PEMIKUL JAMBAN
Karya Ida Fitri
Ilustrasi Tauris Mustafa
Ilustrasi Tauris Mustafa
Sangat mengejutkan, jika cerita ini kubuka dengan sebuah mimpi yang
kualami selama tiga malam berturut-turut, yakni masuk ke sebuah jamban dengan
kebutuhan mendesak, tapi ada sisa kotoran melekat di corong semen yang
seharusnya digunakan untuk buang air, aku bimbang memutuskan terus buang air
besar atau keluar dari tempat itu—jamban yang kuceritakan bukanlah jamban
keramik atau leher angsa yang sering kamu lihat, melainkan jamban yang dicetak
dengan semen, dua gundukan sengaja ditinggikan untuk meletakkan kaki, ada parit
kecil di tengahnya, yang apabila disiram, kotoran akan mengalir ke sumur
kotoran yang teletak tepat di belakang jamban, satu paket dengan bangunan
beratap yang digunakan untuk membuang air—dalam kebimbangan itu, aku terbangun.
Mimpi melihat
kotoran itu pertanda keberuntungan menurut Cuda Barein, ketika kutanyakaan pada
pagi hari kedua dari mimpiku yang berturut-turut itu. Ia dikenal sebagai orang
tua bijak yang mengetahui banyak hal, memimpin kelompok dalae di
kampungku, yang tampil di acara-acara maulid, atau saat pertandingan dalae
antar kampung; mereka duduk melingkar sambil menyanyikan syair-syair nasehat.
Aku menjadi sedikit lega.
Saat bangun pagi,
di hari ketiga mimpiku berulang tentang jamban dan sisa kotoran, aku berjalan
keluar rumah mencari belimbing wuluh untuk membuat asam keueung yang
dipesankan bapak sebelum turun ke tambak tadi pagi, ada daka (pintu air
yang terbuat dari kayu) rusak, aku berjalan kepanasan di pematang tambak,
meninggalkan rumah gubuk kami yang berdinding kayu itu; aku melihat orang-orang
memikul jamban dengan kepalanya, jamban beserta sumurnya dipikul dengan ganjil
di atas kepala. Mengenal beberapa dari mereka sebagai penduduk kampung kami,
tapi tidak mengenal beberapa yang lainnya dan perlu kugarisbawahi, ini bukan
mimpi.
Aku melewati
pematang tambak, mendekati orang-orang yang terlihat kepayahan memikul jamban
di jalan kampung itu, “Pakwa Banta, kenapa tidak kau letakkan saja jamban itu?
Punggung tuamu tak mampu menahannya lebih lama lagi.” Lelaki yang badannya
telah bongkok dimakan usia itu menggeleng-geleng kepala, aku bisa melihat,
kotoran dalam sumur jamban itu mulai
meluber, menetes ke kepalanya, saat sampai di pinggir bibir, ia menjilat dengan
ujung lidah, perutku bergolak hebat ingin memuntahkan isinya, sepertinya Cuda
Barein telah salah mengartikan mimpiku. Lelaki lain yang tidak kukenal, bertahi
lalat di dagu memakai kemeja batik coklat bercorak kuning, terlihat elegan
dengan sepatunya yang mengkilap, ia bukan penduduk kampung ini, lebih tepatnya
mirip seorang pejabat atau pengusaha atau bapak wakil yang terhormat. Bebanding
terbalik dengan jamban yang ia pikul di atas kepala, kotorannya telah meluber
mengenal kepalanya, dan ia mulai menjilat-jilat bibir seperti yang dilakukan
Pakwa Banta. Mereka berparade seperti acara karnaval pakaian adat di hari
kemerdekaan, yang seragam adalah jamban yang berada di atas kepala mereka.
Kotor dan kusam.
Hawa panas seperti
naik ke kepala mencairkan otak yang berada di dalamnya, aroma asin tercium
jelas dari uap air laut yang naik ke darat dan tingkah laku beberapa warga yang
bersikeras memanggul jamban itu begitu menjijikkan, bagaimana seseoarang bisa
dengan sengaja menjilat kotoran yang tidak diketahui siapa pemiliknya itu, bisa
saja kotoran sendiri atau kotoran orang yang terkena sakit buduk. Kampungku terlihat
tidak seperti kampungku. Aku melangkah ke belakang rumah Wa Nu, di mana
sebatang pohon belimbing wuluh tumbuh. Kampung ini memanjang hampir tiga kilo
meter menjorok ke laut, setengahnya berupa rumah-rumah penduduk yang
berhimpitan seperti rumah di kampung pada umumnya, sebagian yang lain berupa
tambak-tambak luas dengan rumah-rumah kecil di pematangnya dan sebagian kecil
berupa gubuk-gubuk berada tepat di pinggir pantai. sementara ikan-ikan asin
dikeringkan di dekat lente, gubuk yang sengaja dibuat sebagai tempat
perahu ikan berlabuh.
Seorang perempuan
bersarung, memakai kain bercorak batik sebagai penutup kepala terlihat
kebingungan di daerah gubuk-gubuk yang dibangun berdekatan dengan pantai,
wajahnya mengkerut, berjalan ke sana ke mari tanpa menggunakan alas kaki. Seorang
anak kecil menangis karena mainan mobil-mobilan di tangannya dirampas oleh
teman bermainnya, anak kecil yang lain mulai menangis sambil menarik-narik kain
sarung ibunya, ia mengeluhkan sakit perut, ibunya mengambil cangkul yang
disandarkan di dinding gubuk mereka, lalu mulai menggali lubang di tanah pasir
depan gubuk yang juga dipakai untuk jalan itu, ia menyuruh anaknya yang sakit
perut untuk menggunakan lubang tersebut. Perempuan pertama masih berjalan
mondar-mandir di tanah berpasir yang digunakan sebagai jalan itu, lalu ia melongok
ke belakang salah satu gubuk yang dialiri anak sungai, di mana tiga lelaki
antri di depan sebuah kotak persegi yang berdinding bilah papan itu. Tidak jauh
dari kotak papan itu, seorang perempuan turun ke sungai sambil menjinjing ember
untuk mengambil air, tidak jelas air itu bakal digunakan untuk apa, bisa untuk
menyiram tanaman hias dalam pot-pot yang diatur di depan rumahnya, bisa juga
dipakai untuk mencuci piring. Dua ekor ikan patin berenang meliuk ke bawah
kotak persegi yang terbuat dari kayu kemudian saling berebut sesuatu yang jatuh
dari dalam kotak persegi papan.
“Wa Nu, berikan
aku beberapa buah belimbing wuluhmu,” ujarku di depan pintu samping rumah
perempuan janda itu.
“Ambil saja di
pohonnya.” Terdengar jawaban dari arah belakang, “Nyak Rah, ya? Ke sini
sebentar, bantu Wa Nu mengangkat ini.”
Aku mencari sumber
suara, lalu berhenti beberapa depa di belakang Wa Nu yang bersusah payah
mengangkat jamban ke atas kepalanya. Terlintas di pelupuk mataku orang-orang
yang menjilat-jilat kotoran yang meluber dari jamban yang mereka pikul. “Jangan
diam saja, cepat bantu, Wa,” ujar perempuan tersebut tanpa menoleh ke arahku.
Tidak punya pilihan lain, aku mendekat lalu berjongkok dan mulai bersusah-payah
mengangkat jamban tersebut ke atas kepala perempuan itu. Setelah jamban sudah
berada di atas kepalnya, perempuan tersebut bangun dan berjalan ke arah depan
rumah menuju jalan desa. Aku berlari ke sumur untuk mencuci tangan, kemudian
kembali lagi untuk mengambil belimbing wuluh dari pohonnya.
Buah belimbing itu
bergantung di sisi pohonnya, sebagian bunganya yang berwarna merah kecil juga
tersembul di antara buahnya; bunga belimbing bisa dijadikan untuk obat sariawan
di mulut, kunyah bunga yang masih segar, tempelkan di bagian mulut yang terkena
sariawan, meski perih tapi cukup mujarab juga. Sekali waktu dulu, aku pernah
mencobanya. Seekor serangga terbang mendekati bunga-bunga belimbing itu,
menimbulkan suara berdesing seperti suara gergaji milik tukang kayu.
Buah belimbing
yang sudah kupetik, kuletakkan di ujung kain penutup kepala dan kedua tanganku
memegang ujungnya biar tidak terjatuh, aku lupa membawa kantong kresek
sementara Wa Nu sudah tidak ada di rumahnya. Aku berjalan pulang menuju rumahku
di pematang tambak kembali. Di kejauhan masih terlihat orang-orang yang
berparade sambil memikul jamban. Lalu aku berbelok ke arah pematang tambak.
Seekor kepiting berlari masuk ke dalam lubang tanah yang menjadi sarangnya.
Seekor ikan mengambil makan di tambak sebelah kananku, menimbulkan suara
letupan kecil. Dari jauh aku melihat rumah kayu dari bilah papan itu seperti
menjerit kesepian, rumah yang semakin lama semakin mirip bapak, mungkin bapak
juga kesepian semenjak ibu meninggal karena demam tinggi dua tahun yang lalu.
Seorang lelaki
berjalan dari belakang rumah—sejak kapan bapak pulang dari daka?—yang
lebih tak bisa dipercaya, ia memikul jamban beserta sumur kotoran di kepalanya,
tanpa sengaja aku melepaskan tangan dari pinggir kain penutup kepala, belimbing
wuluh yang kubawa pulang serta merta terjatuh, beberapa di antaranya meluncur
ke dalam tambak berair coklat itu. Aku merasakan mual tak tertahankan.
SEKIAN
Dimuat pertama kali oleh Serambi Indonesia Edisi 1 Juli 2018
Komentar
Posting Komentar