menangkap jelas gurat kerinduan di wajah ayah. Sekarang Juhari berdiri di depannya sambil mengacungkan dua senjata laras panjang ke badan Saifa. Skenario macam apa ini Tuhan?
***
            Aceh, Medio 1991 ….
            Seorang bocah menangis meraung di samping nisan yang tanahnya masih merah. Mayat ayahnya ditemukan membeku di belakang sebuah kios dengan tangan terikat. Ada luka memar di sekujur badan, dan sebuah lobang peluru menganga di dada kiri. Ayah telah disiksa sebelum dihabisi. Juhari begitu ingat ketika dua minggu yang lalu, mereka, para tentara itu membawa paksa ayahnya dari rumah. Mereka menyebut-nyebut ayah sebagai mata-mata komplotan.
            Juhari tahu itu tidak benar. Ayahnya hanya seorang petani yang gemar menjaring ikan di Rawa. Beberapa kali perahu mereka berpapasan dengan orang-orang yang tidak dikenal, tapi ayah tidak pernah berbicara kepada mereka. Ketika Juhari menanyakan gerangan orang-orang yang sering berpapasan dengan perahu mereka, paras ayah terlihat sedih. Suatu kali Juhari pernah menanyakan, kenapa ayahnya bersedih?
            “Semoga Ayah Cut dan keluarganya bisa makan dengan baik hari ini.” Itu yang keluar dari mulut Ayahnya. Juhari pun ingat pada Saifa, sepupunya yang sekarang jauh dari mereka. Bagaimana sepupunya itu bisa bertahan, jika diajak ke rawa saja sampai gemetar ketakutan?
            Ayah telah terkubur di bawah sana. Mereka menuduh seorang petani dan penjaring ikan sebagai pengkhianat negara. Ia sadar, sebuah bara mulai hidup di dadanya.
***
            Tatapan lelaki berjambang di depan Saifa terlihat melunak, berulang kali ia mendesah, “Aku tak percaya hal seperti ini bisa terjadi,” ujarnya seperti pada diri sendiri. Kemudian ia mengembalikan senjata yang tadi dirampasnya dari tangan Saifa denga senyum menyedihkan.
            “Sekarang senjata ada di tanganmu, Dek. Akulah Tengku Pasai yang dicari-cari itu. Kamu tingal sedikit menarik pelatuknya saja.” Juhari berbalik dan mulai meninggalkan adik sepupu yang selalu ia lindungi dulu.
            Terdengar suara senjata menyalak. Burung elang menangis di angkasa, burung-burung kecil berlarian dari rerimbun dahan sebatang pohon. Sang elang meliuk menjauh.
            “Tengku Pasai berlari ke arah sana,”  ujar Letnan Saifa pada prajurit yang mulai berdatangan. “Kita harus mendapatkan lelaki itu,” sambung sang letnan sambil mengejar ke arah yang ia tunjuk. Tempat itu berubah menjadi milik orang-orang berbaju tentara.
            Sementara seoarang lelaki berjambang, berhidung mancung dan beralis tebal berjalan terseok dengan air mata berlinang ke arah yang berlawanan.
SELESAI
Note:
Rigeut             : Permainna engklek
Ayah Wa         : Abang ayah/ibu

Ayah Cut        : Adik ayah/ibu

Pernah terbit di Serambi Indonesia Tanggal 13 Agustus 2017


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer